Meneladani KH Agus Salim
Kisah Agus Salim – RA Kartini dan Beasiswa Yang Kandas
(Erwin Dariyanto)
Agus Salim dan Raden Ajeng (RA) Kartini cuma terpaut terpaut lima tahun. Kartini lahir di Jepara, 21 April 1879 dan Agus Salim di Kotagadang, 8 Oktober 1884. Kedua tokoh ini sama-sama suka membaca, menulis, dan berfikir kritis. Kartini dan Salim meski tidak saling kenal, punya cita-cita tinggi. Keduanya ingin melanjutkan pendidikan ke Negeri Belanda yang dinilainya sangat maju. Tapi dengan sebab yang berbeda, harapan itu kandas.
Suradi, penulis buku Grand Old Man of the Republic: Haji Agus Salim dan Konflik Politik Sarekat Islam, menyebut masa kehidupan Kartini, dipengaruhi perubahan kebijakan politik Kolonial Hindia Belanda. Kala itu baru saja diterapkan kebijakan Politik Etis sebagai pengganti kebijakan Tanam Paksa.
Menjelang akhir abad ke-19, Pemerintah Belanda merasa memiliki tanggung jawab moral atas wilayah jajahannya, termasuk Hindia Belanda. Bentuk tanggung jawab moral oleh Ratu Wilhelmina dituangkan dalam kebijakan Politik Etis, yang terangkum dalam program Trias van de Venter yang meliputi irigasi, emigrasi dan edukasi.
Meski dalam kerangka kepentingan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda di Tanah Air, Politik Etis secara langsung memberikan kesempatan bagi warga pribumi untuk menempuh pendidikan, sebab pada era ini, bidang pendidikan dan pengajaran terus diperluas.
"Salah seorang yang sangat berjasa dalam bidang ini adalah Mr JH Abendanon (1852- 1925), Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda (1900- 1905). Sejak 1900 inilah berdiri sekolah-sekolah, baik untuk kaum priyayi maupun rakyat biasa yang hampir merata di daerah-daerah," papar Suradi saat berbincang dengan detik.com, Sabtu (7/10/2017).
Kartini yang kala itu mendapatkan beasiswa ke Belanda akhirnya batal berangkat karena harus menikah. Agar tak sia-sia, dia ingin beasiswa itu dialihkan ke orang lain yang diketahui punya kemampuan dan kecerdasan luar biasa, yakni Agus Salim.
Pada 1903 Kartini pun menulis sepucuk surat kepada sahabatnya Ny. Abendanon untuk membujuk suaminya (Mr JH Abendanon) agar mengalihkan beasiswa untuknya kepada Agus Salim. Kala itu dia tahu Agus Salim yang cerdas mengajukan beasiswa untuk belajar ilmu kedokteran ke negeri Belanda.
"Saya punya suatu permohonan yang penting sekali untuk nyonya, tapi sesungguhnya permohonan itu ditunjukan kepada Tuan (Abendanon). Maukah Nyonya meneruskannya kepadanya?," tulis Kartini seperti terangkum dalam buku kumpulan suratnya, "Habis Gelap Terbitlah Terang".
Kami, Kartini melanjutkan, tertarik sekali kepada seorang anak muda. Kami ingin melihat dia dikaruniai bahagia. Anak muda itu namanya Salim, dia orang Sumatera asal Riau, yang dalam tahun ini mengikuti ujian penghabisan sekolah menengah HBS, dan ia keluar sebagai juara. Juara pertama dari ketiga-tiga HBS.
"Anak muda itu ingin sekali pergi ke Negeri Belanda untuk belajar menjadi dokter. Sayang sekali, keadaan keuangannya tidak memungkinkan. Gaji ayahnya cuma F 150 –sebulan."
Kartini meyakinkan Ny. Abandanon bahwa dengan ilmunya nanti, Agus Salim akan memberikan kontribusi yang bernilai tinggi kepada bangsanya.
Sayangnya, kata Suradi, Agus Salim menolak pengalihan beasiswa tersebut. Dia sungkan karena merasa beasiswa tersebut bukan lantaran penghargaan atas kecerdasan dan jerih payahnya, melainkan karena usul orang lain.
"Itu sisi lain keluhuran budi Pak Agus Salim yang harus kita gelorakan kembali kepada generasi milenial. Sekarang yang terjadi kan untuk mendapatkan titel sarjana dan doktor malah pake jasa joki, ingin beasiswa kasak-kusuk cari koneksi. Miris sekali," ujarnya.
Tanpa bermaksud membanggakan diri, alumnus ilmu sejarah dari UI, 1989, itu menyebut dua dari tiga anaknya tengah menimba ilmu di Amerika dan Spanyol lewat beasiswa. "Alhamdulillah sedikit-banyak keduanya mengikuti jejak Agus Salim," ujar Suradi.
Pada 1906, Agus Salim diketahui kemudian berangkat ke Arab untuk bekerja sebagai penerjemah di konsulat Belanda. Di sana dia memanfaatkan waktu luang untuk berguru kepada Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, imam besar Masjidil Haram, guru Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) dan Hasyim Asyari (pendiri NU). Sepulang dari Arab, Agus Salim mendirikan sekolah, bekerja pada pemerintah, lalu keluar dan aktif sebagai politisi di PSI.
Salah seorang adiknya, Abdoel Chalid Salim dalam buku, "Lima Belas Tahun Digul" bersaksi bahwa sang kakak adalah ahli filsafat yang bijaksana dengan pengetahuan yang amat luas. Jiwa Agus Salim tak terkekang oleh soal duniawi. Dia adalah tokoh yang konstruktif dan memiliki selera humor tinggi.
"Sungguh nikmat mendengar uraian pandangan beliau. Selalu banyak sekali soal yang hendak dibincangkan olehnya, dan sering ia menunjukkan humornya," kata Chalid.
(jat/jat)
Sumber=m.detik.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar