Rabu, 11 Juli 2018

Sejarah Kembalinya Syekh Burhanuddin Ke Pariaman

Sejarah Kembalinya Syekh Burhanuddin ke Pariaman

Setelah sukses Syekh Burhanuddin menuntut ilmu agama Islam di Aceh selama (ada yang menulis 13 tahun, di buku yang ana baca 30 tahun), tibalah masanya untuk kebali ke kampung halaman. Berkata gurunya "sekarang kembalilah engkau ke negeri engkau, Islamkanlah orang disitu semuanya", dengan demikian telah di angkat Syekh Burhanuddin menjadi KHALIFAH oleh Syekh Abdurauf,ahli dalam segala ilmu yaitu: dari ilmu Sharaf sampai kepada ilmu Tauhid, ahli ilmu Tasauf, ilmu 'Arabiyah (seperti Nahu dan Sharaf) dan ilmu Taqwim yaitu untuk menentukan awal bulan Arab.

Direncanakanlah hari untuk berangkat dengan mempersiapkan segala kebutuhan dalam perjalanan, termasuk kenderaan, pengawalan dan lain-lain berbagai keprluan. Oleh karena gurunya Syekh Abdurauf orang punya ilmu dan ma'rifatnya sampai dan dekat kepada Allah SWT, dia tahu lebih dulu apa yang akan terjadi dengan Syekh Burhanuddin sesampainya di Pariaman, oleh karena Syekh Abdurauf waktu itu telah menjadi Mufti kerajaan, maka dia memberikan bantuan dengan satu buah perahu beserta 70 orang hulu balang dibawah komando Khatb Sangko.

Khatib Sangko ini adalah orang asal dari Gunung Tiga Tandikat, Mudiak Padang,(dulu daerah ini dikenal dengan Gunuang Tigo Tandikek Mudiak Padang), semasa kecilnya Khatib sangko dibawa ke tanah Aceh oleh orang hindu untuk belajar agama, setelah Syekh Abdurauf mengajar di Aceh maka Khatib Sangko pindah belajar agama Islam kepada Syekh Abdurauf.

Syeh Burhanuddin diberi pengawal oleh Syekh Abdurauf, adalah karena sesampai Syekh Burhanuddin di Pariaman, sudah barang pasti mendapat tantangan dari masyarakat terutama oleh pemuka-pemuka agama dan adat (pada waktu itu Minang Kabau adalah pusat pertahanan agama Hindu di Sumatera) yang senang dengan kebiasaan adat kaum jahiliah selama ini yaitu : berjudi, sabung ayam, makan rendang tikus, gulai babi, goreng ulag dll, tidak dibedakan dan sama saja yang halal dengan yang haram, hal ini pasti akan bertentangan dengan agama baru (Islam) yang akan di kembangkan oleh Syeh Burhanuddin.

Tepat pada hari keberangkatan melihat cuaca yang baik angin yang tenang (= katiko nan elok, langkah nan baiak), berangkatlah Syeh Burhanuddin dengan segala perlengkapan yang telah dipersiapkan. Beberapa hari dalam berlayar, sampailah ia dengan rombongan di suatu pulau bernama gunung Sitoli, maka singgahlah ia beserta rombongan dipulau ini untuk beristirahat (menurut yang anabaca istirahat disini sehari semalam), dalam persinggahan itu untuk keperluan air minum dan air wudhuk untuk shalat beliau perintahkan menggali/buat sebuah sumur.

Sepeninggal Syeh Burhanuddin, menurut buku yang ana baca, air sumur yang dibuat itu dipergunakan oleh penduduk setempat untuk obat, ada yang melepaskandan pasang nazar atau niat. Maka diberi nama sumur itu sumur niat dan akhirnya niat itu berubah menjadi nias. Itulah asal nama suku Nias sampai sekaran (wallahu 'alam).

Beberapa hari kemudian, sampailah rombongan Syeh Burhanuddin di Pulau Anso di muka pantai Pariaman. Setelah beristirahat beberapa hari, disuruhlah oleh Syeh Burhanuddin akan Khatib Sangko beserta rombongan mendarat di pantai Pariaman untuk merintis jalan dan melihat keadaan penduduk. Rupanya selama beristirahat di Pulau Anso kedatangan Syeh Burhanuddin ini telah lebih dulu diketahui oleh nelayan pencari ikan, dan menyampaikan kepada masyarakat di sekitar pantai dan daratan Pariaman, bahwa rombongan ini membawa agama baru (Islam) yang akan menukar kebiasaan adat jahiliah. Khabar ini pun telah pula diketahui oleh Basa Nan Ampek (masyhur 4 orang) yaitu : Kilik-Kilik Jantan; Gaga Tangah Padang; Jin Paneh dan Wama. Empat orang ini orang yang mengepalai ahli-ahli sihir, yang dipatuhi dan ditakuti oleh disekitar Pariaman sampai ke Tandikat Mudiak Padang dan VII Koto.

Kedatangan Khatib Sangko beserta rombongan di sambut oleh ahli sihir di tepi pantai, Khatib Sangko tidak mereka izinkan turun kedaratan malaha disuruh kembali ke Pulau Anso. Perlakuan ini tidak diterima oleh Khatib Sangko sebab dia adalah orang daerah Pariaman juga yaitu Gunung Tigo Tandikat. Oleh karena itu Khatib Sangko terus mendarat tidak menghiraukan larangan ahli sihir itu. Melihat laku Khatib Sangko seperti itu, telah membuat marah ahli-ahli sihir itu, maka mulailah mereka mempergunakan ilmu sihirnya masing-masing, ada yang mendatangkan angin puting beliung, ada yang mendatangkan hujan deras, ada yang mendatangkan gelap, ada yang membuat api berkobar dll. Semua itu ditangkis oleh Khatib Sangko dengan ilmu Tauhid dan tawakkal kepada Allah SWT dan berpendirian sesui Firman Allah :

Artinya : Katakanlah Ya.. Muhammad, kebenaran telah datang dan yang bathil telah lenyap.Sungguh yang bathil itu pasti lenyap. Q.Surat Al Isra' ayat 81.

Khatib Sangko terus mendaratkan rombongan dan segala ilmu sihir tidak yang memberi bekas kepada Khatib Sangko, oleh karena ilmu sihir tidak berbekas pada Khatib Sangko, oleh ahli-ahli sihir dan rakyat Pariaman diadakanlah perang secara zahir. Maka terjadilah perang tanding sehingga banyak jatuhnya korban antara kedua belah pihak. Berita kejadian ini sampai kepada yang berempat di VII KOto, keempat orangnya pergi ke Pariaman untuk bertemu dengan Khatib Sangko, setibanya di Pariaman, maka terjadilah peperangan yang dahsyat, sehingga menambah banyak jatuhnya korban, Basa yang berempat tewas tiga orang tinggal satu orang yaitu Kalik-Kalik Jantan dan di pihak Khatib Sangko ke 70 puluh orang anak buahnya tewas, tinggal dia sendiri. Perang tidak mungkin dilanjutkan dan Khatib Sangko kembali ke Pulau Anso melaporkan kejadian kepada Syeh Burhanuddin. Oleh Syeh Burhanuddin disuruhlah Khatib Sangko kembali ke Aceh memberitahukan kejadian kepada Syekh Abdurauf. Maka berlayarlah Khatib Sangko ke negeri Aceh.

Beberapa hari kemudian, sampailah Khatib Sangko di negeri Aceh, tanpa pikir panjang dia langsung menghadap Syekh Abdurauf dan menceritakan semua kejadian yang dialami oleh Syeh Burhanuddin bersamanya serta anggota pengawal yang ikut dalam rombongan tempo hari. Setelah mendengar paparan Khatib Sangko, Syekh Abdurauf segera saja menyikapi dan menambah anggota yaitu sebanyak 150 orang dubalang lagi. Setelah itu Khatib Sangko bersama 150 orang dubalang, langsung berlayar kembali menuju Pariaman menemui Syekh Burhanuddin yang sedang menunggu di Pulau Anso.

Setelah sampai Khatib Sangko dengan 150 orang dubalang di Pulau Anso, sambil melepas lelah, Khatib Sangko dengan semua dubalang berencana dan menyusun strategi. Setelah merasa siap dengan semua yang direncanakan, stelah izin Burhanuddin, maka keesokan harinya Khatib Sangko dengan 150 orang dubalang kembali memasuki pantai dan daratan Pariaman. Melihat Khatib Sangko dengan 150 orang dubalang mendarat kembali, maka Kilik-Kilik Jantan mengerahkan sekalian anak buahnya dan rakyat Pariaman untuk mengusir Khatib Sangko dengan 150 orang dubalangnya. Oleh Khatib Sangko setelah berada di daratan Pariaman, kedatangan Kilik-Kilik Jantan itu dinantikannya dengan bertawakkal kepada Allah SWT. Maka terjadilah pertempuran hebat antara Khatib Sangko dan 150 orang dubalang dengan Kilik-Kilik Jantan dan pengikutnya.

Dalam pertempuran itu banyak yang tewas pihak Kilik-Kilik Jantan sedangkan Khatib Sangko tidak seberapa yang gugur. Oleh karena kuatnya serangan pengikut Khatib Sangko maka pengikut Kilik-Kilik Jantan tidak kuat menghadapi, akhirnya lari kucar-kacir dan mundur dikejar terus oleh pengikut Khatib Sangko. Keadaan ini tidak dibiarkan oleh Khatib Sangko, dia memerintahkan seluruh pengikutnya untuk mengejar pengikut Kilik-Kilik Jantan hingga sampai ke dalam daerah VII Koto.

Di VII Koto, Kilik-Kilik Jantan mengumpulkan kembali semua pengikutnya untuk menantikan Khatib Sangko dengan pengikutnya untuk bertahan dengan sekuat-kuatnya hingga titik darah terakhir. Kemudian terjadilah peperangan yang amat dahsyat antara Kilik-Kilik Jantan dan pengikutnya dengan Khatib Sangko dan pengikutnya. Dalam peperangan ini maka tewaslah pemimpin kaum jahiliah yaitu Kilik-Kilik Jantan, khabar ini tersiar di VII Koto dan Tandikek Mudiak Padang, maka terhentilah perang dan orang VII Koto menyatakan tunduk kepada Khatib Sangko. Kemudian didapat kata sepakat didudukanlah Khatib Sangko di Tandikek Mudiak Padang (negeri asalnya) untuk mengembangkan agama Islam. Kejadian ini pada akhir tahun 1070 H.

Setelah negeri aman, berangkatlah pemuka2 masyarakat, niniak mamak, orang tuo2, pemuda2 beserta kaum ibu membawa hidangan dari Tanjung Medan hendak menyongsong/menyambut kedatangan Syeh Burhanuddin ke Pulau Anso. Rombongan ini di kepalai oleh Idris gelar Majo Lelo shabat Syeh Burhanuddin sewaktu mengaji/belajar pada Syeh Madinah atau Syekh Abdullah Arif di Air Sirah dulu.

Setelah rombongan sampai dan berhadapan dengan Syeh Burhanuddin,langsung bersalam-salaman sebagaimana layaknya menghormati tamu, sementara anak mudo (remaja) capek kaki ringan tangan langsung menyusun hidangan, begitu hidangan slesai, maka berkata kepala rombongan (Idris gelar Majo Lelo) kepada Syeh Burhanuddin :"adapun kedatangan kami kesini adalah untuk mengucapkan atas kembali tuan dari Aceh sekaligus menjamu tuan karena semuanya telah dibawa dan dipersiapkan oleh kaum ibu kita, maka makanlah dan minumlah tuan", maka menjawablah Syeh Burhanuddin : "Insyaalah baiklah, mari kita makan bersama-sama". Sewaktu makan ada sedikit daging ayam terjepit pada sela gigi Syeh Burhanuddin, lalu dibukakan mulutnya dan diambil dengan tangan daging yang terjepit itu dan dibuangnya, dalam hati beliau berdoa agar orang ini ditunjuki oleh Allah kejalan kebenaran. Waktu membuka mulut itu kebetulan sebagian orang memandang kearah mulut Syeh Burhanuddin, maka kelihatanlah dalam mulut beliau seperti lautan luas, lalu yang memandang tersentak dan penuh keheranan dan bertanaya dalam hati ada apa kiranya kok seperti itu. Akhirnya salah seorang dari yang melihat waktu Syeh Burhanuddin membukakan mulut tadi, bertanya kepada Syeh Burhanuddin: "apakah sebabnya kami lihat dalam mulut Tuanku seperti lautan luas ?" lalu beliau menjawab dengan ramahnya : "mungkin ada diantara makanan ini berasal dari ayam dicuri (ana baca ayam yang bercakau).

Setelah selesai makan dan minum, maka sepakatlah semua orang yang datang untuk membawa Syeh Burhanuddin ke Tanjung Medan, maka berkatalah ketua rombongan Idris gelar Majo Lelo kepada Syeh Burhanuddin : "ya Tuanku, menurut yang telah kami sepakati, Tuanku pergi bersama kami ke Tanjung Medan, itulah permintaan kami kepada Tuanku, mohon Tuanku kabulkan" menjawab Syeh Burhanuddin : "Insyaalah taala saya kabulakan". Kemudian berangkatlah semuanya meninggalkan Pulau Anso menuju Tanjung Medan. Sesudah mendarat di pantai akan menuju Tanjung Medan melalui Padang Silagundi, disitu rombonga bersitirahat sejenak, beliau (Syeh Burhanuddin) mengambil satu dahan (cabang pohon)Cimpago Biru dan kepada orang banyak yang ikut dalam rombongan beliau (Syeh Burhanuddin) berkata : "kalau saya berpulang kerahmutllah nanti, hendaklah ditanam/dikuburkan disini sambil menanamkan Cimpago Biru yang diambil tadi. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan menuju Tanjung Medan. Maka selamatlah rombongan sampai di Tanjung Medan, sebab negeri telah aman dan kepala2 tukan sihir sudah habis waktu melawan Khatib Sangko tempo hari.

Setelah beberapa hari di Tanjung Medan, maka diperbuatlah Surau oleh masyarakat untuk tempat tinggal Syeh Burhanuddin. Surau selesai di bangun, maka beramai-ramailah penduduk Tanjung Medan maupun dari luar Tanjung Medan datang berkunjung tiap hari. Pada suatu hari berkatalah Syeh Burhanuddin kepada orang banyak itu : "wahai Saudara-saudaraku sekalian, maukah saudara-saudara mendengarkan kata-kataku ?", menjawab semua yang hadir dengan serentak : " apa-apa kata Tuanku tidak akan kami sanggah dan akan kami patuhi". Berkata Syeh Burhanuddin ; "wahai Saudara-saudaraku sekalian, aku pinta kepada Saudara supaya menghimpun anak-anak Saudara ke tempat aku ini untuk kawan diajak ngomong seiya- sekata dengan aku". Menjawab sekalian yang hadir: "baik Tuanku segera kami selenggarakan". Tidak lama kemudian maka berhimpunlah anak-anak, remaja-remaja dan tidak ketinggalan orang tua-tua pun sekalian.
Setelah anak-anak berhimpun, Syeh Burhanuddin berkata kepada semua anak yang hadir waktu itu ; "apa saja permainan yang diperbuat selama ini dalam kampung, biar kita buat pula disini ?" maka menjawab sekalian anak-anak dengan gembiranya, maka diterangkan oleh anak-anak permainan yang mereka perbuat : "main tondih damar keras, main galah, main kelereng, main ayam-ayaman dan lain sebagainya". Perkataan Syeh Burhanuddin dengan anak-anak :
"maukah kamu mematuhi kata saya ?", anak-anak menjawab : "mau Tuan Syekh"
Permainan itu mana yang baik kita lakukan terus dan yang buruk kita tinggalkan, ya Tuan, jawab anak-anak.
Sekarang hari malam pulang kalian kerumah tua ! Maka semua anak-anak pulang kerumah orang tua masing-masing.
Suasana seperti ini berlangsung hampir tiap hari. setelah beberapa harinya kemudian, berdatanganlah para orang tua anak-anak dengan membawa anaknya masing-masing sekalian membawa sedikit hidangan untuk jamuan, mereka menghadap Syeh Burhanuddin untuk menyerahkan anak masing-masing. Setelah berlansung acara serah terima, maka disusunlah hidangan yang dibawa untuk jamuan makan bersama. Ketika dipersilahkan makan dari makanan yang terhidang, Syeh Burhanuddin tidak mau makan, dia beralasan tidak suka gulai babi, rendang tikus dan goreng ular (hidangan yang dibawa para orang tua anak-anak, nasi dan sambal yang dia tidak suka itu), dari itu makan sajalah saudara-saudara kata Syeh Burhanuddin.

Selesai makan, dua orang laki-laki mengemukakan hajatnya : "Ya, Tuan Syekh, sewaktu Tuan Syekh tinggal di Aceh dulu, kami telah lama berkawin tetapi tidak dikurniai anak, maka suatu hari kami bernazar kalau kami diberi anak akan kami berikan kepada Tuan, tidak lama sesudah itu kami beroleh dua orang anak laki-laki, ini dia anak itu, terimalah keduanya oleh Tuan Syekh, lepaslah nazar kami itu". Maka beliau terimalah kedua anak itu dengan gembira dan bersyukur ke pada Allah SWT, karena kebetulan dia tidak punya anak disebabkan karena dia telah memukul zakarnya dengan batu hingga rusak sewaktu di Aceh dulu. Kedua anak itu beliau beri nama dengan : ABDURRAHMAN yang tua dan JALALUDDIN yang muda. Kedua anak ini beliau asuh dan didik dengan ilmu agama Isalam sedalam-dalamnya sehingga keduanya menjadi 'Alim. ABDURRAHMAN inilah yang menjadi Khalifah pertama setelah beliau wafat. Di akhir percakapan kepada kedua orang tua anak itu, maka beliau beramanat : "Saudara-saudara telah menyerahkan anak kepada saya untuk mempelajari ilmu pengetahuan, dari itu jikalau mereka memperoleh ilmu pengetahuan dan berkata kepada ibu bapaknya mengenai yang benar hendaklah dibenarkan, jikalau buruk kata anak hendaklah diburukan, baik kata anak hendaklah dipakai. Apabila tidak baik kata anak hendaklah ditinggalkan. Sekianlah amanat saya kepada Saudar-saudara, apakah Saudara-saudara menerima atau tidak ?". Maka menjawablah ke dua orang tua anak itu dan para orang tua lainnya : "Apa yang Tuan Syekh amanatkan akan kami terima dan kami berjanji akan melaksanakan semua pengajaran Tuan". Tuan Syeh Burhanuddin mengucapkan "Alhamdulillah ahdana al-Quran al-Mustakim". Selesai semua percakapan maka berangkatlah orang tua anak-anak kembali kerumah masing-masing, anak-anak tinggal di Surau Syeh Burhanuddin di Tanjung Medan.

SUMBER :
#Dibaca dari buku di Transliterasi oleh Addriyetti Amir, di bantu tuliskan kepada Sdr. Sudarmoko tertulis Edisi Khusus Agustus 2001 oleh PUITIKA.
#piliang5.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar