Sabtu, 21 Juli 2018

MELINTASI SEJARAH BIOSKOP DI SUMATERA BARAT

Melintasi Sejarah Bioskop di Sumatera Barat

Cikal Bakal Sinema di Padang

Padang adalah kota yang strategis. Dengan Pelabuhan Emmahaven sebagai gerbangnya, Padang menjamu pedagang dan pendatang dari berbagai belahan dunia. Tak heran apabila Padang terhitung cepat dibanding dengan daerah lain di bagian barat Indonesia. Fonograf, atau mesin bicara yang diciptakan Thomas Alva Edison pada 1887, sudah ada di Padang sejak 1898. Begitu juga dengan film. Pemutaran film sudah ada di Padang sejak 1905, walau sifatnya masih eksklusif untuk orang-orang Belanda. Film yang diputar adalah dokumenter perang Jepang melawan Uni Soviet. Pemutaran-pemutaran film belum berlangsung di bioskop, melainkan di gedung multifungsi tempat berkumpulnya imigran-imigran Eropa, seperti Edison’s Wereld Toneel, Royal, dan Ons Genoegen.

Bioskop-bioskop baru berdiri pada dekade 1920an. Empat bioskop pertama di Padang, yakni Royal Excelsior Bioscope, Biograph Bioscope, Scalabio[scope], dan Cinema Theater, dimiliki oleh pengusaha Cina dan Eropa. Sampai sekarang belum diketahui letak persisnya keempat bioskop itu. Pada masa itu, pengusaha Cina memang banyak menanam saham untuk membangun bioskop, karena usaha perbioskopan begitu menjanjikan. Selain itu, para pengusaha Cina juga menganggap pengusaha Eropa telah gagal dalam berbisnis bioskop. Mereka yakin mereka bisa lebih baik dari orang-orang Eropa. Dalam berbisnis bioskop, pengusaha Cina cenderung mendirikan banyak bioskop dalam satu payung kepemilikan. Contohnya adalah Cinema Bioskop, yang dirintis pada 1921 oleh perusahan Maskapay Handle Industri. Ang Eng Kwan, pemimpinnya, kemudian mendirikan Appolo Bioscope pada 1926 dan Rio Bioskop pada 1936.

Bioskop dengan cepat menjadi bagian dari keseharian warga setempat. Mereka senang ke bioskop karena mereka bisa rebahan di kursi sambil menonton karya-karya gambar bergerak. Waktu itu harga karcis terbagi menjadi tiga klasifikasi: kelas satu ƒ 1,25; kelas dua ƒ 0,75; kelas tiga ƒ 0,25. Kelas menentukan posisi tempat duduk: kelas satu paling belakang, kelas dua di tengah, dan kelas tiga di depan. Penempatan ini selaras dengan stratifikasi sosial yang ditegaskan pemerintahan kolonial kala itu: kelas satu untuk orang-orang Belanda; kelas dua untuk orang Cina, India, Amerika, dan Eropa; dan kelas tiga untuk kaum pribumi.

Pembagian kelas di bioskop untungnya tidak bertahan lama. Melihat potensi penonton yang tinggi di kalangan penonton pribumi, para pengusaha Cina membuka bioskop mereka sepenuhnya untuk orang pribumi, selama mereka bisa membayar harga tiket untuk kelas dua atau kelas satu. di Padang Panjang, Bukittinggi, dan Payakumbuh pribumi juga senang nonton film di bioskop. Bioskop sudah mulai banyak berdiri di sana.
Sejak 1926, film-film bersuara mulai hadir di Hindia Belanda. Tidak saja film-film bersuara dari luar, seperti Jazz Singer, Fox Foolies, dan Rainbow Man, tapi juga film-film bersuara produksi lokal Njai Dasima dan Pembalasan Nancy. Film-film ini menghadirkan pengalaman menonton yang berbeda. Kalau biasanya cuma bisa memahami film dari gerak-gerik para pemeran, kini mereka harus mencermati dialog-dialog yang mereka ucapkan. Sialnya, bahasa yang dipakai tak dipahami oleh penonton pribumi. , sehingga para pengusaha bioskop menyertakan teks tertulis di layar (subtitle) supaya film mudah dipahami.

Awal 1930an, perbioskopan mengalami masalah. Tidak hanya di Padang, tapi juga di luar Padang. Krisis ekonomi akibat Perang Dunia I mulai terasa di Hindia Belanda. Para pengusaha bioskop kesusahan mengimpor film-film dari luar, dan bioskop mulai ditinggalkan penonton. Masyarakat pun terlalu sibuk mencari uang untuk makan. Tak banyak yang tersisa untuk menonton film.

Krisis mendorong para pengusaha bioskop untuk berstrategi bersama. Pada 13 September 1934, mereka berkumpul dan menyelenggarakan rapat di Batavia. Pertemuan itu menghasilkan Gabungan Pengusaha Bioskop Hindia Belanda. Holthaus dari Centraale Theater, Buitenzorg (Bogor), terpilih sebagai ketua; Liono, manajer perusahaan film Remaco, terpilih sebagai sekretaris; dan Van Der Ie dari Centraale Bioscoop, Batavia, terpilih sebagai bendahara. Ada pula Yo Hen Siang dari Globe Bioscoop dan Oey Soen Tjan dari Cinema Palace, Batavia, terpilih sebagai komisaris.

Pertemuan itu juga menetapkan iuran bioskop per bulan berdasarkan kelasnya: ƒ 15 untuk bioskop kelas I, ƒ 10 kelas II, dan ƒ 5 kelai III. Di Padang, bioskop kelas I meliputi Cinema Bioscoop, Rio Bioscoop, Capitol Bioscoop, dan Rex Bioscoop. Bioskop kelas II hanya Apollo Bioscoop.

Kedatangan Saudara Tua

Agresi Jepang di Pearl Harbour membuat Belanda gentar. Mereka yakin Jepang akan segera menduduki Hindia Belanda, apalagi setelah Jerman, sekutu Jepang, berhasil menduduki negeri Belanda. Oleh karena itu AWL Tjarda van Starkenborg Stackhouwer, Gubernur Jenderal Belanda sekaligus wakil tertinggi Ratu Belanda di Hindia Belanda, mengumumkan pernyataan perang dengan Jepang melalui sebuah siaran radio. Wilhelmina, Ratu Belanda, menyetujui pernyataan perang tersebut, yang disampaikan oleh Duta Besar Belanda di Tokyo pada 9 Desember 1941.

Serbuan pertama Jepang ke Hindia Belanda berlangsung pada 11 Januari 1942. Dua bulan kemudian, tepatnya 8 Maret 1942, Belanda menandatangani penyerahan kawasan Hindia Belanda kepada balatentara Jepang tanpa syarat. Lima hari kemudian, derap langkah tentara Jepang mulai memasuki Padang dan Bukittinggi.
Jepang, yang merasa dirinya “kakak tertua”, mendirikan Sindenbu alias Badan Propaganda dan Penerangan. Salah satu dampak dari kehadiran Sindenbu adalah pelatihan dan pendidikan seniman Indonesia, termasuk para sineas. Dampak lainnya adalah penutupan atau pengambilalihan semua bioskop milik warga Cina peranakan. Jepang tidak percaya kepada orang-orang Cina. Sebagai gantinya, pemerintah kolonial Jepang mendatangkan film-film dari negeri mereka, lengkap dengan subtitel supaya mudah dipahami warga setempat. Jepang juga mengatur harga karcis menjadi lebih murah, kira-kira 10 sen, sehingga warga pribumi miskin sekalipun bisa menonton di bioskop. Selain itu, Jepang turut menyelenggarakan pemutaran di ruang terbuka untuk daerah-daerah kecil yang tidak berbioskop.

Tapi pilihan film yang tersedia begitu terbatas. Selain film-film yang didatangkan dari Jepang, cuma ada film-film produksi sineas setempat yang diizinkan Jepang, dan jumlahnya tidak banyak. Pemutaran selalu diulang-ulang. Belum lagi krisis ekonomi yang melanda Sumatera Barat tidak kunjung membaik.
Merdeka dengan Segala Konsekuensinya
Kabar tersiar bahwa Hiroshima dan Nagasaki hangus dihajar bom atom Amerika. Tak berdaya, kekaisaran Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu. Hanya ada satu kata bagi Indonesia: merdeka!

Kejatuhan Jepang membawa berkah tersendiri bagi penikmat film . Film-film dari luar Indonesia kembali banyak, tidak saja dari Amerika, tapi juga Uni Soviet dan Prancis. Bioskop-bioskop di Padang, salah satunya Capitol Bioscoop, juga kembali sering menayangkan film baru.

Tapi kenikmatan tersebut tidak berlangsung lama. Pembrontakan PRRI/Permesta pada 1950an membuat masyarakat takut untuk keluar rumah. Bahkan banyak masyarakat sumatra barat sampai mengungsi ke daerah lain. Bioskop kala itu hanya mengadakan satu pemutaran tiap harinya, yakni pada jam tujuh malam. Selang satu dekade, hadir Partai Komunis Indonesia (PKI) yang berusaha menghentikan pemutaran “film-film imperialis” di bioskop. Beberapa kader PKI, juga Lekra, membentuk PAPFIAS alias Panitia Aksi Penggayangan Film-film Imperialis Amerika Serikat sebagai ekpsresi ketidakpuasan terhadap masuknya pengaruh budaya barat, terutama Amerika, ke Indonesia. Bioskop pun berhenti menayangkan film-film Amerika, namun tetap memutar film-film dari Hongkong, Cina, Jepang, dan Italia. . Selain itu, situasi nasional yang tak menentu juga membuat masyarakat takut keluar rumah.

Setelah peristiwa 30 September 1965, pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk mengganti nama bioskop berbau asing ke nama yang lebih Indonesia. Cinema Bioscoop ganti nama jadi Bioskop Karia, Apollo Bioscoop jadi Bioskop Satria, Rio Bioscoop jadi Bioskop Mulia, Capitol Bioscoop jadi Bioskop Raya, dan New Rex jadi Bioskop Kencana.

Masa Keemasan

Dekade 1970an sampai 1990an kembali mengakrabkan masyarakat dengan bioskop. Boleh dibilang masa itu adalah masa keemasan bioskop di Padang. Masa-masa mencekam sudah berakhir, dan orang-orang kembali aktif berkegiatan di luar rumah. Masyarakatpun sampai berdesak-desakan ketika memesan tiket di bioskop. Kadang kala, harus berseteru dengan orang lain untuk memesan tiket yang hampir habis.
Menonton di bioskop kala itu menghadirkan pengalaman yang khas. Selain perangkat pemutaran film dan tata suara bioskop, setiap studio turut dilengkapi skuadron nyamuk, pendingin ruangan yang entah ke mana, dan suara ribut orang-orang. Namun yang paling menjengkelkan adalah film yang mendadak berhenti di tengah-tengah pemutaran. Sebabnya adalah gulungan rol film berisikan paruh kedua film belum sampai di bioskop. Di tengah-tengah layar akan muncul tulisan “Mohon Maaf”. Kalau sudah jengkel, akan ada yang berteriak, “Incek! Kalera ang!” Incek adalah panggilan orang Cina pemilik bioskop.

Setiap bioskop juga menawarkan sajian film yang khas. . Di Padang, misalnya, Bioskop Karia lebih banyak menayangkan film-film asing, dari Amerika, Eropa, Cina, Hongkong, dan Taiwan. Beberapa film Mandarin yang sempat di putar di Karia adalah The Chance (1977), Hit Team (1982), dan Chow Yun Fat The Killer (1982). Bioskop Mulia adalah spesialis film India, sementara bioskop Raya theatre lebih sering memutar film-film Indonesia, seperti Lelaki Binal, Susuk Nyi Roro Kidul, Kenikmatan Tabu, Bernafas dalam Lumpur, Raja Copet, dan Raja Dangdut.

Bioskop-bioskop Bukittinggi juga sama menariknya. Bioskop Eri cenderung memutarkan film India dan film-film misteri. Bioskop Sovia lebih dekat dengan film-film drama Indonesia macam Catatan Si Boy (1987), sementara Bioskop Gloria banyak menayangkan film-film Barat seperti Breakdance (1987) dan Top Gun (1987).

Di Solok, orang-orang di gedung bioskop itu selalu membicarakan tentang Roma Irama, Amitabacan, dan Sanjaydut.
Ada istilah tersendiri untuk orang-orang yang getol meniru tingkah aktor utama sebuah film: korban bioskop. Kebanyakan “korban bioskop” mengikuti jagoan-jagoan film laga.

Animo masyarakat yang begitu tinggi mendorong pengusaha bioskop di Padang untuk mengembangkan bioskop-bioskop murah atau THR, karena masyarakat yang ingin menonton tidak bisa ditampung lagi oleh bioskop yang ada. Kehadiran bioskop-bioskop baru ini menambah jumlah bioskop di Padang mencapai 28 bioskop: Bioskop Karia, Bioskop Satria, Bioskop Raya, Purnama Theater, Kencana Theater, THR Irama Bahari, Padang Theater, Indah Theater, Bioskop Buana, THR Purnama, THR Angkasa, THR Bhakti, THR Imam Bonjol, THR Simpang Haru, THR Jati, THR Alai, THR Siteba, THR Karia Bandar Buat, THR Lubuk Begalung, THR Teluk Bayur, THR Bungus, THR Sarang Gagak, Indarung Theater, THR Yani, Arjuna Theater, Bioskop President, dan THR Parak Laweh.

Sarana menonton lainnya yang tersedia bagi masyarakat Sumatera Barat adalah bioskop misbar alias gerimis bubar. Pemutarannya berlangsung di lapangan terbuka, dengan harga tiket yang relatif murah.  Harga tiket kala itu bermacam-macam, mulai dari Rp. 100 sampai Rp. 10.000, tergantung posisi tempat duduk yang ditentukan oleh warna tiket: merah, kuning, dan hijau. Bioskop Raya memiliki harga tiket paling mahal, yakni Rp. 10.000.

Sinema Versus Layar Kaca

Masa kejayaan bioskop di Sumatera Barat tidak berlangsung lama. Tanda-tanda keruntuhan bioskop sudah terbaca sejak 1985, ketika teknologi video tape memungkinkan orang untuk menonton film di televisi. Maraknya pembajakan film membuat orang-orang lebih memilih menonton film dengan video tape yang diputar di televisi mereka (jika ada) atau tetangga mereka (jika tidak ada). Mereka menonton di rumah tetangga, mereka tetap patungan untuk iuran listrik. Tidak mahal, tidak lebih dari Rp. 100.

Orang-orang jadi jarang ke bioskop. Bioskop-bioskop kehilangan pemasukan, dan akibatnya sulit untuk merawat dan memperbaiki perangkat pemutaran film serta fasilitas bioskop. Satu per satu mulai gulung tikar. Beberapa di antaranya: Bioskop Buana I, II, III, THR Imam Bonjol, Bioskop President I, Bioskop Purnama, THR Siteba, THR Jati, THR Bungus, THR Serayu, dan THR Bahari. Semuanya tutup usaha pada dekade 90an.

Lambat laun, televisi mulai ramai dimiliki orang. Televisi dirancang sedemikian rupa agar sesuai dengan peralatan rumah tangga: berbentuk segi empat serupa kulkas, kursi, meja makan, kompor, dan lain-lain. Juga iklan-iklan di media massa ramai menggambarkan bagaimana televisi menjadi sebuah simbol atas kenyamanan sebuah keluarga. Televisi pun menjadi bagian dari keluarga, yang diletakkan tepat di inti rumah: ruang keluarga.

Beberapa gedung bioskop yang masih bertahan pun semakin kosong. Gedung-gedung itu dirubuhkan, lalu diganti dengan bangunan baru, seperti Pertamina, Kantor Polsek, showroom mobil, ruko, Kantor Bank dan sebagainya. Hancurnya gedung bioskop juga disebabkan oleh gempa besar yang melanda Sumatera Barta pada 2009. Sampai akhir 2015, bioskop yang bisa dikatakan aktif hanya ada dua, yaitu Bioskop Karia dan Bioskop Raya. Kedua bioskop itu juga sudah mengganti perangkat pemutarannya, dari seluloid ke digital. Sayangnya mereka hanya mampu merenovasi satu studio saja di bioskop masing-masing. Jadi tidak terlalu banyak berpengaruh.

Pada akhir 2016 Grup 21 buka cabang pusat perbelanjaan Ramayana Padang. Bioskop yang sudah terlebih dulu hadir di seantero Indonesia, baru hadir di Sumatera Barat pada 2016.
Memang, mereka kembali berdesak-desakan dalam sebuah antrean panjang. Bedanya, bioskop baru ini tampak begitu eksklusif. Teknologinya juga canggih. Penonton bisa memilih kursi sebelum menontonnya. Lantainya berkarpet, kursinya empuk, juga panganan yang dijajakan nampak lezat dan mengundang liur. Bagi warga padang ini bukan nostalgia, tapi babak baru yang menjadi standar untuk bioskop-bioskop pada masa mendatang.

Sumber=cinemapoetica.com

1 komentar: