Pandangan Buya Hamka tentang Sejarah Riau
UNIVERSITAS Riau pada bulan Mei 1975 pernah menggelar seminar tentang Sejarah Riau. Salah satu pemakalah dalam seminar itu adalah Prof Dr H Abdul Malik Karim Amarullah atau yang lebih dikenal dengan sebutan Buya Hamka. Hamka adalah ulama legendaris, sastrawan dan peminta sejarah.
Lantas apa pandangan Hamka tentang sejarah Riau yang dikemukakan dalam seminar tersebut. Berikut isi makalah Hamka dalam seminar itu, yang dimuat dalam bukunya "Dari Perbendaharaan Lama":
Motto:
Terkenang Riau di zaman Jaya
Mata berlinang, hati terharu.
Sekarang Merdeka Indonesia Raya,
Riau mendapat semangat baru.
Akan saya mulai pandangan ini dengan dua ucapan terima kasih. Pertama, terima kasih pribadi karena diberi kehormatan untuk turut hadir sebagai peserta dalam Seminar Sejarah Riau ini. Karena kalau orang belum sepakat menganggap saya sebagai ahli sejarah, namun orang tidaklah akan keberatan menerima sebagai seorang peminat sejarah tanah air Indonesia tercinta ini, termasuk Sejarah Riau yang harus diakui telah mengambil peranan penting dalam perkembangan kita di masa lampau dan akan terus buat masa-masa yang akan datang.
Yang kedua, ialah kepada para sarjana Sejarah dari Universitas Riau yang telah menyusun Draft Sejarah Riau dengan rapi sekali, dengan hati-hati, sebagai suatu buah penemuan yang penuh kesabaran dan cinta, terdiri dari empat jilid. Terima kasih karena dia telah memudahkan para peminat dan sejarawan yang lain mengikuti seminar ini.
Dia telah memudahkan para peminat dan sejarawan yang mengikuti seminar. Dia telah memudahkan bagi para pembanding buat membantu menyisip mana yang patut disisipi dan menyiang mana yang patut disiangi. Draft susunan empat jilid buku ini bukanlah "tanduk kerbau mati", melainkan "gading yang bertuah" sehingga kelak kalau akan ada beberapa bandingan dari para ahli, tidak lain adalah karena memang bertuah gading ini.
”Tidaklah dia gading, kalau tidak ada retaknya." Dapat dipastikan bahwa kalau buku ini bukan "gading bertuah" janganlah membanding isinya, menengok saja pun orang belum tentu mau. Berani saya mengatakan bahwa ucapan terima kasih atas susunan buku ini bukan saja datang dari saya, bahkan juga dari pada ahli yang hadir dalam seminar ini.
Dari segi pembangunan bangsa, dari segi pembinaan sebuah bahasa yang sedang menanjak naik menjadi salah satu bahasa dunia, yaitu bahasa Indonesia, yang oleh saudara-saudara sedarah kita di Malaysia dinamai bahasa Kebangsaan, yang di dalam Kongres Bahasa Indonesia di Medan tahun 1954, telah dijelaskan bahwa Bahasa Indonesia adalah berdasar dan berasal dari bahasa Melayu.
Dari segi itu seminar ini pun sangat penting. Karena dari Riau inilah dahulunya datang apa yang disebut "Bahasa Melayu Riau", yang dijadikan bahasa persuratan, bahasa ilmu pengetahuan. Kita telah berpisah dengan saudara kita sedarah Malaysia, sejak dipisahkan oleh Raffles pada tahun 1819, namun kita belum pernah merasa berpisah dalam budaya. Kita tidak merasa berpisah dalam bahasa. Kita tidak pernah berpisah dalam agama yang dipeluk oleh golongan terbesar, yaitu agama Islam.
Thomas Carlyle, pujangga Inggris, pernah mengatakan. ”Amerika telah berpisah dengan kita. Namun bahasa selalu mempertemukan kita dengan Amerika. Satu waktu India pun akan lepas dari kita, namun bahasa Inggris akan selalu mengikat di antara kita dengan India.”
Begitulah pula saya berkata sekarang, dalam majelis seminar ini, di hadapan saudara-saudara kita yang datang sebagai peninjau (pemerhati) dari Singapura dan dari Malaysia, yaitu dari Johor, Malaka dan Kedah dan dari University of Malaya.
Mari mudikki sejarah ke hulu
Di mana tersekat lekas elakkan
Pusaka nenek yang dulu-dulu
Sama dibuhul, sama diikatkan.
Sebaris tiada yang lupa
Setitik tiada yang hilang
Yang diarah, yang dicita
Pegangan teguh malam dan siang.
Yaitu sejarah, bahasa dan budaya. Tidak Melayu hilang di dunia. Melayu tetap berseri, berpalun dan berpilin dalam jiwa kita, kita pupuk dalam Indonesia yang merdeka, kita pupuk dalam Malaysia yang merdeka!
Penting sekali menyelidiki Sejarah Riau ini dalam rangka penyelidikan Sejarah Tanah Air Indonesia. Dengan mempelajari Sejarah Riau, kita mendapat tambahan kekayaan untuk membina kepribadian kita sebagai bangsa. Di sini sangat banyak terdapat sisa kebesaran yang mesih kita gali.
Di sini banyak bertemu nama-nama kerajaan zaman lama. Sejak Pra-Sriwijaya, Sriwijaya, Darmawangsa, Pagarruyung, Temasik, Riau, Lingga, Kandis dan Kuantan, Indragiri, Siak Sri Inderapura, dan beberapa kerajaan yang lain.
Di sini pun kaya dengan nama-nama pahlawan Lama, dan pahlawan baru, yang akan jadi kebanggaan, yang akan dipesankan oleh nenek ke bapak, dari bapak ke anak, dari anak ke cucu.
Sejak Paduka Raja, Sultan Manaur Syah Malaka, Sultan Ahmad Syah bin Sultan Mahmud Syah, Sultan Mahmud Syah Marhum Kampar, Laksamana Hang Tuah dan lain-lain.
Di sini pun terdapat nama yang gemilang dari Raja Haji Yang Dipertuan Muda Riau, Marhum Syahid Fi Sabililah Teluk Ketapang, yang mencapai syahidnya dengan badik Bugis di tangan kanan, dan surat Dalailul Khairat Kitab shalawat kepada Nabi Muhammad SAW di tangan kiri.
Di sini pun terdapat Pahlawan Pengembara lima bersaudara dari Bugis Tanah Luwuk. Keturunan Lamdu Salat, Payung di Luwuk, Sombaya di Goa, Maka-u di Bone dan Adatuang di Sidenreng.
Di sini pun terdapat Raja Kecil, petualang gagah perkasa yang di masa hidupya pernah mengharung laut Selat Malaka, merebut dan menguasai Johor, Riau, Lingga, Siak dan beberapa negeri di Pesisir Timur Pulau Sumatera. Yang mengakui dirinya anak yang sah dari Sultan Johor dan yang berhak atas tahta Johor, yang kemudian tetap menjadi Raja atas negeri Siak Sri Indrapura.
Di sini terdapat seorang Sarjana Islam yang besar, ahli sejarah dan bahasa, tempat bertanya dalam soal-soal hukum Agama. Raja Ali Haji, yang memancarkan sinar ilmu pengetahuan dari Pulau Penyengat.
Di sini terdapat Pakih Shaleh, Haji Muhammad Shaleh, yang disebut juga Harimau Rokan, disebut juga beliau di Dalu-Dalu, itulah Tuanku Tambusai, Pahlawan Paderi terakhir. Dan di sini, di zaman baru terdapat seorang Raja Melayu yang mula-mula sekali menyatakan kerajaannya menggabungkan diri ke dalam Republik Indonesia, sebagai sambutan Baginda atas Proklamasi 17 Agustus 1945.
Itu terjadi masih dalam bulan Oktober 1945. Dan beliau serahkan beserta pengangkuan penggabungan diri itu 13.000.000 (tiga belas juta Golden) kekayaan Baginda kepada Republik Indonesia untuk sokongan bagi perjuangan kemerdekaan. Itulah Yang Dipertuan Besar Sri Sultan Assayid Assyarif Hasyim Abduljalil Saifuddin Al Ba'alwiy, Sultan Siak Sri Indrapura Rantau jajahan takluknya yang bersemayam di dalam istana Al Hasyimiyah Almustanjid Billahi. (Begitulah gelar resmi Baginda ditulis dengan lengkap).
Di sini timbul seorang pemuda yang hanya mendapat didikan surau saja, bukan keluaran sekolah tinggi di Eropa atau salah satu sekolah kolonial. Pemuda itulah yang memimpin penaikkan bendera Merah Putih yang mula sekali di daerah Kampar, disokong oleh murid-muridnya yang bersedia syahid dalam menegakkan cita merdeka.
Yaitu Almarhum Ustadz Mahmud Marzuki. Ditangkap oleh Jepang, diinjak-injak dadanya dan dikirik-kirik dengan kaki, namun Sang Merah Putih tetap naik, Ustadz Mahmud Marzuki dapat melihat dengan rasa bahagia, meskipun tidak beberapa bulan di belakang itu beliau mendapat panggilan Tuhan karena dada yang telah remuk karena diinjak-injak itu.
Semuanya itu di sini, saudara-saudara, di Propinsi Riau yang sekarang, dalam Republik Indonesia yang Merdeka.
Di sini pula, terdapat suatu tempat yang sekarang telah tergabung ke dalam Propinsi Riau. Yaitu Candi Muara Takus! Di situlah apa yang ditulis oleh Sarjana F.M. Schniger Ph.D. dalam bukunya "The Forgotten Kingdom in Sumatera”.
Menurut susunan adat yang berjenjang naik, bertangga turun, jalan raya titian batu, yang sebaris tiada kan hilang, setitik tiadakan lupa, Muara Takus adalah termasuk dalam Luhak Limapuluh Koto, yang di zaman Belanda menjadi sebuah Onderafdeeling, ibukola negerinya Payakumbuh. Namun karena sekali air gedang, sekali tepian berubah, tergabunglah Lima Koto Bangkinang ke dalam Propinsi Riau yang sekarang dan lantaran itu terbawalah pula Muara Takus.
Maka dalam menggali sejarah Riau, dengan sendirinya Muara Takus menjadi obyek yang penting, menjadi buah selidik dan diskusi ahli-ahli sejarah di mana letak Sriwijaya lama itu, di Bukit Siguntang Maha Meru yang di Palembang kah, atau di Muara Takus inikah?
Teori Prof. Fatemi
Setelah saya turut pula membaca beberapa buku, dan khusus membaca tulisan analisa Prof. Fatemi dari Pakistan yang pernah menjadi profesor tetamu di University Malaya sekitar tahun 1960 yang dimuat dalam majalah ilmiah "Islamic Studian" yang terbit di Karachi pada bulan Maret 1962.
Menurut teori beliau, pusat Kerajaan Sriwijaya ialah Muara Takus. Beliau salin apa yang ditulis oleh pujangga Arab terkenal Al Jahizh dalam bukunya "Kitab al Hayawan" ketika membicarakan tentang Al-Fiil (gajah) dalam Fasal huruf Al-Faa.
Dikatakan bahwa Maharaja Hindi pernah berkirim surat kepada Khalif Mu'awiyah bin Abi Sufyan (Sahabat Rasulillah), pendiri Dinasti Bani Umayah dan berkirim surat pula kepada Umar bin Abdil 'Aziz dari Khalif Bani Umaiyah juga.
Dalam surat itu Maharaja menyebutkan alamat-alamat kebesaran atau urutan-urutan gelarnya, di antaranya bahwa baginda yang mempunyai kendaraan 1.000 ekor gajah, mempunyai dayang inang pengasuh di istana 1.000 puteri anak raja-raja yang bernaung di bawah payung panjinya. Baginda mengucap terima kasih atas jasa Khalifah Umar bin Abdil Aziz yang telah bersedia mengirimkan beberapa barang hadiah.
Menurut Fatemi, telah diselidikinya dengan seksama, maka di anak benua Hindi (India) sendiri tidaklah terdapat seorang Maharaja yang berkekayaan dan berkemegahan sebesar itu di waktu itu. Apatah lagi Baginda menyatakan bahwa negerinya kaya dengan emas.
Fatemi berpendapat bahwa Maharaja itu tentu tidak lain dari Maharaja Sriwijaya. Setelah diperbandingkannya dengan keterangan Schniger "The Forgotten Kingdom in Sumatera” itu dan hasil penyelidikan sarjana ini tentang Muara Takus, bagaimana berdekatannya dengan Gunung Suliki dan memang banyak gajah di sana di zaman dahulu, dan di Muara Takus itu sendiri pun terdapat pemandian gajah, condonglah beliau kepada kesimpulan tempat Sriwijaya ialah di Muara Takus. Di abad Hijriyah pertama sudah ada hubungan raja kerajaan tersebut dengan tanah Arab (Damaskus) dan ada keinginan hendak menyelidiki Islam, bahkan mungkin baginda sendiri telah Islam.
Kita tambahkan pula bahwa dalam rangka bekas candi sekarang, ditaksir memang ada dibuatkan patung gajah. Nampaknya gajah termasuk binatang sangat penting di masa itu. Lebih cenderung kita kepada pendapat Fatemi jika kita ingat dalam sejarah Islam sendiri, bahwa ketika Hajjaj bin Yusuf di zaman Khalif Abdul Malik bin Marwan, mengirim Pahlawan Muda Muhammad bin Qasim memasuki benua India yang disebut juga menurut nama sungainya.
Sungai Shindu, maka raja-raja di Hindustan yang negerinya dimasuki oleh pahlawan itu telah menyambut angkatan perang Islam itu dengan perang yang hangat, bukan dengan cara damai sebagaimana yang dilakukan oleh Maharaja Hindi yang disebutkan dalam karangan Al Jahizh ini.
Ini pun menambah berat pikiran bahwa Hindi di sini ialah Sriwijaya. Karena sejak zaman dahulu sampai sekarang ini, negeri kita ini masih disebut Hindi. Vietnam masih disebut Al Hindi Shiniyah, atau Indo China, dan di zaman dahulu dalam surat-surat orang Arab negeri kita disebut Aqshal Hind (Hindi yang jauh), bahkan kita sekarang pun masih menyebutnya Indo-Nesia, yang berarti Pulau-pulau Hindi. Bahkan orang Belanda pun menyebutkan "Mooie India" (Hindia yang Indah).
Sekarang tentang tahunnya. Tahun pengiriman surat itu disebut oleh Fatemi, menurut tahun Masehinya ialah 718, yang lama dengan tahun Hijriyah 75 Hijriyah. Artinya masih abad Hijriyah yang pertama. Kita ingat bahwa Nabi SAW hijrah ke Madinah tahun 622 dan Nabi wafat tahun 632 Masehi. Sebab itu memang tepat jika dikatakan bahwa di abad pertama Hijriyah, Islam telah datang ke negeri kita ini.
Sejarah Riau
Sekarang kita alihkan pembicaraan kepada pengkajian sejarah Riau. Pada hemat saya, di dalam mengkaji sejarah Riau seyogianyalah kita insafi bahwa bangsa Melayu Riau yang tulen, Melayu Riau yang sejati, atau yang disebut asli Melayu, payahlah mencari. Samalah dengan pepatah Melayu: "Mencari kutu dalam ijuk".
Mungkin yang asli Melayu hanya tinggal suku-suku terbelakang yang masih hidup di hutan, sebagai Talang Mamak dan orang Kubu. Adapun yang dinamai orang Melayu Riau, di zaman kebesaran imperium Melayu, sejak zaman Pasai, sampai zaman Malaka, sampai zaman Riau termasuk Johor, bernama Melayu bukanlah karena keaslian darah, melainkan karena telah lama tinggal di bawah naungan payung panji raja-raja Melayu.
Bahkan raja-raja itu sendiri pun banyak pula yang bukan asli Melayu, melainkan dirajakan oleh orang Melayu. Melayu Riau ialah berasal dari suku-suku Melayu seluruh kepulauan kita dan semenanjung kita yang kuat perkasa, yang suka mengembara mencari penghidupan.
Di mana yang manfaat, di sanalah mereka berdiam. Dengan dasar taat setia kepada raja-raja setempat. Mereka datang dari Malaka, dari Johor, dari seluruh semenanjung, dari Bugis, dari pulau Bawean, dari Minangkabau, dari Banjar, dari Kepulauan Sulu (Filipina sekarang).
Di dalam Tuhfat an-Nafis, Raja Ali Haji menulis bahwa di Tanjungbalai Pulau Karimun, pernah seorang Datuk yang datang dari Pulau Sulu jadi panglima laut. Juga dari orang Jawa! Juga orang Bajau!
Bertemu satu pantun; seorang perempuan dipermadukan oleh suaminya. Dia mengeluh karena suaminya itu sudah sangat lama tidak pulang ke rumahnya. Keluhannya diungkapkannya dalam satu pantun:
Terkembang layar perahu Bajau
Mudik di sungai Batang Hari
Bagai bintang kapur di kasau
Bilangan tuan tidak ke mari.
Arti yang terkandung di bagian kedua pantun itu ialah bahwa perempuan itu pemakan sirih. Tiap hari digoreskannya di kasau dengan kapur sirihnya (sadah) satu goresan. Lama-lama jadi banyak goresan itu, putih-putih sehingga laksana bintang layaknya. maka ketika suaminya yang telah lama pergi itu pulang kembali, diperlihatkannyalah goresan kapur sirih di kasau itu dan dipantunkannya pantun tersebut, menyesali suaminya.
Tetapi yang kita ambil ialah bait pertama pantun, yang membuktikan bahwa orang Bajau yang suka berlayar itu pernah juga mudik ke Hulu Jambi, memudiki sungai Batanghari, mungkin sampai ke Sungai Dareh. Dengan alasan pantun itu dapat kita buktikan bahwa orang Bajau pun salah satu unsur Melayu Riau. Karena tidaklah akan dikarang orang saja pantun berpangkal demikian, kalau tidak pernah kejadian.
Tentang orang Jawa pun demikian pula. Lama sebelum Majapahit mengembangkan sayapnya ke Malaka, di pulau Tumasik (Singapara) sendiri sudah terdapat banyak orang dari Jawa. Di zaman kebesaran Malaka tersebut bahwa orang Jawa banyak membuat kampung di Malaka.
Banyak juga Melayu peranakan Arab. Mereka telah banyak tersebut sejak berdirinya Kerajaan Pasai pertama, di zaman Al Malikush Shaleh. Mereka datang dari Mekkah dan Madinah, dan lebih banyak yang dari Hadramaut. Ke mari umumnya tidak membawa istri. Mereka kawin dengan penduduk yang ditempati.
Dengan segala hormat mereka diterima sebagai menantu. Lebih-lebih yang keturunan bangsa Sayid, yang disebut keturunan Rasulullah SAW. Raja-raja Melayu pula yang banyak menerima mereka jadi menantu. Kadang-kadang Raja tidak mempunyai keturunan laki-laki. Lalu dirajakan orang anak laki-laki dari anak perempuan raja. Anak itu berayah Arab tadi.
Si cucu itu naik takhta. Di Riau terkenal nama Sayid Muhammad Zain Al Qudsi, yang disebut juga Engku Kuning. Setelah habis keturunan Raja Kecil Sultan Abduljalil Rahmat Syah yang berhak jadi Raja, diangkat oranglah jadi Sultan Siak cucu beliau, bangsa Sayid dari keturunan Bin Syahab.
Bersamaan dengan itu dirajakan orang pula keturunan Alkadri di Pontianak. Jadi Raja pula di Pelalawan keturunan Bin Syahab. Di Perlis (Malaysia) dirajakan bangsa Sayid dari keturunan Jamalullail. Keturunan raja-raja Melayu bangsa Sayid itu kekal berkembang biak menjadi orang Melayu.
Itu sebabnya, maka dalam seminar kita ini kita dapati anggota seminar Melayu Riau, orang Indonesia sejati keturunan Arab. Seumpama Sayid Husin Al Qudsi, Sayid Mohammed Umar, Tengku Sayid Umar, Tengku Sayid Nasir, Tengku Sayid Arifin. Sebagai keturunan Raja-raja Melayu mereka memakai gelar Sayid.
Sahabat saya almarhum Engku Bot, yang di zaman sebelumnya perang menjadi Setia Usaha (Sekretaris) Sultan Siak, nama Malayunya Tengku Bot, nama Arabnya Sayid Muhsin bin Khalid bin Syahab.
Ada juga Melayu keturunan Keling. Yang disebut Keling di masa itu ialah yang berasal dari Negeri India, Pakistan dan Bangladesh dan Afghanistan sekarang ini. Dalam Sejarah Melayu, Abdullah bin Abdulkadir Munsyi ada juga menyebut bahwa orang-orang Kabul itupun banyak terdapat di Malaka. Melayu keturunan Keling itu sebelum Malaysia Merdeka terkenal disebut orang "Melayu Pekan".
Saya kemukakan ini semua supaya saudara-saudaraku di Riau jangan menyebut asli dan tidak asli. Dan berdasar kepada ini juga, saya minta ditinjau kembali keterangan bahwa penduduk kepulauan Riau sekarang ini ada disebut orang sutra Jawa, sutra Minangkabau, sutra Banjar dan sebagainya, yang tersebut dalam Draft Sejarah Riau hal. 45 terutama: tentang Minangkabau.
Oleh karena telah dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Sejarah Riau ialah setelah Riau jadi Propinsi sekarang ini kurang enak dirasakan kalau pedagang yang datang dari daerah Sumatera Barat itu disebut dalam buku catatan ilmiah sebagai orang pedagang atau penduduk dari Minangkabau.
Lebih tepat kalau dikatakan penduduk yang berasal dari Sumatera Barat. Karena Kampar Kiri, Kampar Kanan, Rokan, bahkan Kuantan sampai ke batas Peranap, semua sampai sekarang masih mengakui beradat pusaka secara Minangkabau, baik Perpatih atau adat Temenggung (Koto Piliang atau Budi Caniago).
Kata-kata keempat sutra (yang berasal dari empat suku yang asal dari Pariangan Padang Panjang; Koto dan Piliang dan Budi dan Caniago, di nagari-nagari itu masih dipakai sampai sekarang), meskipun mereka sudah dalam Propinsi Riau.
Datuk-datuk yang menjadi pemimpin dari kemenakannya, masih tetap ada di Kuantan, di Kuok, Air Tiris, Bangkinang dan Siak ialah Minangkabau Timur ini, sejak Rokan, Kampar dan sekitar Sungai Siak. Jika kelihatan ahli-ahli Agama Islam itu, mereka dihormati dan disebut ”Orang Siak ", sampai sekarang.
Karena itu maka menurut Dr. Abdullah Ahmad, "Nenek moyang tuan-tuan dari Kampar”, daerah Rokan dan sekitar Sungai Siak sekarang inilah guru-guru nenek moyang kami. Yang meng-Islam-kan kami orang "Mudik", orang pedalaman Minangkabau.
Akhirnya saya sampaikan seruan kepada IAIN di Riau agar turut aktif memasak dan menggali sejarah di Riau ini. Karena melihat bahan-bahan dan bibliograf pembacaan Draft Sejarah Riau, masih banyaklah pengambilan dari buah tangan Belanda. Sumber Arab amat jarang, kecuali yang ditemui oleh sarjana Pakistan Prof. Fatemi tadi.
Dan kepada sarjana-sarjana angkatan muda di Riau, baik dari UNRI atau dari IAIN, saya serukan, janganlah diabaikan huruf pusaka kita, yaitu huruf Arab yang telah kita pakai, beratus tahun lamanya. Di Malaysia dia disebut huruf Jawi, sedang di Indonesia disebut huruf Melayu.
Kasihan huruf Pusaka Islam itu, Indonesia menolak ke Melayu, Malaysia menolak ke Jawa, akhirnya terbenam di Selat Malaka! Lalu karena Indonesia dan Malaysia telah merdeka dari penjajahan bangsa Barat, kita gantilah huruf pusaka penjajah. Dengan demikian jadi sukarlah kita menggali sumber kebudayaan nenek moyang kita yang tersimpan dalam huruf itu.
Sehingga ajaran Abdurrauf Singkel, Dr. Rinkes-lah yang menggalinya, Hamzah Fanasuri digali oleh Doorensbos, Syamsuddin Sumatri digali oleh Nuwenhuyze. Kita sendiri tidak sampai ke sumbernya, kalau tidak melalui apa yang disuguhkan oleh Sarjana-sarjana Barat itu.***
sumber: buku "Dari Perbendaharaan Lama" karya Hamka
Sumber=m.potretnews.com
blognya sangat menambah wawasan kak
BalasHapusperbedaan tepung terigu dan tapioka