Hubungan Natal Mandailing Dan Minangkabau
Oleh=Sidi Abdullah
Kerajaan Natal
Berdirilah Kerajaan besar di bibir pantai Pulau Sumatera yang dipimpin oleh Raja Tuanku Besar Datuk Imam. Beliau adalah seorang pangeran dari Kerajaan yang bernama Ujung Gading yang sekarang adalah Kabupaten Pasaman propinsi Sumatera Barat. Pengembaraan Datuk Imam meninggalkan Kerajaan pimpinannya dengan maksud mencari dan menemukan daerah baru telah berhasil mendirikan sebuah Kerajaan besar dengan wilayah yang cukup luas di pesisir Barat Sumatera yang diberi nama “Ranah Nan Data”. Kelak nama ini akan berubah menjadi “Ranah Nata”, dan karena kedatangan para saudagar-saudagar asing akhirnya berganti menjadi Natal. Pengembaraan ini adalah tawaran dari pangeran Indra Sutan, seorang pangeran muda dari Kerajaan Pagaruyung (di Sumatera Barat) yang juga tengah mencari daerah baru untuk dijadikan Kerajaan.
Pangeran Indra Sutan dan Datuk Imam telah menjadi sahabat karib dalam pengembaraan dan pencarian mereka akan daerah baru tersebut hingga akhirnya mereka menemukan dataran luas yang cocok untuk dijadikan sebuah wilayah kerajaan. Setelah menemukan dan mulai mendirikan sebuah perkampungan, Pangeran Indra Sutan terus menyusuri wilayah sekitarnya ke arah hulu sungai hingga wilayah Kerajaan menjadi bertambah luas. Kemudian Pangeran Indra Sutan berniat untuk mendirikan lagi sebuah kerajaan baru di wilayah hulu Kerajaan Natal yang diberi nama Kerajaan Lingga Bayu. Sejak mendirikan dan memimpin Kerajaan Lingga Bayu, Pangeran Indra Sutan dan Datuk Imam membagi wilayah yang telah mereka kuasai itu menjadi dua bagian untuk dipimpin oleh masing-masing mereka sebagai Raja-nya.
Luas wilayah kekuasaan Kerajaan Natal pada mulanya meliputi 304.010 ha. Di sebelah timur berbatasan dengan Muara Sipongi, Hutanopan (Kotanopan) dan Panyabungan. Sebelah barat berbatasan langsung dengan Samudera Indonesia. Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Pasaman (Sumatera Barat). Dan sebelah utara berbatasan dengan Sibolga (sekarang Kotamadya Sibolga).
Setelah Kerajaan Ranah Nata di ‘mekarkan’ menjadi dua kerajaan, yaitu Kerajaan Natal dan Kerajaan Lingga Bayu, dan juga karena kehadiran Belanda yang terus menciutkan wilayah kerajaan Natal. Disebutkan bahwa wilayah Kerajaan Natal bersepadan di sebelah timur dengan Muaro (muara) Sungai Batang Natal hingga ke Muaro Selayan (sekarang di Kelurahan Tapus, dan sekarang telah menjadi bagian dari wilayah kecamatan Lingga Bayu), sebelah utara berbatasan dengan Batang Panggautan (sebuah desa yg masih termasuk dalam kecamatan Natal sekarang ini, berjarak sekitar tiga kilometer dari Natal), sebelah selatan berbatasan dengan Batang Sinunukan (sekarang di Kecamatan Sinunukan), sebelah barat berbatasan dengan Samudera Hindia di pinggir pantai barat Sumatera yang termasuk dalam propinsi Sumatera Utara.
Tuanku Besar Datuk Imam menetap dan memimpin Kerajaan Natal hingga akhir hayatnya. Ia mangkat di Natal. Belasan keturunannya meneruskan serta memimpin Kerajaan Natal hingga pada tahun 1947 saat terbentuknya Dewan Negeri yang menghapuskan daerah “Swatantra” atau daerah-daerah yang mengatur dirinya sendiri.
Dalam perkembangannya, Kerajaan Natal yang telah menjadi pusat perdagangan di pesisir barat Sumatera Utara yang telah disinggahi oleh saudagar-saudagar dari Cina, Arab, Portugis, India, kolonial Belanda, Aceh, Makasar, Jawa dan sebagainya. Perdagangan itu pada umumnya dilakukan dengan sistim barter (tukar-menukar). Hasil bumi penduduk ditukar dengan barang impor yang dibawa para saudagar seperti besi, kain, candu dan lainnya.
Antara Raja-Raja di Kerajaan Natal dengan pihak Kolonial sering berakhir dengan bentrokan besar, sikap pemerintah kolonial yang tidak selalu bersahabat menjadi penyabab utama, yang pada akhirnya Raja terguling ataupun diasingkan ke daerah lain dan tidak dapat lagi kembali ke Kerajaannya, bahkan juga banyak yang tewas dalam pembuangannya.
Pada tahun 1841, pemerintah kolonial Belanda menciptakan Residensi Tapanuli Selatan dengan ibukotanya Sibolga. Ketika itu belum ditetapkan apakah Natal termasuk dalam Residensi Tapanuli Selatan atau Residensi Padang. Pada tahun 1843 barulah diputuskan bahwa Natal masuk dalam Residensi Tapanuli Selatan oleh Gubernur Hindia Belanda yang berkedudukan di Padang, Sumatera Barat.
Dalam posisinya sebagai pusat jalur perdagangan, adat budaya Kerajaan Natal sedikit banyaknya juga dipengaruhi oleh adat budaya asing. Hal itu dapat terlihat dari beberapa jenis tarian Natal yang dipengaruhi oleh budaya Minang, Melayu dan Mandailing. Pakaian penarinya pun mendapat pengaruh dari budaya Cina, dan Portugis. Namun dalam prinsip keyakinan, masyarakat Natal mayoritas memeluk Islam.
Nama 13 Raja-Raja yang memerintah Kerajaan Natal:
Tuanku Besar Datuk Imam; Tuanku Besar Datuk Imam mempunyai empat orang saudara perempuan. Dua orang di antaranya bernama Puti Ratiah dan Puti Rani (Puti artinya adalah putri, panggilan untuk putri keluarga bangsawan).
Tuanku Besar Datuk Basa Nan Tuo; adalah putra dari Puti Ratiah yang diangkat menjadi Tuanku Besar (Raja) Natal ke-2 menggantikan pamannya, Tuanku Besar Datuk Imam. Tuanku Besar Datuk Basa Nan Tuo menikah dengan Puti Baruaci, cucu kemenakan dari Tuanku Besar Datuk Bandaro, Raja ke-2 dari Kerajaan Lingga Bayu, yang juga kemenakan Tuanku Besar Rajo Putih. Di masa pemerintahan Tuanku Besar Datuk Basa Nan Tuo, pusat kerajaan Natal dipindahkan ke Kampung Bukit yang letaknya jauh dari pantai.
Tuanku Besar Datuk Basa Nan Mudo; adalah saudara Tuanku Besar Datuk Basa Nan Tuo.
Tuanku Besar Tama Musi, bergelar Tuanku Nan Kusuik; adalah saudara sepupu dari Tuanku Besar Datuk Basa Nan Mudo.
Tuanku Besar Sutan Sailan; Puti Rani mempunyai putri bernama Puti Tuo, Puti Tuo mempunyai tiga orang anak, Puti Tune, Puti Rumbuk dan Sutan Sailan, Puti Tune mempunyai putri bernama Puti Nan Kalam.
Tuanku Besar Sutan Gembok; adalah anak dari Puti Nan Kalam atau cucu Puti Tune. Jadi Tuanku Besar Sutan Gembok adalah keturunan ke-5 dari Tuanku Besar Datuk Imam. Karena Tuanku Besar Sutan Gembok lebih tertarik pada masalah keagamaan, ia menduduki tahta Kerajaan hanya selama enam bulan untuk kemudian diserahkan kepada adiknya.
Tuanku Besar Si Intan; adalah adik dari Tuanku Besar Sutan Gembok. Pada masa pemerintahan Tuanku Si Intan inilah perahu-perahu layar bangsa Portugis mulai singgah di Pelabuhan Natal untuk mencari lada dan emas. Tuanku Besar Si Intan mempunyai dua orang isteri, yaitu Putri Nai Mangatas dan Uci Siti. Putri Nai Mangatas berasal dari kerajaan Pidoli Lombang, sebuah kerajaan di daerah Mandailing. Setelah kawin, namanya diganti menjadi Puti Junjung. Ia melahirkan seorang putra bernama Sutan Mohammad Natal. Sedangkan Uci Siti berasal dari Jambua Aceh. Jambua adalah kelompok masyarakat atau suku tertentu di luar kerabat Diraja yang menempati salah satu kampung di Natal. Masyarakatnya dipimpin oleh seorang Datuk. Misalnya, Jambua Aceh untuk kelompok suku Aceh dipimpin oleh Datuk Aceh. Jambua Rao dipimpin oleh Datuk Rao. Pada 22 Mei 1823, Tuanku Besar Si Intan mangkat.
Setelah mangkatnya Tuanku Besar Si Intan, putranya Sutan Mohammad Natal ketika itu masih kecil sehingga belum dapat menjalankan pemerintahan. Oleh sebab itu ibunya, Puti Junjung diangkat sebagai wali yang memegang tampuk kekuasaan memerintah Kerajaan Natal. Kemudian Puti Junjung menikah lagi dengan Sutan Salim. Sutan Salim selalu menyusahkan Belanda, sehingga ia tidak disukai pemerintah Belanda. Sutan Salim ditangkap dan dibuang ke Cianjur. Sutan Salim tidak pernah kembali ke Natal, ia meninggal dalam pembuangan.
Tuanku Besar Sutan Mohammad Natal; adalah putra dari Tuanku Besar Si Intan, pada masa pemerintahan Sutan Mohammad Natal, daerah kekuasaannya diciutkan oleh Belanda yang mulai menancapkan kekuasaannya di wilayah Sumatera, termasuk Minangkabau. Karena Sutan Mohammad Natal sering bentrok dengan Belanda, ia bernasib sama dengan ayah tirinya, dibuang ke Sibolga. Sejak itu, tamatlah riwayat Tuanku-Tuanku Besar di Natal yang bebas dari pengaruh Belanda. Kemudian Belanda membagi kerajaan Natal menjadi tiga daerah yang masing-masing dikepalai oleh seorang Kuria yang diangkat oleh Belanda, ditempatkan di Nata, Singkuang dan Batahan. Kepala kuria yang pertama di Natal bernama Datuk Mohammad Saleh. Ia adalah Datuk suku Minangkabau atau Datuk Jambua Minangkabau.
Tuanku Besar Rajo Hidayat; adalah putra Puti Junjung dengan Sutan Sailan.
Tuanku Besar Mohammad Saleh.
Tuanku Besar Sutan Marah Ahmad; diangkat pemerintah Belanda berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Hindia Belanda yang waktu itu berkedudukan di Padang. Pada masa itu daerah kerajaan Natal semakin diciutkan oleh Belanda.
Tuanku Besar Sutan Sridewa; adalah suami Puti Siti Zahara yang masih kemenakan Tuanku Besar Sutan Marah Ahmad. Tuanku Besar Sutan Sridewa adalah Raja Natal yang terakhir di zaman kolonial hingga terbentuklah Dewan Negeri yang menghapuskan daerah Swatantra.
Dari garis keturunan Tuanku Besar Si Intan, kelak lahir dua putra Indonesia yang menjadi tokoh penting dalam perjuangan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mereka bernama Sutan Sjahrir dan Sutan Takdir Alisjahbana.
Sutan Kabidun, putra Tuanku Besar Si Intan dengan Puti Uci Siti pada waktu perang Padri (1821 – 1837), menikah dengan Puti Loni yang berasal dari Kerajaan kecil Batu Mundam yang berkedudukan di dekat perbatasan Sibolga. Puti Loni adalah putri Raja Pagaran Batu di Batu Mundam. Ketika Tuanku Besar Si Intan masih hidup, Sutan Kabidun memerintah daerah Tabayong sampai ke Batu Mundam. Dari perkawinannya dengan Puti Loni, Sutan Kabidun memperoleh empat anak bernama: Marah Palangai, Marah Darek, Puti Johar Maligan, dan Puti Malelo (Puti Lelo).
Puti Johar Maligan menikah dengan Sutan Sulaiman, mereka memperoleh seorang putri yang bernama Puti Siti Rabi’ah. Puti Siti rabi’ah menikah dengan Mangarajo Sutan yang waktu itu bekerja sebagai Kepala Jaksa di Medan. Mereka dikaruniai tujuh anak. Salah seorang anaknya diberi nama Sutan Sjahrir yang kelak menjadi Perdana Menteri indonesia pertama.
Puti Malelo (Lelo) adalah putri bungsu Sutan Kabidun yang menikah dengan Sutan Mohammad Zahab, saudara sepupunya sendiri. Puti Lelo dan Sutan Mohammad dikaruniai beberapa orang putra dan putri. Salah seorang cucu mereka diberi nama Sutan Takdir Alisjahbana yang dikenal sebagai tokoh Sumpah Pemuda, tokoh Pujangga Baru, Novelis dan Ahli Filsafat.***
ijin copy yah kak
BalasHapusperbedaan tepung tapioka dan tepung kanji