Kamis, 19 Juli 2018

BUKTI MINANGKABAU

BUKTI MINANGKABAU

Minangkabau adalah salah satu daerah yang banyak menyimpan berbagai banyak pertanyaan sampai saat ini. Mulai dari penamaan daerah itu sendiri sampai daerah-daerah sekitarnya dikaitkan dengan kejadian serupa. Bagaimana kejadian itu sebenarnya ? Apakah masih ada bukti ontentik dari kejadian yang bersejarah itu sampai hari ini ? Daerah mana yang sebenarnya yang Minangkabau itu sendiri ? Serta kapan kejadian itu dan dimana bermulanya ?

Semua deretan pertanyaan tersebut tidak banyak diketahui oleh sebagian orang, bahkan pemuda/pemudi yang tinggal disana tidak begitu mengetahui tentang semua hal itu secara jelas. Maka jangan salahkan jika asal muasal terciptanya daerah kita dengan sejenap perjuangan dan bekerjasama mengusir orang-orang yang berniat mengusai daerah tercinta kita. Lalu mereka dengan seenaknya mengubah cerita ini dan itu, padahal tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya karena kita tidak pernah mengetahui semua semua tersebut. Jangan pernah melupakan siapa kita ? Dan bagaimana jayanya niniak mamak kita pada zaman dahulu, hingga kecerdasan dan kecerdikan orang Minangkabau terdengar sampai diluar negeri sekalipun. Tanyakan semua pertanyaan itu pada diri anda semua, jika benar anda-anda semua orang-orang Minangkabau ? Jika anda terlahir dan menjunjung tinggi “adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah, adat mamakai, agama dijunjung tinggi.” Begitulah orang Minangkabau itu, adat dan warisan kebudayaan sangat dijunjung tinggi dan tidak terlepas dengan agama Islam itu sendiri.
Sekitar tahun 1400 yang lalu, maka daerah Minangkabau ini belum dikenal dengan nama Minangkabau. Akan tetapi daerah kepulauan Sumatra ini lebih dikenal orang dengan nama Kepulauan Andalas. Pada saat itu sudah berdiri sebuah kerajaan yaitu kerajaan Pagaruyung. Pada suatu ketika terdengar kabar bahwa kerajaan Majapahit di Pulau Jawa akan datang dengan maksud untuk memperluas daerah kekuasaannya di Kepulauan Andalas tepatnya daerah Minangkabau sekarang. Maka pihak orang-orang Jawa itu datang ke tanah Minang sekarang disambut hangat dan kepala dingin oleh orang-orang sekitar.
Mereka datang dari tanah sebelah dan mengatakan dengan tegas kepada masyarakat setempat tentang maksud dan tujuan kedatangannya, namun pihak yang di tuokan sarantiang dan didahulukan salangka, atau kapai tampek batanyo, kapulang tampak babarito, datang menemui Dt. Nan Tuo pada saat itu. Dt. Nan Tuo adalah sebagai tempat bertanya dalam setiap permasalahan yang terjadi pada saat itu. Maka sang Dt. Nan Tuo mengatakan kepada orang-orang Jawa tersebut jika memang ingin mengusai daerah Minang ini, maka ada beberapa persyaratan yang harus dilakukan. Yaitu ada beberapa hal yang akan dipertanyakan kepada orang-orang Minang, jika pertanyaan itu tidak terjawab maka secara otomatis daerah Minang ini menjadi daerah kawasan Kerajaan Majapahit, jika benar mereka harus angkat kaki dari tanah Minang ini.
Kedatangan ke-2, rombongan orang-orang Jawa itu ke tanah Minang dengan membawa dua ekor Itik Angsa, dari kedua Itik Angsa tersebut mana yang jantan dan mana yang betina. Maka sebelum semua itu dijawab, maka dikumpulkan semua niniak mamak pada suatu tempat yang bernama Balai Sidasun. Balai Sidasun adalah sebuah tempat untuk mengumpulkan orang-orang dan terletak di Jorong Kelarasan Tanjung. Maka mereka bermusyawarah memecahkan permasalahan tersebut. Namun, semua orang tidak tahu bagaimana cara membedakan mana Itik Angsa yang jantan dan Itik Angsa  yang betini. Maka Dt. Nan Tuo-lah yang dapat menjawab semua itu, jika ingin tahu mana itik Angsa yang jantan dan yang betina sangatlah mudah.
Maka keesokan hari waktu orang-orang Jawa itu membawa sepasang Itik Angsa dan bertanya kepada orang Minang. Maka orang Minang memberi makan terlebih dahulu kepada kedua Itik Angsa itu. Setelah kedua itik-itik makan, tidak lama setelah itu itu dijawablah dengan lantang oleh orang Minang. Itik Angsa yang makan terus adalah Itik Angsa betini dan Itik Angsa yang sesekali makan adalah Itik Angsa jantan. Maka, tertebaklah satu buah pertanyaan dari orang-orang Jawa tersebut. Dalam hal ini, “Jika pihak orang-orang Jawa itu menang maka dia berhak menduduki daerah minang ini, akan tetapi jika kalah dia harus pulang ke tanahnya dan memberikan kapalnya beserta isinya.” Seperti itulah kesepakatan terakhir kedua belah pihak antara orang Jawa dan orang Sumatra.
Hari berikutnya orang-orang Jawa itu datang kembali dengan rombongannya, membawa sebatang kayu sama besar kedua ujungnya. Maka, mana yang pangkal dan mana yang ujung. Maka kembali orang Minang ini ke rumah Dt. Nan Tuo, maka disampaikanlah hal tersebut. Dengan kecerdikan Dt. Nan Tuo ini lagi-lagi dia tahu jawabannya. Maka saat sampai pada hari penebakkan itu, maka orang Minang dengan mudah menjawabnya. Dengan cara memasukan kayu tersebut ke dalam air, maka bagian mana yang lebih dulu tenggelam adalah bagian pangka dan yang terangkat itu adalah bagian ujung. Sebenarnya ada dua cara yang disampaikan oleh Dt. Nan Tuo kepada juru bicara tersebut, yang kedua dengan cara mengikat sama panjang kedua kayu itu dan digantung, maka bagian maka yang yang terangkat itulah bagian ujung dan yang jatuh ke bawah adalah bagian pangkal. Karena bagian pangka lebih berat daripada yang ujung.
Maka sekali lagi orang Jawa kalah mutlak lagi dengan pertanyaan yang dilontarkannya kepada pihak Minang. Ada juga sebagian cerita yang mengatakan bahwa ada satu pertanyaan lagi yang dilontarkan kepada masyarakat Minangkabau yaitu menebak ikan didalam air, mana yang jantan dan mana yang betina. Maka dengan bantuan Dt. Nan Tuo yang sangat tinggi ilmu dan pengetahuannya maka dia dapat menyampaikan pesan dan cara menebak pertanyaan yang diberikan orang Jawa itu. Maka pihak pembicara Minang menjawabnya dengan lantang dan jelas. Jika ingin tahu mana ikan yang jantan dan ikan yang betina, awalnya sang juru bicara memperhatikan itu terlebih dahulu. Maka setelah ikan-ikan itu saling berkejar-kejaran dan bermain didalam air. Maka pihak Minang menjawab, ikan yang malenggok atau mendekati ikan satunya itulah yang jantan. Sedangkan ikan yang didatanginya adalah ikan yang betina. Maka sekali lagi pihak atau orang Minang benar menjawab pertanyaan yang diberikan tanah seberang tersebut.
Beberapa kali pihak orang Jawa itu kehilangan cara untuk mengusai tanah Minang itu. Maka mereka tidak lagi mengadu kecerdikan selainkan dengan beradu siapa yang paling tinggi, apakah orang Jawa ataupun orang Sumatra. Maka pihak Minang dan pihak tanah seberang datang ke tanah Minang untuk mengadu siapa manusia paling tinggi, apakah dari tanah Jawa atau tanah Minang ini. Maka, setelah berunding dengan pihak niniak mamak. Maka mereka miminta waktu tiga bulan, karena mereka yakin tidak ada orang yang lebih tinggi dari orang yang dibawa orang Jawa tersebut di tanah Minang ini. Dan juga sampai saat ini keturunan orang Minang tingginya hanya rata-rata. Maka pihak orang Jawa ini menyanggupi usulan atau permintaan dari orang Minang ini. Karena mereka yakin menang untuk kali ini, dan juga peluang untuk menang untuk hal ini ada pada pihak mereka.
Maka lagi-lagi Dt. Nan Tuo berpikir keras untuk dapat menandingi ketinggian orang Jawa tersebut. Akhirnya dia dapat ide, yaitu dengan meletakkan pariuk tanah (tempat memasak nasi) diletakkan diatas anak batang gabuang tiga buah dan lama kelamaan batang gabuang itu semakin tinggi dan tinggi. Maka tibalah hari yang sudah ditunggu-tunggu, orang Jawa itu sudah membawa orang paling tinggi mereka datang ke tanah Minang. Maka mereka menunjuk orang tinggi mereka, akan tetapi saat mereka menanyakan orang tinggi di tanah Minang. Maka berkatalah orang Minag bahwa orang tingginya masih tidur di dalam rumha. Namun mereka tidak percaya dengan hal tersebut dan ingin dia dibangunkan. Namun perwakilan orang Minang memperlihatkan sebuah jemuran celana orang tinggi mereka yang masih dijemur dan terkejutlah semua pihak Jawa itu dengan ukurannya yang sangat besar. Namun mereka masih tidak percaya dengan hal itu dan ingin meihat orangnya. Maka orang Minang manunjuak dari jauh orang tingginya, maka terlihatlah seperti orang yang sedang berdiri dengan kepala hitam padahal hanya pariuk nasi. Maka kali ini mereka tidak berani berkata banyak karena orang tinggi mereka masih dapat dikalahkan oleh orang Minang. Maka mereka kembali dengan rasa tidak puas ke tanah seberang dan tetap berambisi untuk mengusai daerah Minang ini.
Disana mereka berpikir dan berunding bagaimana caranya lagi untuk mengusai tanah Minang tersebut. Akhirnya mereka mendapatkan ide yaitu dengan adu kerbau. Kali ini mereka yakin 100% menang karena kerbau mereka jauh lebih besar daripada kerbau-kerbau orang Minang yang mereka lihat. Maka mereka datang dengan niat untuk mengadu kerbau di tanah Minang. Maka, kali ini Dt. Nan Tuo berpikir keras, di tempat biasa dia duduk yaitu di Bukit Kayu Sabatang (sampai saat ini masih ada batu berbentuk tempat duduk beliau). Beliau memandang ke arah nagari Minang, tiba-tiba saja datang ide cemerlangnya. Maka diperintahkanlah salah seorang dari Minang untuk mencari seekor anak kerbau yang masih kuat menyusui dan pisahkan dia selama satu minggu dari induknya serta jangan dikasih apapun sampai pertandingan itu di mulai.
Maka dicarilah seekor anak kerbau yang diperintahkan Dt. Nan Tuo tersebut. Setelah itu dibuatlah sebuah besi berbentuk tanduk atau Taji dengan istilah Minang (menurut sebagian orang). Maka besi Taji itu di asah sampai tajam dengan batu kiliran taji di tempat pemandian (masih ada sampai sekarang di tempat pemandian Minangkabau dan sudah diperjelas letaknya) dan juga konon katanya ada batu berbentuk lesung atau lasuang yang ceritanya juga memiliki sejarah. Dulunya rakyat Minang ini kaum wanitanya itu tidak seperti sekarang yang bebas tanpa aturan yang mengikat akan tetapi pada masa itu orang-orang wanita atau padusi tidak boleh asal keluar rumah. Jika mereka mandi mengunakan bunga tujuh ragam sebagai penganti sampoh pada zaman sekarang ini. Maka digunakanlah Batu Lasuang itu untuk manunbuak atau menumbuk bunga-bunga tersebut diatas batu tersebut. Alat yang mereka gunakan pada saat itu disebut dengan Pakasai (istilah Minang), sedangkan cara mengunakannya disebut dengan Bakasai (istilah Minang),
Maka setelah Taji atau tanduk yang terbuat dari besi itu sudah tajam dan sampai pada saat hari dimana kerbau itu akan diadu. Maka dipasanglah Taji tersebut ke kepala anak kerbau itu. Adu kerbau itu akan dilangsungkan di Sawah Padang (sampai saat ini masih ada di pinggiran jalan ke Sungayang) banyaklah orang-orang berduyun-duyun untuk menyaksikan pertarungan adu kerbau itu. Pada saat anak kerbau itu dilepaskan, maka secara tiba-tiba anak kerbau itu menyangka kerbau yang besar itu adalah induknya. Maka anak kerbau itu langsung mencari punting susu kerbau besar itu dan kebiasaan anak kerbau yang sedang mengusuh mengadu kepalanya setiap menyusu dengan perut induknya. Maka secara tidak langsung besi Taji atau Minang yang dipasang ditanduk anak kerbau tadi merobek-robek perut induknya. Maka luka yang semakin membesar itu membuat kerbau besar tadi merasa kesakitan dan mencoba berlari kesana-kemari. Karena merasa kesakitan kerbau itu berlari ke arah bawah yang pada saat itu orang-orang berdatangan untuk menyaksikan adu kerbau itu seperti balai, makanya sampai saat ini sawah itu diberi nama Sawah Balai. Kerbau besar itu terus ke arah bawah berlari maka daerah itu diberi nama dengan sebutan Sawah Siambek, karena disana orang-orang menghalangi kerbau besar itu untuk berlari. Bergeser ke atasnya juga diberi nama Sawah Sepatu, karena di sawah itu banyak tertinggal sepadu orang-orang karena kejadian itu. Ada juga yang berpendapat bahwa kerbau besar itu berlari mengunakan sepatu, yang diberi oleh orang Jawa itu. Mungkin sepatu yang dipakai kerbau itu terlepas disana dan juga ada yang berpendapat bahwa kerbau yang besar itu dipaga dengan ruyuang-ruyuang (bekas sisa dari pohon Enau yang sangat keras) mungkin itu sebabkan dinamakan Paga Ruyung atau Pagaruyung pada saat sekarang ini.
Kerbau yang besar itu masih tidak mampu dihentikan oleh orang-orang, maka kerbau besar itu tiba-tiba merasa bagak atau berani karena sakitnya semakin perih untuk melawan orang-orang yang ingin menangkapnya. Maka tempat itu dinamakan Polak Bagak tempat yang dilalui kerbau itu, bergeser lagi semakin kerbau itu berlari paruik panjangnya semakin keluar dan tertinggal, daerah itu disebut dengan Koto Panjang. Semakin kerbau itu berlari semua isi perutnya semakin tertinggal, maka daerah itu sekarang disebut dengan Simpuruik.
Akhirnya kerbau besar itu jatuh juga sendiri karena semakin parah dan luka yang sebagian isi perutnya sudah tercecer dijalan. Makanya tempat kerbau itu dikuliti dan jangek-nya diambil disebut dengan Sijangek. Maka pada saat itu terdengarnya terikan “Manang kabau...manang kabau..manang kabau.” Itulah nama Minangkabau yang kita kenal sekarang berasal dari sana, dan sudah di yakini sebagai asal muasal penamaan daerah ini sampai saat ini menjadi Minangkabau. Walaupun ada pendapat lain yang mengatakan dari besi yang dipasang ditanduk anak kerbau itu. Serta ada juga yang mengatakan dari banyaknya kerbau di ranah Minang, itu setiap berjalan malenggok yang disebut dengan istilah Minang maenang. Meanang itu seperti bergelombang dan juga tanah Minang ini seperti bergelombang dengan perbukitan, makanya disebut dengan meanang. Lama-kelamaan menjadi Minangkabau. Namun ada juga yang mengatakan bahwa dari banyaknya kerbau-kerbau di nagari Minangkabau ini pada masa dulu. Sedangkan ada juga yang berpendapat dari banyaknya pohon Pinang pada masa dulu yang konon katanya penyembutan huruf “P” dan “M” menjadi kurang fasih. Namun pihak pemerintah setempat sampai saat ini lebih percaya dengan kejadian adu kerbau tersebut karena ada bukti-bukti yang bisa dijadikanb referensi sampai saat ini. Karena pada saat itu belum dikenal dengan buku-buku untuk bisa menulis pada masa sekarang ini hanya cerita dari mulut ke mulut.
Setelah kejadian itu orang-orang Jawa itu mengaku kalah dengan kekalahan adu kerbau tersebut. Agar mereka dapat menyampaikan kekalahan dari tanah Minang ini, maka dibawalah tanduk kerbau besar itu setengahnya dan setengahnya lagi disimpan di Minangkabau sebagai bukti kejadian tersebut. Kira-kira panjang tanduk kerbau besar itu sekitar tiga meter (namun sampai saat ini tanduk itu masih ada di simpang pemandian Minangkabau di rumah gadang Dt. Mojo Basa. Karena tanduk itu sudah terlalu lama tanduk itu sekarang panjangnya sekitar 1,25 meter. Tanduk itu sudah seperti kayu yang keras pada saat ini).
Sebelum orang Jawa itu kembali ke tanah seberang, maka orang Minang menyuruh orang-orang Jawa ini untuk memakai kain dipinggang yang disebut dengan Bakodek (istilah orang Jawa) dan ikat kepala sampai saat ini menjadi tradisi dan kalau bersalaman menyurut atau mundur ke belakang seperti tanda kekalahannya pada orang Minangkabau. Sampai saat ini informasi tentang tanduk besi atau Taji yang dipasangkan di anak kerbau itu tidak ada beritanya dan tidak tahu seorangpun dimana keberadaan tanduk atau Taji tersebut. Serta siapa pemilik anak kerbau itu dan siapa pemilik dan membesarkan anak kerbau itu tidak dapat diketahui lagi dan hanya tanduk kerbau besar itulah yang dapat menjadi saksi kejayaan masyarakat Minangkabau dalam mengalahkan orang-orang Jawa tersebut.
Daerah Minangkabau ini tidak begitu diketahui orang yang mereka tahu hanyalah alam Minangkabau ini. Padahal ada kisah atau kejadian bersejarah dan terletak pada daerah Minangkabau ini. Daerah  Minangkabau ini dibagi menjadi tiga jorong yaitu Jorong satu (Minang Jaya), Jorong dua (Badinah Murni), dan Jorong tiga (Singkaian). Dan juga Dt. Nan Tuo itu dikuburkan di Kuburan Panjang di Sadio dan ada juga yang mengatakan di Bukit Kayu Sebatang. Karena tidak terlalu diketahui orang secara pasti dan juga tidak ditemukan lagi Datuak itu. Tempat kuburannya hanyalah rumah atau dangau (pondok kecil di bukit).
Maka jika anda berkunjung ke daerah ini jangan lewatkan Nagari  Minangkabau ini dan juga bukti peninggalan sejarah di rumah Gadang tersebut. Jangan hanya mendengarkan cerita-cerita yang tidak jelas karena hanya dapat merusak pemahaman kita tentang suatu hal. Akan lebih baik kita dapat mendengar langsung ceritanya dari orang-orang tuo atau niniak mamak kita yang masih hidup dan bukti tanduk kerbau itu disana dari mereka.

Referensi dialog langsung :
1.      Alfani Hamdi, S.Sos. I.Ma (Wali Nagari Minangkabau)
2.      Dt. Mojo Basa (pemelihara tanduk kerbau dari suku Chaniago)
3.      Zulfahri (Ayah dari Bapak Wali Nagari Minangkabau)
4.      Afrida (Ibu dari Bapak Wali Nagari Minangkabau)

Gambar: Bukti Tanduk Kerbau kira-kira 1400 tahun yang lalu.


Gambar: Rumah Gadang Dt. Mojo Basa di Minangkabau.


Gambar: Kantor Wali Nagari Minangkabau.

Gambar: Tempat Adu Kerbau di Sawah Padang.

                     
Irsal Husnur
Sumber=irsalhusnur10.blogspot.co.id



1 komentar: