Sabtu, 21 Juli 2018

SIDI MARAH DAN SILSILAH MARAH DI MINANGKABAU

Sidi Marah Dan Silsilah Marah di Minang
Oleh: Syafriwal Marbun
Berbagai daerah di seluruh Indonesia tentu memiliki beberapa Pahlawan sebagai bukti perlawanan mereka menghadapi penjajah. Tidak ketinggalan juga masyarakat peisir Tapanuli tengah pun banyak memiliki pahlawan-pahlawan baik yang diakui maupun belum diakui yang telah tercatat dalam sejarah perlawanan sebelum kemerdekaan.
Salah satu pahlawan tersebut adalah Sidi Marah (ada yang menuliskan Marah Sidi, adapula Saidi Marah) pahlawan dari Barus (Dada meuraxa: Sejarah kebudayaan Suku-suku Sumatera Utara) yang bertempur sepanjang Pantai Barat Tapanuli sampai Aceh, mulai dari Singkil, Barus, Sorkam, Sibolga, Poncan, Singkuang dan Natal.
Sepak terjang Sidi Marah amat ditakuti Belanda, pertempuran paling heroik yang tercatat pada tanggal 4 Desember 1829 bersama si Songe dengan menggempur benteng Port Tapanoely di poncan banyak memakan korban di pihak Belanda. Akibatnya Barus diserang habis-habisan, karena menduga Sidi Marah sehabis menyerang Poncan mundur ke arah Barus.
Melihat serangannya berhasil di Poncan, setahun kemudian (1831) Sidi Marah memperlebar serangannya ke Air Bangis, serangan tersebut menyebabkan Komandan Belanda bernama Plustadt dan dua pembantunya meninggal, kejadian itu belakangan dilaporkan kembali oleh Eilstra pada tahun 1926/1932 dalam jurnal perang Hindia Belanda.
Kelihaian Sidi Marah mengatur serangan dan membuat pertahanan amat memukul Belanda, terbukti dengan sebuah benteng tua di Barus yang dibangun oleh Sidi Marah pada tahun 1833. Benteng ini berdinding tebal, kokoh dan sangat sukar didekati, karena di sebelah utara berbatasan dengan sungai, di bagian timur dan barat padang terbuka dan datar, sedangkan sebelah selatannya berbatasan dengan laut, sering menjebak pasukan Belanda, sehingga sangat banyak korban dan kerugian di pihak Belanda serta sangat susah tundukkan.
Selain itu, Sidi Marah pun amat lihai berdiplomasi, pada Bunga Rampai Tapian Nauli tertulis; Sidi marah berhasil meyakinkan kerajaan Aceh dan diijinkan membawahi Armada Laut memerangi Poncan. Tindakannya itu disambut baik oleh Songe dan para penduduk keturunan Aceh, sehingga Poncan berkubang darah penjajah.
Tindak tanduk Sidi Marah sangat menakutkan Belanda, berbagai usaha membujuknya bekerjasama selalu gagal, walaupun sudah disusupkan mata-mata. Sampai sekarang tidak diketahui kapan beliau meninggal serta dimana ‘Pahlawan’ ini dikubur. Meninggalnya pun jadi misteri apakah gugur waktu perang, ditangkap Belanda atau mati tua.
Yang jelas dari semenjak 1832 perlawanan warga Pesisir Tapanuli dan dibantu Aceh yang dirintis Sidi Marah, mengobarkan perjuangan yang tiada henti-hentinya terhadap penjajah, sampai tujuh tahun kemudian (1839) dengan perang habis-habisan Belanda berhasil merebut Barus dan benteng kokoh tersebut.
Belanda bisa mempertahankan Barus selama 104 tahun (1839-1943) berkat adanya benteng tersebut. Belanda akhirnya melepas benteng tersebut, karena datang Jepang (1943) dan selanjutnya tidak bisa menyentuh negeri Barus kembali.
* Siapa Sidi Marah sebenarnya ?

Marah  di Padang adalah sebuah gelar  adat yang diberikan kepada anak laki-laki. (Niniak Mamak Nan Salapan Suku ) Sejak dia lahir jika salah satu orang tuanya bergelar adat Sutan atau mandenya bergelar Puti.

Di Tiku-Pariaman (Piaman Laweh) ada 2 macam gelar bagi seorang laki-laki dewasa
(telah menikah), yaitu gelar status sosial dan gelar adat. Berbeda dengan masyarakat Minang di Pedalaman (darek), Gelar yang dipegang oleh laki-laki Pariaman dahulu berasal dari status dan peran sosial di masyarakat.
Tradisi ini merupakan pengaruh Aceh yang mulai memegang kontrol Tiku-Parayaman (nama sanskerta untuk Pariaman) setelah mangkatnya Maharaja Adityawarman sampai abad ke 16. Gelar tersebut terdiri atas: Sidi, yang berasal dari kata Saidi, yang biasanya dipegang oleh keturunan Arab/Gujarat dan tokoh-tokoh agama.
Bagindo, biasanya dimiliki oleh keluarga aristokrat, pemilik tanah dan representasi masyarakat pribumi dari pedalaman Minangkabau. Dahulu, yang memiliki gelar bagindo biasanya adalah para wali korong, wali nagari dan pemimpin sosial.
Sutan, berasal dari kata Sultan, yang dulunya adalah gelar untuk para pedagang-pedagang Aceh. Pada perkembangannya Sutan diberikan kepada setiap urang Sumando Laki-laki orang Pariaman yang bukan berasal dari Pariaman (pendatang).
Marah, tidak begitu populer di Pariaman, tapi banyak di gunakan di Padang dan Pauh. Fungsi gelar Marah hampir sama dengan Bagindo, representasi Pagaruyung juga banyak menjadi penghulu adat/hulubalang. Saat ini, gelar tersebut tidak mencerminkan lagi fungsi peran status sosialnya, namun lebih menunjukkan silsilah ayah dan keturunan saja.
Adapaun gelar adat tetap dipakai, tapi tidak semua bisa mendapatkan gelar tersebut. Sistem pemberian pun mengikuti sistem Matrilineal persis seperti di Luhak nan Tigo. Akan tetapi gelar adat di Pariaman hanya berupa gelar Datuk dan hanya boleh diturunkan dari Mamak kepada Kemenakan dengan prosesi adat tertentu. (Disunting dari www.botsosani.wordpress.com oleh Bot Sosani Piliang).

Mencermati kajian diatas bisa jadi Sidi Marah sebenarnya orang Arab-Minang yang merantau ke Barus, karena sudah sejak dahulu orang Pesisir Tapanuli berhubungan dengan memakai perahu, maka tidak heran kita melihat baik adat maupun tutur kata semua warga sepanjang pesisir Tapanuli mirip satu sama lain.

1 komentar: