Kamis, 12 Juli 2018

ASAL SUKU KUBU DAN DURIAN BATAKUK RAJO

Dalam suatu mitos Minangkabau tentang Kepergian Datuk Ketamanggungan, sehubungan dengan adanya ketidakcocokan antara Adityawarman dan Datuk Ketamangungan. Rupanya kehadiran Adityawarman di tengah masyarakat Minangkabau tidak disetujui oleh Datuk Ketamanggunan walau dia sudah diberi tugas penting di bawah raja.Beberapa hari sesudah Datuk Suri Dirajo mengisi kedudukan Datuk Ketamanggungan beserta isteri dan anak-anak serta pengiringnya pada suatu malam menyingkir keluar daerah Minangkabau. Tidak seorangpun yang tahu kepergian datuk itu. Mereka berjalan menuju ke selatan. Setelah beberapa lamanya dalam perjalanan sampailah mereka diperbatasan Minangkabau dengan Jambi, berhentilah mereka di bawah sebatang pohon besar yang rupanya batang durian yang besar dan tinggi. Mereka menginap malam itu di bawah pohon durian tersebut. Pada pagi harinya berkatalah Datuk Ketamanggungan kepada pengiringnya.“Wahai pengiringku! Sekarang kembalilah kalian masuk ke dalam negeri kembali. Kami dua suami isteri dan anak-anak akan meneruskan perjalanan ke Palembang. Kalian masih muda-muda oleh sebab itu kembalilah! Dan biarkanlah kami meneruskan perjalanan”Maka Datuk Ketamanggunan memberi tanda di batang durian itu. Itulah batas dearah Minang di sebelah selatan sebagai tanda perbatasan dengan Jambi.  Itulah batas Sumatera Barat dengan Jambi dinamakan dalam kata-kata adat “Durian Ditakuk Rajo”.Tetapi tidak semua pengiringnya yang kembali pulang dan sebahagian meneruskan perjalanan bersama-sama dengan datuk itu. Beberapa hari kemudian sampalah mereka di tepi sebuah sungai. Isteri Datuk Ketamanggunan mendadak sakit, dan meninggal di daerah sana, dan dimakamkan di sana juga. Tempat itu kemudian bernama “Muara Rupit”. (Provinsi Sumatera Selatan, di selatan kota Sarolangun – Jambi)Kemudian beliau meneruskan perjalanannya dan sampailah ke sebuah bukit yang bernama Bukti Siguntang yang yang terkenal dalam sejarah Melayu. Setelah beberapa lama tinggal di sana, wafatlah pula raja itu (Datuk Ketamanggunan) di sana dan dimakan di tempat itu. Sampai sekarang makam itu masih tetap diziarahi orang dan dinamakan “Keramat Siguntang”. Konon kabarnya panjang kuburan belia itu lima meter demikian juga kuburan isteri beliau.Semua pengiringnya kembali ke Minangkabau. Se sampai di Durian di Takuk Raja itu mereka berhenti dan bermufakat. Sebagian kembali ke Minangkabau tetapi sebagian yang lain tidak mau kembali pulang. Rombongan ini diketuai oleh dua orang duabalang seorang bersuku Jambak dan seorang bersuku Pisang.Tetapi sebagian lain yang tidak pergi kemana-mana. Mereka masuk ke dalam hutan rimba dan hidup sebagai pengembara dalam rimba itu. Antara mereka ada yang bersuku Piliang dan bersuku Caniago. Mereka tetap diam berpindah-pindah dalam hutan di daerah Jambi itu (nomaden). Tetapi sukunya tetap tidak mereka buang. Demikian pula adat-adat Minangkabau setengahnya masih tetap mereka gunakan. Rupanya mereka masih tetap menggunakan kata-kata adat: “Negeri tak dapat dialih, suku tak dapat dianjak”Konon kabarnya itulah asal suku Kubu yang hidup mengembara dalam hutan-hutan di bahagian Jambi.Beriringan dengan kepergian Datuk Ketamanggungan dari pusat kerajaan Minangkabau terjadi kegaduhan tentang tidak ditemukan raja mereka, barulah ditekatahui bahwa mereka telah kehilangan raja. Datuk Suri Dirajo dan Datuk Parpatih nan Sabatang menanyakan siapa yang tahu kemana perginya datuk tersebut. Tapi lama dicari informasi tidak seorangpun mengetahuinya. Maka tidak lama sesudah itu diperintahkanlah mencari raja yang hilang itu. Dibentuk sebuah rombongan yang akan pergi mencarinya. Sebagai kata pepatah adat juga: “Lulus diselami, hanyut dipintasi, hilang dicari”, kepala rombongan itu adalah Datuk Saribijaya.Maka berjalanlah rombongan itu sambil bertanya-tanya di sepanjang jalan, dan kira-kira  sebulan kemudian sampailah mereka di bawah pohon durian yang ditakuk raja itu. Di sanalah baru mereka mendapat kabar bahwa Datuk Ketamanggungan dan rombongan pergi ke arah selatan, dengan tujuan ke Palembang.Teruslah mereka berjalan, beberapa lamanya pula berjalan sampailah mereka di pinggir sebuah sungai yang bernama Sungai Bawang. Di sana mereka bertanya-tanya tetapi tidak dapat jawaban yang memuaskan. Hanya orang dusun memberi nasehat kalau akan menanyakan pergilah ke pada raja yang tinggal di Surulangun (bukan Sarolangun), yaitu desa yang terletak antara Sarolangun dengan Muaro Rupit...red. Tetapi di sana jejak raja yang hilang itu tidak juga ditemui. Dengan tangan hampa kembalilah mereka dan bermalam di sebuah pondok seorang petani di pinggir Sungai Bawang. Di sana Datuk Saribijaya menyuruh pengiring-pengiringnya kembali ke Minangkabau dengan membawa berita bahwa Datuk Ketamanggungan tidak ditemui. Beliau sendiri tidak akan kembali dan akan tinggal di sana dengan dalih akan terus mencari raja yang hilang sampai dapat.Sebenarnya itu alasan saja bagi Datuk Saribijaya. Ia sudah jatuh cinta dengan anak gadis orang yang punya pondok tersebut. Sepeninggal kawan dan pengiringnya kawinlah Datuk Saribijawa dengan gadis itu yang bernama Saribanilai. Sesudah kawin dan beranak pindahlah ia dengan keluarganya ke tempat lain. Di tempat tinggal yang baru itu dibangunnya rumah dengan bentuk rumah seperti di kampung halamannya. Tempat yang baru itu dinamainya “ “Tinting Dalam”. Tempat itu terletak dekat desa Surulangun, Rupit. Datuk Saribijaya beranak pinak di sana dan menjadi penduduk aslsi di sana, dan datuk tersebut sudah lupa pula sama sekali dengan tugasnya mencari rajanya yang hilang, apalagi untuk pulang kembali ke kampung halamannya di Minangkabau...
SUMBER :tasman1959.blogspot.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar