Nakhoda Mangkuto, lahir di Bayang, Sumatera Barat, pada akhir abad ke-17. Ia memulai usahanya dengan menjual hasil-hasil bumi, dengan komoditas utama : lada. Setelah beranjak dewasa ia pergi merantau meninggalkan kampung halamannya. Mengembara ke seantero Nusantara, dari Sumatera, terus ke Jawa, ke Kalimantan, dan Kepulauan Karimata. Disini ia menikah dan memperoleh anak yang bernama Tayan (setelah dewasa dikenal sebagai Nakhoda Muda). Keberadaannya di Karimata tak disukai para perompak Bugis. Ia pun berpindah ke Banjar dan akhirnya menetap di Piabung, Lampung. Disini ia terus berbisnis dan mengkhususkan dirinya dalam perdagangan lada. Semasa itu Kesultanan Banten menguasai perkebunan lada di Lampung dan Jawa Barat, dan Mangkuto diberi kepercayaan untuk memasarkan hasil-hasilnya.
Ada hal yang menarik terkait dengan idealisme Mangkuto yang diajarkan kepada putranya Nakhoda Muda, yang kemudian diturunkan pula kepada anak-anaknya. Pertama, putranya itu disuruhnya mengaji, membaca, berhitung, hingga pandai surat-menyurat. Kedua, dikirimnya menjelajahi dunia selama tujuh tahun untuk memperoleh pengalaman dan asam garam kehidupan. Dan yang ketiga, ia menasehati putranya agar menghindari hutang-piutang. Ia berkata : “Jika sampai hukum Allah kepadaku, sepeninggal aku jangan anakku membuat hutang! Jika tiada modal berlayar, kayu di rimba boleh dipotong, ikan di laut dapat dipancing, buat modal engkau berlayar. Jangan sekali-kali anakku berani berhutang kepada raja atau kompeni atau orang banyak sekalian …”
Di tahun 1740, Nakhoda Mangkuto wafat. Anaknya, Nakhoda Muda melanjutkan bisnis lada yang telah dirintis ayahnya. Setelah kaya dan sukses, ia menikahi gadis Lampung dan dikaruniai delapan orang anak. Lalu menikah lagi dengan gadis Banten dan hanya mendapat seorang anak. Dari beberapa selir ia masih memperoleh tiga orang anak. Di puncak kariernya, ia memperoleh jabatan demang dari Sultan Banten yang menjalin bisnis dengannya. Meskipun begitu, disaat kapalnya karam ia menolak bantuan dari sultan dan memilih membeli lagi sebuah kapal dengan uangnya sendiri. Setelah menguasai perkebunan kelapa di Teluk Semangka, ia memerintahkan untuk membangun sebuah tempat tinggal dengan panjang sepuluh depa dan lebar delapan depa. Kemudian ia memberikan sedikit modal dan kapal kepada putra-putranya untuk mulai berdagang lada.
Namun keberhasilan mereka dalam membangun imperium perdagangan lada, tak disenangi para saudagar Eropa. Maka berkomplotlah kompeni Belanda dari Banten, orang Inggris dari Bengkulu, dan pedagang Prancis dari armada Comte d’Estaing, untuk meruntuhkan bisnis mereka. Sejak saat itu, maka berakhirlah kisah sukses Nakhoda Mangkuto dan anak-cucunya, yang pernah menguasai perdagangan lada di kedua sisi Selat Sunda. Untuk mengenang kisah keluarga tersebut, maka pada tahun 1788 Lauddin menulis sebuah hikayat yang berjudul “Nakhoda Muda”. Hikayat tersebut kemudian diterjemahkan ke Bahasa Inggris oleh William Marsden, dan diterbitkan di London.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar