Rabu, 18 Juli 2018

SEJARAH KEKERASAN DI MINANGKABAU

Sejarah kekerasan di Minangkabau

Salah satu ilustrasi tentang Perang Padri.
Sejarah kekerasan di Minangkabau adalah urutan peristiwa-peristiwa kekerasan yang berlatar belakang politik, ekonomi, dan agama, yang pernah terjadi dan tercatat dalam sejarah yang terkait dengan Minangkabau sebelum masa kemerdekaan dan di Sumatera Barat setelah masa kemerdekaan Indonesia.

Seperti wilayah-wilayah lainnya di dunia, Minangkabau atau Sumatera Barat juga tidak terbebas dari konflik dan kekerasan yang memakan banyak korban jiwa. Peristiwa tersebut bisa dalam bentuk perang saudara, kudeta berdarah di lingkungan istana, perang dalam rangka pertahanan diri dari invasi asing, bahkan juga ada dalam bentuk invasi ke wilayah lain. Semua peristiwa itu terjadi dengan skala yang beragam.

Beberapa peristiwa terawal yang tercatat dengan baik dalam arsip sejarah, di antaranya invasi Majapahit sekitar awal abad ke-15. Lalu kudeta berdarah tahta Pagaruyung pada awal abad ke-16 oleh Dewang Palokamo Pamowano (Dewang Parakrama Parmawana) dari Dharmasraya yang agak kabur sejarahnya, yang merupakan bagian dari 200 tahun mata rantai sejarah Minangkabau/Pagaruyung yang hilang/gelap. Pada masa selanjutnya juga terjadi beberapa peristiwa kekerasan lainnya, seperti Perang Padri, peristiwa PRRI, dan lainnya, yang tercatat dengan baik.

Invasi Majapahit

Salah satu model kapal Majapahit.
Invasi Majapahit ke Pagaruyung terjadi pada tahun 1409.[1] Dalam sebuah teks yang luar biasa versi Majapahit yang tersimpan di museum Jawa Timur diceritakan tentang invasi penaklukkan ke Sumatera terutama ke Pagaruyung dengan 500 kapal perang lengkap dengan patih dan hulubalang serta 200.000 prajurit dan seekor kerbau jantan raksasa sebesar gajah. Bala tentara Majapahit tanpa halangan sampai di Jambi yang merupakan pintu masuk ke dataran tinggi Minangkabau melalui sungai besar dan berair dalam yang ada di dataran rendah bagian timur Sumatera.[2]

Sesampai di Pariangan para patih dan hulubalang Majapahit berunding dengan Patih Suatang (Datuk Perpatih Nan Sebatang) serta Patih Ketemanggungan (Datuk Katumanggungan), lalu muncul usulan dari Patih Majapahit untuk mengadu kerbau sebagai simbolisasi perang. Pemilik kerbau yang menang berarti memenangkan peperangan, begitu pula sebaliknya.[2]

Setelah datang waktunya adu kerbau itu pun dilaksanakan. Orang Majapahit mengeluarkan kerbau raksasa sementara orang Patih Suatang mengeluarkan seekor anak kerbau kecil yang kelaparan dan kehausan. Anak kerbau itu secepat kilat menyeruak ke selangkang kerbau raksasa dan menghisap buah pelir kerbau itu. Setelah berputar-putar karena tidak bisa menanduk akhirnya kerbau raksasa itu rubuh sambil berguling-guling karena anak kerbau lapar itu tidak melepaskan hisapannya pada buah pelir kerbau raksasa itu.[2]

Sesuai kesepakatan, maka pihak Majapahit dianggap kalah, lalu mereka akan pergi namun ditahan oleh Patih Suatang karena mereka akan dijamu makan dan minum. Masih menurut teks versi Majapahit, setelah jamuan makan dan minum itulah terjadi peristiwa kekerasan yang menewaskan patih dan para hulubalang serta separuh prajurit Majapahit. Sementara yang selamat pulang ke Majapahit dan melaporkan peristiwa itu kepada Sang Nata (raja) yang menerimanya dengan amat masygul karena kekalahan besar dan kehilangan para patih dan hulubalang yang diandalkan serta banyak prajurit.[2]

Peristiwa tersebut terjadi di sebuah padang luas yang kemudian diberi nama 'Padang Sibusuk' karena begitu banyaknya mayat bergelimpangan yang kemudian menimbulkan bau busuk. Kisah ini juga tercatat dalam Hikayat Raja-raja Pasai yang merekam berbagai peristiwa di Sumatera sekitar abad tersebut.[2] Sekarang Padang Sibusuk masuk dalam wilayah kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat.

Peristiwa kekalahan dahsyat itu sekaligus sebagai tonggak penanda berakhirnya ekspansi Majapahit ke wilayah barat Nusantara.[2] Pagaruyung yang didirikan Adityawarman pada 1347 yang merupakan kerajaan yang berpengaruh di Sumatera kemudian semakin berkembang menjadi kerajaan yang mempunyai pengaruh besar di wilayah barat Nusantara, Sumatera[3] serta Semenanjung Malaya.

Tentang bagaimana bentuk hubungan Majapahit dengan Pagaruyung sebelumnya masih menjadi perdebatan para ahli. Jayanagara, raja Majapahit ke-2 yang memerintah dari tahun 1309-1328 merupakan raja berdarah Minang/Melayu dan Jawa. Sementara Adityawarman, pendiri Pagaruyung pada 1347 merupakan sepupu dari Jayanagara. Ada ahli yang berpendapat bahwa kerajaan di Minang/Melayu tidak pernah berada dalam posisi sebagai negara taklukan, namun lebih pada bentuk persahabatan Melayu dan Majapahit, serta berdiri sebagai kerajaan tersendiri.[4][5][6]

Perang Padri

Ilustrasi lainnya tentang Perang Padri.
Perang Padri merupakan peristiwa kekerasan yang panjang yang bermula dari tahun 1803. Mulanya perang ini adalah konflik antara suatu kelompok kaum ulama dan pengikutnya, yang disebut kaum Padri, dengan masyarakat yang tidak taat pada ajaran Islam. Kaum ulama ingin menerapkan ajaran Islam sebagaimana mestinya pada masyarakat Minangkabau yang pada masa itu banyak yang menyukai judi, sabung ayam, serta minuman keras. Tidak hanya itu, kaum ulama juga ingin menerapkan hukum Islam dalam masyarakat sebagai pengganti hukum adat yang sudah berlangsung lama. Keinginan kaum ulama ini kemudian mendapatkan tentangan dari kaum adat yang didukung pihak kerajaan Pagaruyung.

Terjadilah konflik berdarah antara kaum Padri dengan kaum adat yang tercatat sebagai konflik atau perang saudara yang dahsyat yang pernah terjadi di Minangkabau. Sejarah juga mencatat peristiwa ini sebagai konflik antara kaum Islam penganut ajaran murni dengan kelompok masyarakat lainnya yang pertama di Asia Tenggara dan merupakan peristiwa satu-satunya di Nusantara.

Rencana besar kaum Padri untuk menerapkan ajaran Islam secara murni tidak hanya terbatas di Minangkabau, tapi juga bergerak ke arah timur atau wilayah Riau dan utara yang mencakup wilayah Mandailing, Angkola, dan Batak Toba di sekitar danau Toba. Militer Padri yang dibentuk oleh Haji Piobang, Haji Sumanik, dan Haji Miskin berkembang dengan pesat. Ketiga ulama tersebut merupakan perwira yang pernah berkarier pada kesatuan Janisary Turki yang terkenal di Timur Tengah pada masanya.

Dengan militer yang kuat, Kaum Padri mencapai banyak kemenangan, baik di Minangkabau maupun dalam invasinya ke arah utara. Dalam tempo yang singkat pasukan Padri menguasai wilayah Mandailing, Angkola, dan wilayah sekitaran danau Toba. Di semua wilayah itu kaum Padri menegakkan ajaran Islam yang murni pada masyarakat yang belum taat dan mengislamkan orang-orang yang masih menganut pagan. Penaklukan ini menimbulkan banyak korban jiwa.

Sementara di Minangkabau kaum Padri berhasil menguasai istana Pagaruyung pada tahun 1815 dan membakarnya. Dalam peristiwa kekerasan ini banyak bangsawan Pagaruyung yang terbunuh. Sultan Arifin Muningsyah yang berhasil selamat karena menyingkir ke wilayah lain kemudian mengajak pihak Belanda pada tahun 1821 untuk membantunya menghadapi kaum Padri. Ajakan ini disetujui Belanda sehingga mengubah peta peperangan menjadi perang antara Kaum Padri lawan Belanda yang beraliansi dengan kaum adat.

Setelah perang berlangsung beberapa lama, kaum adat kemudian merasa dirugikan oleh Belanda, lalu menimbulkan suatu kesadaran untuk bersatu dengan kaum Padri melawan Belanda. Sejak tahun 1833 perang ini berubah menjadi perang orang Minangkabau melawan Belanda. Perang ini berlangsung secara sporadis hingga 1838. Perang tiga episode yang cukup panjang ini berlangsung dari tahun 1803 hingga 1838, dan memakan banyak korban jiwa, baik pemimpin maupun prajurit dari ketiga belah pihak, serta masyarakat biasa. Satu hal monumental yang juga mengiringi ujung peperangan panjang ini adalah runtuh dan hilangnya kerajaan Pagaruyung yang telah berumur hampir 500 tahun sejak pendiriannya pada tahun 1347 oleh Adityawarman.

Agresi Militer Belanda I dan II

Bagindo Aziz Chan, wali kota Padang yang gugur sebagai pahlawan bangsa.
Agresi militer Belanda pertama yang berlangsung dari Juli hingga Agustus 1947 juga menimbulkan korban jiwa di Sumatera Barat. Suatu peristiwa kekerasan yang dilancarkan Belanda di kota Padang akhirnya merenggut nyawa Bagindo Aziz Chan, seorang wali kota Padang yang kukuh mempertahankan wilayahnya dari pelanggaran yang dilakukan pihak Belanda. Bagindo Aziz Chan kemudian dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.

Agresi militer Belanda yang kedua pada Desember 1948 ke Yogyakarta sebagai ibu kota Indonesia berhasil menguasai pusat pemerintahan dan menangkap Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan pemimpin lainnya. Peristiwa ini melumpuhkan pemerintahan Indonesia. Sjafruddin Prawiranegara kemudian membentuk pemerintahan darurat di Sumatera Barat dengan ibu kota Bukittinggi. Ini menjadikan Sumatera Barat sebagai pusat perjuangan melawan Belanda yang berkonsekuensi Sumatera Barat menjadi sasaran utama penyerangan oleh militer Belanda. Terjadilah peperangan dan pengeboman di Sumatera Barat yang dilancarkan pihak Belanda.

Dalam masa ini juga banyak berjatuhan korban, baik dari para pejuang maupun dari masyarakat sipil. Dalam suatu penyerangan oleh Belanda yang kemudian disebut sebagai "Peristiwa Situjuah", para pejuang kehilangan beberapa pemimpin dan puluhan pasukan pengawal, di antaranya Khatib Sulaiman, Arisun Sutan Alamsyah, Munir Latief, dan lainnya.

PRRI

Rujukan

^ Muljana, Slamet (2005). "Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di Nusantara" PT LKiS Pelangi Aksara. hlm. 16. ISBN 979-98451-16-3.
^ a b c d e f Hadler, Jeffrey (2010). "Sengketa Tiada Putus" Freedom Institute. hlm. 16–21. ISBN 978-979-19466-5-0.
^ Marsden, William (1811). "The History of Sumatra". London.
^ "Sejarah Majapahit Perlu Dikaji Ulang" Kompas.com, 10 Maret 2010. Diakses 24 Januari 2015.
^ "Asal Usul Raja Adityawarman masih Diperdebatkan" Website Resmi Arkeologi Indonesia, 8 Maret 2010. Diakses 24 Januari 2015.
^ "Faktanya, Nusantara Bukanlah Wilayah Majapahit"


Tidak ada komentar:

Posting Komentar