Asal Usul Kota Batusangkar
Batusangkar….
sebagian orang ada yang tw dan sbagian lainnya entahlah..
Mari kita kuliti kota Batusangkar hingga ke dasar2nya..
oSejarah kota batusangkar
Sejarah asal usul kota batusangkar
Kenapa bernama Batusangkar belum dapat diketahui dengan pasti,banyak yang menyebutkan batusangkar berasal dari kata batu dan sangkar, namun tidak diketemukan pasti dimana batu yang berada dalam sangkar ataupun batu berbentuk sangkar. yang jelas daerah ini sebelumnya dikenal sebagai Fort Van der Capellen selama masa kolonial Belanda, yaitu sebuah benteng pertahanan Belanda yang didirikan sewaktu Perang Padri. Benteng ini dibangun antara 1822 dan 1826 dan dinamai menurut nama Gubernur Jenderal Hindia Belanda, G.A.G.Ph. van der Capellen. Kawasan ini secara resmi berganti nama menjadi Batusangkar pada tahun 1949, menggantikan nama kolonialnya.Setelah meredanya PRRI/Permesta, pada tahun 1957, kawasan ini diduduki oleh batalyon 439 Diponegoro, dan selanjutnya pada tanggal 25 Mei 1960 menjadi kantor Polres Tanah Datar. ( sumber: wikipedia )
Batusangkar memiliki dua pasar yang bersebelahan yaitu Pasar Atas dan Pasar Bawah.Pasar Atas terdiri dari penjual makanan mulai dari buah-buahan dan makanan ringan lainnya, minuman seperti es teler, alat-alat untuk menjahit seperti benang, toko buku dan kaset, warung makanan dll.Pasar Bawah yang terdiri dari gedung bertingkat dua atau disebut juga “Pasar Tingkek” (Pasar Tingkat).Pada Pasar Tingkat ini terdapat berbagai tempat penjahit dan penjual dasar kain, dan pada bagian bawahnya terdapat berbagai toko mulai dari toko buku, baju, sepatu dll.Di bagian belakang Pasar Tingkat masih banyak pedagang yang berjualan seperti toko baju, pedagang buah dengan lapak yang sederhana, pedagang sayur, dan rempah-rempah.Kemudian mengarah ke daerah Jati terdapat Pasar ikan dan Pasar daging.Di samping kanan Pasar Tingkat terdapat bangunan toko penjual emas dan di samping kiri Pasar Tingkat terdapat bangunan toko bahan-bahan bangunan dan pedagang plastik, bunga, kaca dll.
Selain pasar, di Batusangkar juga terdapat perkampungan di antaranya; Malana Ponco, Jati, Kampung Sudut, Baringin, Belakang Pajak, Diponegoro, Jalan Minang, Kampung Baru, Lantai Batu, Parak Jua, Pasar dan Sigarunggung. Nama-nama kampung/dusun ini merupakan bagian dari Nagari Baringin, dengan kata lain wilayah Batusangkar mulai dari pasar dan kampung-kampung di sekitarnya merupakan wilayah administratif Nagari Baringin.
Seperti kota-kota lainnya, Batusangkar juga termasuk kota yang heterogen. Walaupun masih didominasi oleh penduduk lokal yaitu Minangkabau, namun ada etnis lain yang tinggal di Batusangkar seperti Etnis Keling dan Etnis Tionghoa. Etnis Keling ini merupakan campuran dari orang Arab dan India, dan nama Keling berasal dari nama wilayah di India yaitu Kalingga.
Etnis Tionghoa atau lebih dikenal Etnis Cina, juga terdapat di Batusangkar.Ini juga ditandai dengan adanya kampung Cina yang berada di wilayah Kampung Baru. Kampung ini tidak lagi ditinggali oleh orang Cina karena setelah Indonesia merdeka penduduk Cina pindah ke daerah lain dan kampung ini diambilalih oleh pemerintah. Sebelum pengambilalihan ini, ketika Kolonial Belanda masih menguasai Batusangkar, Etnis Cina membeli tanah di daerah Kampung Baru ini kepada Belanda.Setelah kemerdekaan, Kampung Baru dijadikan asrama tentara dan didirikan gedung-gedung sekolah.Selain itu, masih ada bekas rumah orang Cina dan kuburannya di wilayah ini.Kepindahan orang Cina ini disebabkan karena Batusangkar tidak terlalu berkembang dari segi perdagangan, karena letak Batusangkar sendiri tidak pada jalur lintas seperti Bukittinggi dan Payakumbuh.
Berdasarkan namanya, Batusangkar termasuk kota yang unik. kota yang terdapat istano silinduang bulan ini Sebelum bernama Batusangkar yang merupakan ibukota kabupaten Tanah Datar, pada abad 19 (tepatnya tahun 1825) adalah bagian dari Afdeeling Darek (Afdeeling Padangsche Bovenlanden). Ibukota dari Afdeeling ini bukan Batusangkar melainkan Fort van der Capellen.Nama Batusangkar sendiri menurut cerita rakyat berasal dari nama sebuah batu yang mirip sangkar burung yang ditemukan di daerah “Guguk Katitiran” yang masih dalam kawasan Kota Batusangkar, namun batu tersebut dibawa oleh orang Belanda ke daerah asalnya. Selain itu pada awal abad 20 (tepatnya pada tahun 1913), Batusangkar baru dijadikan sebuah distrik oleh pemerintah Kolonial Belanda.Dalam arti Batusangkar masih berupa dusun kecil dan bagian dari Fort van der Capellen.
Fort van der Capellen adalah salah satu bukti sejarah penjajahan Kolonial Belanda dan menjadi salah satu pusat pemerintahan juga merupakan benteng pertahanan militer Belanda yang dibangun sekitar tahun 1824.8 Awal abad 19 Sumatera Barat dijadikan Resident dengan nama daerah administratifnya yaitu Residentie Padang en Onderboorigbeden (Keresidenan Padang dan daerah taklukannya). Residen ini dibagi menjadi dua District yaitu District Padang dan District Minangkabau.District dipimpin oleh seorang Adsistent Resident.Adsistent Resident Padang berkedudukan di Padang dan Adsistent Resident Minangkabau berkedudukan di Fort van der Capellen.
Di atas sebuah Bukit dekat Pagaruyung, Belanda mendirikan benteng yang diberi nama “Fort van der Capellen”. Penamaan benteng van der Capellen berasal dari nama salah seorang Gubernur Jenderal Hindia Belanda yaitu van der Capellen. Gubernur Jenderal van der Capellen inilah yang mengangkat de Stuers menjadi Residen pada tahun 1824
Pemerintah Kolonial Belanda sering mengganti bentuk daerah administratifnya seiring dengan pergantian gubernur jenderalnya di Sumatera Barat.Pergantian daerah administratif ini juga berpengaruh terhadap wilayah yang ada di Sumatera Barat khususnya Tanah Datar. Tanah Datar pada tahun 1825 adalah bagian dari Afdeeling Darek (Afdeeling Padangsche Bovenlanden), namun pada tahun 1833
bagian dari Afdeeling van Padangsche Bovenlanden yang dibagi ke dalam enam Onderafdeelingen yang salah satunya yaitu Fort van der Capellen, dengan seorang Controleur kelas 1 di Fort van der Capellen dan seorang Controleur kelas 4 di Tanjung Alam. Afdeeling yang dahulu dipimpin oleh seorang Adsistent Resident, tahun 1833 menjadi Onderafdeeling yang dipimpin oleh seorang Controleur.
Pada tahun 1841 pemerintah Kolonial Belanda kembali melakukan reorganisasi pemerintahan Sumatra’s Westkust sesuai dengan dikeluarkannya Besluit No. 1 pada tanggal 13 April 1841. Berdasarkan besluit ini, Tanah Datar kembali menjadi Afdeeling yang terdiri dari Distrik Tanah Datar, XX koto, IX Koto, Sumawang dan Batipuh. Tidak hanya pada tahun ini, reorganisasi pemerintahan Sumatra’s Westkust juga terjadi pada tahun 1865, 1866, 1876, 1880, 1892, 1898.13 Perubahan bentuk pemerintahan ini juga memberikan pengaruh terhadap daerah adminstratifnya. Misalnya berkurang dan bertambahnya suatu wilayah afdeeling, bertukarnya nama afdeeling menjadi distrik, dan masih banyak lagi bentuk perubahan yang dilakukan oleh Kolonial di Sumatra’s Westkust akibat reorganisasi tersebut
Pada tahun 1913 terjadi lagi reorganisasi pemerintahan Kolonial. Pada tahun inilah nama Batusangkar baru muncul. Afdeeling Tanah Datar yang kembali dipimpin oleh seorang adsistent resident dengan ibu kota Sawahlunto dibagi ke dalam empat Onderafdeeling. Salah satu Onderafdeeling tersebut yaitu Fort van der Capellen yang terdiri dari Districten Batusangkar dan Pariangan, di bawah pimpinan seorang Controleur dari Bestuur Binnenlandsch, dengan ibu kota Fort van der Capellen. Pada tahun 1913 inilah Batusangkar muncul sebagai distrik yang sebelumnya hanya sebagai daerah kecil/dusun kecil yang berada di dekat benteng van der Capellen.
Reorganisasi pemerintahan Kolonial masih tetap berlanjut.Pada tahun 1935 susunan Afdeeling Tanah Datar kembali berganti. Afdeeling Tanah Datar berganti ibu kota yaitu di Padang Panjang. Hal ini terjadi karena adanya perlawanan rakyat baik melalui partai politik yang menjamur awal abad 20 maupun perlawanan bersenjata.Selain itu Afdeeling Tanah Datar terdiri dari tiga Onderafdeeling, salah satunya Fort van der Capellen yang juga terdiri dari Distrik Batusangkar-Pariangan.Distrik ini juga dibagi menjadi Onderdistricten Pagaruyung, Salimpaung, Buo, Sungai Tarab-Limo Kaum dan Pariangan.Pejabat tertinggi di Onderafdeeling ini dipegang oleh seorang Controleur yang berkedudukan di Fort van der Capellen.
Pembangunan Fort van der Capellen juga tidak terlepas dari kekuasaan Paderi yang cukup besar di Tanah Datar.Jauh sebelum benteng ini ada, perang Paderi sudah lama berlangsung di Minangkabau. Tepatnya pada tahun 1803, ketika tiga orang haji pulang dari Mekkah yaitu Haji Sumanik, Haji Miskin, dan Haji Piobang memperoleh gagasan yang tepat untuk melakukan tindakan pembersihan. Pembersihan ini sama halnya dengan kisah kaum Wahabi dalam menaklukkan Mekah dari kekuasaan dinasti Khalifah Usmaniyah dari Turki. Tindakan keras kaum Wahabi di Mekah ini yang akan diterapkan oleh tiga orang haji tersebut di Minangkabau
Datar yang menjadi pusat Kerajaan Pagaruyung, pengembangan ajaran Paderi banyak mendapat perlawanan yang keras, sehingga terjadilah perang antara kaum Paderi dan kaum adat di Tanah Datar.Ketika pihak Kerajaan Pagaruyung merasa tersudut oleh Paderi maka Sutan Alam Bagagarsyah mencari bantuan Inggris yang berkedudukan di Padang. Pada saat yang sama, Padang diserahkan Inggris ke Belanda berdasarkan Konvensi London tahun 1814, namun Sumatera Barat ( sumbar ) baru dikuasai Belanda tahun 1819. Setelah Belanda menerima Padang dari Inggris, para penghulu dan kerabat Kerajaan Pagaruyung yang beramai-ramai meminta bantuan Belanda untuk mengalahkan Paderi dari nagarinya masing-masing
Pemerintah Kolonial mengambil kesempatan yang “besar” dari para penghulu dan Raja Pagaruyung yang dijabat oleh Daulat Yang Dipertuan Sutan Alam Bagagarsyah.Pemerintah Kolonial membantu para kaum adat ini tentu dengan syarat yang lebih pula.Kemudian Pemerintah Kolonial membuat perjanjian pada tanggal 10 Februari tahun 1821 yang pada dasarnya berisi tentang penyerahan Alam Minangkabau pada pemerintah Kolonial. Setelah perjanjian ini ditandatangani oleh kedua belah pihak, pemerintah Kolonial mulai bergerak dan melakukan perang dengan kaum Paderi tahun 1821 hingga tahun 1838 Perang inipun banyak memakan korban jiwa baik di pihak Kolonial Belanda maupun pihak Paderi sendiri.
Batusangkar yang dijadikan Ibu kota Kabupaten Tanah Datar memiliki perjalanan tersendiri. Perkembangan dari kota ini walaupun tidak cukup signifikan namun cukup memberikan perubahan dari segi tata kotanya. Misalnya dari segi pembangunan benteng, rumah asisten residen, sekolah, dan masih banyak lagi bangunan-bangunan Belanda yang akan penulis teliti di kota Batusangkar. Selain itu sejarah kota juga tidak terlepas dari situasi administrasi pemerintahannya atau politik pemerintahan serta sosial ekonomi dan budaya masyarakatnya.
itulah sejarah dari kota batusangkar…
Kamis, 26 Juli 2018
SEJARAH PENGEMBANGAN ISLAM DI KUBUANG TIGOBALEH
Sejarah Pengembangan Islam di Kubuang Tigobaleh oleh Syekh Imam Marajo
sejarah pengembangan Islam di Solok pada ke 16-17 M oleh Syekh Angku
Balinduang asal Nagari Talang, Kabupaten Solok, dimasa kejayaannya
beliau juga dikenal sebagai salah-satu orang keramat yang memiliki
banyak keistimewaan. Selain mengembangkan Islam, beliau mampu
menghalau bala dengan berlari dan berkuda diatas padi, memiliki suara
merdu saat mengumandangkan adzan. Sejarah ini hingga sekarang
melegenda secara turun-temurun ditengah-tengah masyarakat Talang,
makam Angku Balinduang dianggap sebagai Tampat (makam) keramat.
Kali ini kami mencoba mengajak anda mengintip sejarah religi di Nagari
Gauang, Kecamatan Kubung, Kabupaten Solok. tentang pengembaraan
seorang mursyid Syekh Imam Marajo dalam mengembangkan Islam di luhak
termuda Kubuang Tigobaleh (Solok Salayo, Guguak si Jawi-jawi, Gaung
dan Panyakalan, Cupak dan Gantung Ciri, Sirukam, Supayang, Kinari,
Muaro Paneh dan Sariek Alahan Tigo), Talang Talago Dadok, Sirukam Saok
Laweh dan daerah lainnya. Pengembaraan yang cukup berliku, penuh
tantangan dan hambatan. Untuk mengembangkan Islam, Syekh Imam Marajo
di setiap sudut perkampungan di Solok bangun Surau sebagai sarana
ibadah, ia bisa terbang ke Aceh dan Mekkah dengan menggunakan tikar
sholat. Memiliki banyak murid yang tersebar hingga ke berbagai
pelosok, menganut tarekat Satariyah.
Tokoh Ulama Nagari Gauang, Aditiawarman Dt. Kayo, mengatakan, riwayat
Imam Marajo dulu pernah disepakati dalam sebuah pertemuan Ulama
Sumatra Barat sekitar 42 tahun silam, lahir di Gauang Batu Tagak tahun
1490 dengan nama Marah Husin Bin Abdul Musahar. Selama belasan tahun
merantau ke Pariaman, dan bersama Syekh Burhanuddin belajar agama ke
Abdul Rauf di Aceh dan ke Mekkah.
Imam Marajo kembali ke Gauang sekitar tahun 1531, kebetulan saat
beliau datang warga di daerahnya masih menganut animisme, menyembah
roh-roh halus, mempercayai tempat-tempat sakti sebagai pemberi
kekuatan. Kemana pergi selalu mengenakan jubah putih dan sorban,
kopiah berwarna merah, dan membawa sebuah tongkat. Awalnya banyak
pertentangan muncul dari berbagai kalangan, terutama kaum adat yang
menganggap aliran Imam Marajo dapat merusak tradisi para leluhur.
Namun berkat sabar menghadapi segala hambatan dan rintangan, sembari
perlahan-lahan memberikan pemahaman bahwa Islam itu agama yang
sempurna, Imam Marajo akhirnya menjadi guru.
System pergerakan yang dilakukannya tak jauh berbeda dengan guru besar
Syekh Burhanuddin, sehingga setelah berhasil menyebarkan Islam di
Gauang, beliau pun mendirikan sebuah Surau, selanjutnya dijadikan
Masjid Gauang. Menurut riwayat, tonggak ambacu (tiang utama) Masjid
Gauang dahulunya hanya didirikan seorang diri oleh Imam Marajo dengan
menggunakan sehelai akar kayu dari hutan, setelah tiga masyarakat
nagari (Gauang, Panyakalan, Saok Laweh) menyatakan angkat tangan untuk
melakukannya. Sampai sekarang tonggak tuo tersebut masih terlihat
berdiri kokoh menyangga bangunan Masjid Gauang, dan menjadi saksi bisu
atas sejarah Imam Marajo.
Menurut Aditiawarman Datuk Kayo, Imam Marajo memiliki tongkat yang
pada sewaktu-waktu bila dihempaskan ke tanah dapat mengeluarkan air,
hal ini dibuktikan dengan sumber mata air di sebuah kolam dekat Masjid
Raya konon dahulunya terpancar dari tancapan tongkat beliau. Kala itu
masyarakat kesulitan mencari air untuk berwuduk, lantas Imam Marajo
menancapkan tongkatnya ke tanah, karena izin Allah SWT semuanya tak
ada yang mustahil.
“Konon Imam Marajo pernah memelihara ikan laut jenis bada maco di
kolamnya, sehingga masyarakat pun takjub. Pada sewaktu-waktu bada maco
itu akan bisa saja kembali muncul di kolam beliau, dan fenomena itu
dapat dilihat oleh siapa saja. Semua kesaktian dibuktikan Imam Marajo
tak lain demi meningkatkan keimanan umat pada Allah SWT, sesungguhnya
bagi Allah SWT tak ada yang mustahil. Bukan untuk membanggakan diri
bagi beliau,†Ujar Aditiawarman.
Imam Marajo juga disebut-disebut bisa terbang ke Mekah dengan
sajadah, serta pernah berkelahi dengan harimau. Harimau itu kemudian
dipukul dengan tongkat dan akhirnya menjadi manusia. Manusia jelmaan
harimau itu kemudian diislamkan, dan menjadi murid beliau. Imam Marajo
juga diyakini memiliki kekuatan lebih, sehingga mampu mengangkut kayu
dalam jumlah besar dari hutan untuk material pembangun masjid di
berbagai daerah. Sebagaimana Masjid Lubuk Sikarah Kota Solok sekarang,
menurut sejarah proses pembangunannya tak terlepas berkat bantuan Imam
Marajo.
Setelah mengembangkan Islam di Nagari Gauang dan sejumlah nagari
tetangga lainnya, beliau juga akhirnya berhasil mengislamkan Kubung
Tigo Baleh sekitar tahun 1545. Jumlah pengikutnya mencapai ribuan
orang, diantaranya juga ada dari luar Solok seperti Sijunjung, Jambi,
dan Riau. Pusat pengembangan Islam waktu itu bertempat di Nagari
Gauang, berbagai kegiatan keagamaan pun kian semarak hampir diseluruh
penjuru. Seluruh surau dan Masjid aktif, di bulan-bulan besar islam
dilaksanakan rutual keagamaan, sebagaimana di Minangkabau berfalsafah
‘adat basandi syara, syara basandi kitabllah’.
Khususnya Di hari maulid nabi Muhammad SAW, masyarakat menggelar
tardisi mauluik dengan kitab barazanzi sembari diiringi rebana, rayo
tampek (berziarah kubur) selama sepekan penuh pasca Hari Raya Idul
Fitri yang diikuti seluruh warga, tolak bala dimalam hari dengan
mengibarkan alam-alam (bendera putih bertuliskan tulisan arab),
baratik dan berzikir, perkauran massal menjelang turun ke sawah, serta
berbagai ritual lainnya.
Imam Marajo memiliki sejumlah murid terkenal antara lain, Syeh
Muchsin, Pakiah Majo Lelo. Syech Kukut dan lain sebagainya. Imam
Marajo meninggal dunia dalam usia 200 tahun dan dimakamkan di Balai
Tangah, Jorong Bansa, Nagari Gauang, Kecamatan Kubung Kabupaten Solok.
Komplek pemakaman dipugar dengan bagonjong, persinya dibagian pusara
dipasangkan kelambu dari kain putih sebagai simbol kesucian. Tiap-tiap
setahun sekali, makam Syekh Imam Marajo dijadikan tempat Bersafa kecil
sebelum bersafa besar ke Makam Syekh Burhanuddin di Ulakan Pariaman.
Kegiatan Bersafa disemarakkan juga dengan selawat dulang, nyanyian
arab diiringi musik rebana. Begitupun tempat berkaul bagi anak-cucu
sekarang atas berbagai permohonan pada Allah SWT.
Walinagari Gauang, Adinar Pakiah Marajo menyebutkan, kemampuan Imam
Marajo memang sulit diterima dengan logika, namun, riwayat itu dahulu
sudah disepakati bersama para ulama. Basafa dilaksanakan sebagai
bentuk penghargaan atas jasa Imam Marajo dalam mengembangkan agama
Islam di Kabupaten Solok, sementara berkaul dijadikan tradisi sejak
dahulunya. Tak heran bila agama sampai sekarang cukup kental di
Gauang, begitupun adat dan istiadatnya, sebab di bumi Gauang tersimpan
sejarah religi yang tak ternilai.
(Yulicef Anthony)
sejarah pengembangan Islam di Solok pada ke 16-17 M oleh Syekh Angku
Balinduang asal Nagari Talang, Kabupaten Solok, dimasa kejayaannya
beliau juga dikenal sebagai salah-satu orang keramat yang memiliki
banyak keistimewaan. Selain mengembangkan Islam, beliau mampu
menghalau bala dengan berlari dan berkuda diatas padi, memiliki suara
merdu saat mengumandangkan adzan. Sejarah ini hingga sekarang
melegenda secara turun-temurun ditengah-tengah masyarakat Talang,
makam Angku Balinduang dianggap sebagai Tampat (makam) keramat.
Kali ini kami mencoba mengajak anda mengintip sejarah religi di Nagari
Gauang, Kecamatan Kubung, Kabupaten Solok. tentang pengembaraan
seorang mursyid Syekh Imam Marajo dalam mengembangkan Islam di luhak
termuda Kubuang Tigobaleh (Solok Salayo, Guguak si Jawi-jawi, Gaung
dan Panyakalan, Cupak dan Gantung Ciri, Sirukam, Supayang, Kinari,
Muaro Paneh dan Sariek Alahan Tigo), Talang Talago Dadok, Sirukam Saok
Laweh dan daerah lainnya. Pengembaraan yang cukup berliku, penuh
tantangan dan hambatan. Untuk mengembangkan Islam, Syekh Imam Marajo
di setiap sudut perkampungan di Solok bangun Surau sebagai sarana
ibadah, ia bisa terbang ke Aceh dan Mekkah dengan menggunakan tikar
sholat. Memiliki banyak murid yang tersebar hingga ke berbagai
pelosok, menganut tarekat Satariyah.
Tokoh Ulama Nagari Gauang, Aditiawarman Dt. Kayo, mengatakan, riwayat
Imam Marajo dulu pernah disepakati dalam sebuah pertemuan Ulama
Sumatra Barat sekitar 42 tahun silam, lahir di Gauang Batu Tagak tahun
1490 dengan nama Marah Husin Bin Abdul Musahar. Selama belasan tahun
merantau ke Pariaman, dan bersama Syekh Burhanuddin belajar agama ke
Abdul Rauf di Aceh dan ke Mekkah.
Imam Marajo kembali ke Gauang sekitar tahun 1531, kebetulan saat
beliau datang warga di daerahnya masih menganut animisme, menyembah
roh-roh halus, mempercayai tempat-tempat sakti sebagai pemberi
kekuatan. Kemana pergi selalu mengenakan jubah putih dan sorban,
kopiah berwarna merah, dan membawa sebuah tongkat. Awalnya banyak
pertentangan muncul dari berbagai kalangan, terutama kaum adat yang
menganggap aliran Imam Marajo dapat merusak tradisi para leluhur.
Namun berkat sabar menghadapi segala hambatan dan rintangan, sembari
perlahan-lahan memberikan pemahaman bahwa Islam itu agama yang
sempurna, Imam Marajo akhirnya menjadi guru.
System pergerakan yang dilakukannya tak jauh berbeda dengan guru besar
Syekh Burhanuddin, sehingga setelah berhasil menyebarkan Islam di
Gauang, beliau pun mendirikan sebuah Surau, selanjutnya dijadikan
Masjid Gauang. Menurut riwayat, tonggak ambacu (tiang utama) Masjid
Gauang dahulunya hanya didirikan seorang diri oleh Imam Marajo dengan
menggunakan sehelai akar kayu dari hutan, setelah tiga masyarakat
nagari (Gauang, Panyakalan, Saok Laweh) menyatakan angkat tangan untuk
melakukannya. Sampai sekarang tonggak tuo tersebut masih terlihat
berdiri kokoh menyangga bangunan Masjid Gauang, dan menjadi saksi bisu
atas sejarah Imam Marajo.
Menurut Aditiawarman Datuk Kayo, Imam Marajo memiliki tongkat yang
pada sewaktu-waktu bila dihempaskan ke tanah dapat mengeluarkan air,
hal ini dibuktikan dengan sumber mata air di sebuah kolam dekat Masjid
Raya konon dahulunya terpancar dari tancapan tongkat beliau. Kala itu
masyarakat kesulitan mencari air untuk berwuduk, lantas Imam Marajo
menancapkan tongkatnya ke tanah, karena izin Allah SWT semuanya tak
ada yang mustahil.
“Konon Imam Marajo pernah memelihara ikan laut jenis bada maco di
kolamnya, sehingga masyarakat pun takjub. Pada sewaktu-waktu bada maco
itu akan bisa saja kembali muncul di kolam beliau, dan fenomena itu
dapat dilihat oleh siapa saja. Semua kesaktian dibuktikan Imam Marajo
tak lain demi meningkatkan keimanan umat pada Allah SWT, sesungguhnya
bagi Allah SWT tak ada yang mustahil. Bukan untuk membanggakan diri
bagi beliau,†Ujar Aditiawarman.
Imam Marajo juga disebut-disebut bisa terbang ke Mekah dengan
sajadah, serta pernah berkelahi dengan harimau. Harimau itu kemudian
dipukul dengan tongkat dan akhirnya menjadi manusia. Manusia jelmaan
harimau itu kemudian diislamkan, dan menjadi murid beliau. Imam Marajo
juga diyakini memiliki kekuatan lebih, sehingga mampu mengangkut kayu
dalam jumlah besar dari hutan untuk material pembangun masjid di
berbagai daerah. Sebagaimana Masjid Lubuk Sikarah Kota Solok sekarang,
menurut sejarah proses pembangunannya tak terlepas berkat bantuan Imam
Marajo.
Setelah mengembangkan Islam di Nagari Gauang dan sejumlah nagari
tetangga lainnya, beliau juga akhirnya berhasil mengislamkan Kubung
Tigo Baleh sekitar tahun 1545. Jumlah pengikutnya mencapai ribuan
orang, diantaranya juga ada dari luar Solok seperti Sijunjung, Jambi,
dan Riau. Pusat pengembangan Islam waktu itu bertempat di Nagari
Gauang, berbagai kegiatan keagamaan pun kian semarak hampir diseluruh
penjuru. Seluruh surau dan Masjid aktif, di bulan-bulan besar islam
dilaksanakan rutual keagamaan, sebagaimana di Minangkabau berfalsafah
‘adat basandi syara, syara basandi kitabllah’.
Khususnya Di hari maulid nabi Muhammad SAW, masyarakat menggelar
tardisi mauluik dengan kitab barazanzi sembari diiringi rebana, rayo
tampek (berziarah kubur) selama sepekan penuh pasca Hari Raya Idul
Fitri yang diikuti seluruh warga, tolak bala dimalam hari dengan
mengibarkan alam-alam (bendera putih bertuliskan tulisan arab),
baratik dan berzikir, perkauran massal menjelang turun ke sawah, serta
berbagai ritual lainnya.
Imam Marajo memiliki sejumlah murid terkenal antara lain, Syeh
Muchsin, Pakiah Majo Lelo. Syech Kukut dan lain sebagainya. Imam
Marajo meninggal dunia dalam usia 200 tahun dan dimakamkan di Balai
Tangah, Jorong Bansa, Nagari Gauang, Kecamatan Kubung Kabupaten Solok.
Komplek pemakaman dipugar dengan bagonjong, persinya dibagian pusara
dipasangkan kelambu dari kain putih sebagai simbol kesucian. Tiap-tiap
setahun sekali, makam Syekh Imam Marajo dijadikan tempat Bersafa kecil
sebelum bersafa besar ke Makam Syekh Burhanuddin di Ulakan Pariaman.
Kegiatan Bersafa disemarakkan juga dengan selawat dulang, nyanyian
arab diiringi musik rebana. Begitupun tempat berkaul bagi anak-cucu
sekarang atas berbagai permohonan pada Allah SWT.
Walinagari Gauang, Adinar Pakiah Marajo menyebutkan, kemampuan Imam
Marajo memang sulit diterima dengan logika, namun, riwayat itu dahulu
sudah disepakati bersama para ulama. Basafa dilaksanakan sebagai
bentuk penghargaan atas jasa Imam Marajo dalam mengembangkan agama
Islam di Kabupaten Solok, sementara berkaul dijadikan tradisi sejak
dahulunya. Tak heran bila agama sampai sekarang cukup kental di
Gauang, begitupun adat dan istiadatnya, sebab di bumi Gauang tersimpan
sejarah religi yang tak ternilai.
(Yulicef Anthony)
Selasa, 24 Juli 2018
RAJA ALIF CHALIFATULLAH RAJA ISLAM PERTAMA DI MINANGKABAU
RAJA ALIF CHALIFATULLAH-RAJA ISLAM PERTAMA DI MINANGKABAU
MENELUSURI KISAH NUR ALAM
RAJA ALIF CHALIFATULAH- RAJA ISLAM YANG PERTAMA DI MINANGKABAU
Oleh; Anthonyswan.Pi.Art. Rangkayo Basa Batuah.
Ratik Karu-Karu adalah upaara ritual yang dilakukan masyarakat di Pagaruyung. Upacara itu konon acara Tolak Bala yang dilakukan menjelang musim panen padi tiba. Ketika itu tahun 1978, Acara dimulai dari bawah bukit batu Patah menuju Goa di puncak Bukit Batu Patah, sepanjang jalan yang dilalui masyarakat membaca tahlilan sambil melemparkan telor rebus setiap 10 meter perjalanan kea rah puncak. Konon, telur2 itu aka nada “ orang ghaib” yang akan memakannya selesai acara. ( wallahualam). Penduduk ketika itu mempercayai, kalau nasib lagi baik, akan berteu dengan Batang limau 7 (tujuh) ragam di luhak nan tigo yang ada di puncak Bukit dan apabila hal itu terjadi, sekembali acara masyarakat yang menemukan limau 7 rupa itu, boleh mengambil dedaunan apa saja diatas Bukit itu yang “ dipercayai” dapat berfungsi untuk obat.
Saya tak yakin akan ceritera itu, namun saya encoba untuk memahami acara ritual ini sebagai peninggalan budaya masa lalu. Ketika itu, dalam tahun 1978 upacara diadakan tak tanggung-tanggung, langsung di pimpin Bupati Tanah Datar, Kolonel H.Ikasuma Hamid.
Ada fikiran aneh menyelinap dalam otak saya ketika itu, seberapa sakti kah di puncak Bukit itu?..sampai masyarakat benar2 mempercayai kekuatan Ghoib yang ada di sana?...Saya mencoba mengungkai rahasia Bukit Batu Patah yang sakti itu sedikit dmi sedikit. Dari situah terungkap, ceritera seorang Pertapa tua bernama Nur Alam, yang mendirikan “ perumahan” disana bernama Nur Alam (orang kampong memanggilnya Nun Alam).
Ayah saya, H.Dj.Datuk Bandaro Lubuk Sati, adalah salah seorang pelaksana Pembangunan kembali Istana Pagaruyung, sekaligus pejabat Kepala Bagian Kebudayaan pada kantor Gubernur Sumatera Barat di Padang. Melalui karya beliau, Tutua Nan Badanga-Warih Nan bajawek dapat diketahui bahwa Nur Alam adalah seorang Raja yang mendirikan Parumahan itu dan dating dari Pariangan –Sungai Tarab yang dahulu bernama kerajaan Bunga setangkai.
Berdasarkan keterangan yang amat sedikit itulah, saya mencoba menelusuri siapa gerangan Nur Alam?.karena sangat banyak versi yang menyatakan Tentang Raja Alif Chalifatulah di Minangkabau. Ada Tiga Nara sumber yang akurat tentang Nur Alam, pertama adalah peristiwa terjadinya kota Lubuk Sikaping di Pasaman, ketika itu salah seorang Datuk yang berkuasa disana, ialah Datuk Sinaro yang memperebutkan batas sempadan negerinya dengan penghulu yang lain dan menyebabkan negeri itu terbelah dua kawasan, yang akhirnya bernama Lubuk Sikaping…pertelingkahan itu justru melibatkan Nur alam sebagai penengah perselisihan. Peranan Nur alam disitu disebutkan karena dia mewakili penguasa Aceh yang menguasai sebagian kawasan di Tiku dan Raja Syahbandar termasuk Juga Sundatar yang berada di gugusan Barat Bukit Barisan serta berpusat di pantai Pariaman ( Tiku)bersama Nur alam membawa seorang Putra yang dikenal bernama Admasyah.. Sumber kedua adalah, Onggang Parlindungan dalam Bukunya Tanku Rao Menulis Bahwa Nur alam, mewakili kekuasaan Aceh juga menguasai perniagaan lada di selingkar Danau Singkarak dalam hal ini, jelaslah bahwa Danau singkarak termasuk seiliran batang Bengkawas, adalah jalur menuju Pariangan melalui desa tua di Balimbing. Sumber ketiga adalah, sudara R.Indra Atassashi, salah seorang ciit keturunan Raja-raja Tamiang yang notabene adalah berkaitan langsung dengan raja-raja Samudra Pasai di Aceh embenarkan bahwa Nur alam adalah trah keturunan Raja Samudra Pasai yang ketika itu menjabat sebagai Panglima kerajaan Samudra Pasai yang menguasai Pantai Pariaman. Ada juga sebagaian pemerhati sejarah di Pagaruyung yang mengakui keberadaan Nur alam di Bukit Batu Patah dngan bermacam2 Versinya kemudian.
Menurut sumber di Aceh diketahui bahwa Nur alam sampai di Pariaman pada tahun 1617 M kemudian diketaui juga bahwa Nur alam menjadi Raja alam, bergelar Raja Alif (raja yang pertama ) tahun 1650 (Sumber tahun Marah Rusli dalam Plakat Panjang) seterusnya Raja alif ini mempunyai keturunan yang pergi ke Johor bernama Sultan Bagewang, puteranya yang lain bernama Rum Patualo yang kemudian bergelar Datuk Maharajo Indro yang mendirikan Rumah Bukit di bawah Bukit Batu Patah, lokasinya adalah di Balai Janggo. ( sekarang sudah di runtuhkan-lokasinya didepan Istana Silindung Bulan skarang)-sementara itu, Ricky Syahrul memiliki sumber yang cukup signifikan, bahwa rumah Bukit ternyata di akui juga oleh penulis Belanda yang tentu saja dikatakan sebagai Rumah Raja Ibadat.
Dari ungkapan yang dikemukakan sdr.Ricky Syahrul yang di ambil dari sumber penulis Belanda, sangat tampak disini bahwa ketika Sumpah Sakti Bukit Marapalam dibuat, maka yang terbentuk adalah Raja duo selo, yakni Raja Adat dan Raja Ibadat…Raja Ibadat justru digunakan rumah Bukit yang dengan jelas berasal dari peninggalan Nur Alam, sementara Raja Adat dari keturunan yang lain?....Tidak dapat di pastikan disini, apakah posisi Raja alam di hapuskan atau diambil oleh pihak tertentu. Barangkali, disinilah terjadi perebutan Kuasa yang menyebabkan dua keturunan tiga keturunan Nur alam keluar dari Minangkabau, yaitu Ahmadsyah, Raja Bagewang, Raja Manggoyang. Ketiga orang ini diketahui kemudian Admadsyah melalui Indragiri kembali ke Deli tua, sementara Manggoyang meminta perlinduangan di Indragiri dan berkubur di Bengkulu, anaknya yang lain membawa Raja Kecik ke Pagaruyung?..dan kembali ke Johor dari Johor melalui Ulu Pahang dan meninggal di kawasan Jelebu…tidak diketahui dimana kuburnya.
Siapakah yang memperebutkan kuasa sesudah itu?.....mari kita telusuri bersama…….. Kenapa ada gelaran Mahkota alam di Pagaruyung?...adakah itu diambil dari Aceh ataukah dia tercipta sendiri di Pagaruyung sesudah Kmatian Nur alam sebagai Raja Alif?...dan kepergian anak2 mereka???
Beberapa sumber mengatakan, bahwa tahun 1650 terbentuk lembaga Raja Duo selo melalui Ikrar Sumpah Satih Bukit Marapalam, yaitu pertanjian antara kaum adat dan Kaum agama....Raja duo selo, yakni raja Adat dan Raja Ibadat, Maknanya Perjanjian Bukit Marapalam dibuat sesudah Nur Alam ( Sultan Alif meninggal dunia dan di kuburkan di Pagaruyung, Dengan alasan itu, penerus Sultan Alif, adalah Rum Patualo, bergelar Maharaja Indra ( sekarang Datuk), sesudah Maharajka Indra, ada dua nama yang tersingkir...Bagewang dan Raja Manguyang.....sebuah sumber mengatakan bahwa Rumah Bukit ( Rumah kayu yang pertama) di Pagaruyung dibuat oleh Maharajo Indo ( sekarang Datuk)....dan sumber Belanda mengatakan, kalau Rumah Bukit itu adalah Tempatnya Raja Ibadat sesudah era Sumpah Satih Bukit Marapalam.
Logikanya adalah, wajar saja jika para penerus Sultan Alif Chalifatullah dikatakan sebagai Raja Ibadat, karena memang mereka adalah penyebar agama Islam...akan tetapi mengapa ada lagi Raja alam, pada hal Sultan Alif sudah meninggal?...andaikata pun harus ada, tentulah gelar Raja di terima anak2nya, karena adat Raja turun dari ayah kepada anaknya...mengapa justru anak2nya lari keluar Minang dan meminta perlinduingan ke Indrapura dan Jelebu di Malaysia?.....
Anthonyswan Rangkayo basa batuah
Sumber=saranawisataenterprise.blogspot.co.id
MENELUSURI KISAH NUR ALAM
RAJA ALIF CHALIFATULAH- RAJA ISLAM YANG PERTAMA DI MINANGKABAU
Oleh; Anthonyswan.Pi.Art. Rangkayo Basa Batuah.
Ratik Karu-Karu adalah upaara ritual yang dilakukan masyarakat di Pagaruyung. Upacara itu konon acara Tolak Bala yang dilakukan menjelang musim panen padi tiba. Ketika itu tahun 1978, Acara dimulai dari bawah bukit batu Patah menuju Goa di puncak Bukit Batu Patah, sepanjang jalan yang dilalui masyarakat membaca tahlilan sambil melemparkan telor rebus setiap 10 meter perjalanan kea rah puncak. Konon, telur2 itu aka nada “ orang ghaib” yang akan memakannya selesai acara. ( wallahualam). Penduduk ketika itu mempercayai, kalau nasib lagi baik, akan berteu dengan Batang limau 7 (tujuh) ragam di luhak nan tigo yang ada di puncak Bukit dan apabila hal itu terjadi, sekembali acara masyarakat yang menemukan limau 7 rupa itu, boleh mengambil dedaunan apa saja diatas Bukit itu yang “ dipercayai” dapat berfungsi untuk obat.
Saya tak yakin akan ceritera itu, namun saya encoba untuk memahami acara ritual ini sebagai peninggalan budaya masa lalu. Ketika itu, dalam tahun 1978 upacara diadakan tak tanggung-tanggung, langsung di pimpin Bupati Tanah Datar, Kolonel H.Ikasuma Hamid.
Ada fikiran aneh menyelinap dalam otak saya ketika itu, seberapa sakti kah di puncak Bukit itu?..sampai masyarakat benar2 mempercayai kekuatan Ghoib yang ada di sana?...Saya mencoba mengungkai rahasia Bukit Batu Patah yang sakti itu sedikit dmi sedikit. Dari situah terungkap, ceritera seorang Pertapa tua bernama Nur Alam, yang mendirikan “ perumahan” disana bernama Nur Alam (orang kampong memanggilnya Nun Alam).
Ayah saya, H.Dj.Datuk Bandaro Lubuk Sati, adalah salah seorang pelaksana Pembangunan kembali Istana Pagaruyung, sekaligus pejabat Kepala Bagian Kebudayaan pada kantor Gubernur Sumatera Barat di Padang. Melalui karya beliau, Tutua Nan Badanga-Warih Nan bajawek dapat diketahui bahwa Nur Alam adalah seorang Raja yang mendirikan Parumahan itu dan dating dari Pariangan –Sungai Tarab yang dahulu bernama kerajaan Bunga setangkai.
Berdasarkan keterangan yang amat sedikit itulah, saya mencoba menelusuri siapa gerangan Nur Alam?.karena sangat banyak versi yang menyatakan Tentang Raja Alif Chalifatulah di Minangkabau. Ada Tiga Nara sumber yang akurat tentang Nur Alam, pertama adalah peristiwa terjadinya kota Lubuk Sikaping di Pasaman, ketika itu salah seorang Datuk yang berkuasa disana, ialah Datuk Sinaro yang memperebutkan batas sempadan negerinya dengan penghulu yang lain dan menyebabkan negeri itu terbelah dua kawasan, yang akhirnya bernama Lubuk Sikaping…pertelingkahan itu justru melibatkan Nur alam sebagai penengah perselisihan. Peranan Nur alam disitu disebutkan karena dia mewakili penguasa Aceh yang menguasai sebagian kawasan di Tiku dan Raja Syahbandar termasuk Juga Sundatar yang berada di gugusan Barat Bukit Barisan serta berpusat di pantai Pariaman ( Tiku)bersama Nur alam membawa seorang Putra yang dikenal bernama Admasyah.. Sumber kedua adalah, Onggang Parlindungan dalam Bukunya Tanku Rao Menulis Bahwa Nur alam, mewakili kekuasaan Aceh juga menguasai perniagaan lada di selingkar Danau Singkarak dalam hal ini, jelaslah bahwa Danau singkarak termasuk seiliran batang Bengkawas, adalah jalur menuju Pariangan melalui desa tua di Balimbing. Sumber ketiga adalah, sudara R.Indra Atassashi, salah seorang ciit keturunan Raja-raja Tamiang yang notabene adalah berkaitan langsung dengan raja-raja Samudra Pasai di Aceh embenarkan bahwa Nur alam adalah trah keturunan Raja Samudra Pasai yang ketika itu menjabat sebagai Panglima kerajaan Samudra Pasai yang menguasai Pantai Pariaman. Ada juga sebagaian pemerhati sejarah di Pagaruyung yang mengakui keberadaan Nur alam di Bukit Batu Patah dngan bermacam2 Versinya kemudian.
Menurut sumber di Aceh diketahui bahwa Nur alam sampai di Pariaman pada tahun 1617 M kemudian diketaui juga bahwa Nur alam menjadi Raja alam, bergelar Raja Alif (raja yang pertama ) tahun 1650 (Sumber tahun Marah Rusli dalam Plakat Panjang) seterusnya Raja alif ini mempunyai keturunan yang pergi ke Johor bernama Sultan Bagewang, puteranya yang lain bernama Rum Patualo yang kemudian bergelar Datuk Maharajo Indro yang mendirikan Rumah Bukit di bawah Bukit Batu Patah, lokasinya adalah di Balai Janggo. ( sekarang sudah di runtuhkan-lokasinya didepan Istana Silindung Bulan skarang)-sementara itu, Ricky Syahrul memiliki sumber yang cukup signifikan, bahwa rumah Bukit ternyata di akui juga oleh penulis Belanda yang tentu saja dikatakan sebagai Rumah Raja Ibadat.
Dari ungkapan yang dikemukakan sdr.Ricky Syahrul yang di ambil dari sumber penulis Belanda, sangat tampak disini bahwa ketika Sumpah Sakti Bukit Marapalam dibuat, maka yang terbentuk adalah Raja duo selo, yakni Raja Adat dan Raja Ibadat…Raja Ibadat justru digunakan rumah Bukit yang dengan jelas berasal dari peninggalan Nur Alam, sementara Raja Adat dari keturunan yang lain?....Tidak dapat di pastikan disini, apakah posisi Raja alam di hapuskan atau diambil oleh pihak tertentu. Barangkali, disinilah terjadi perebutan Kuasa yang menyebabkan dua keturunan tiga keturunan Nur alam keluar dari Minangkabau, yaitu Ahmadsyah, Raja Bagewang, Raja Manggoyang. Ketiga orang ini diketahui kemudian Admadsyah melalui Indragiri kembali ke Deli tua, sementara Manggoyang meminta perlinduangan di Indragiri dan berkubur di Bengkulu, anaknya yang lain membawa Raja Kecik ke Pagaruyung?..dan kembali ke Johor dari Johor melalui Ulu Pahang dan meninggal di kawasan Jelebu…tidak diketahui dimana kuburnya.
Siapakah yang memperebutkan kuasa sesudah itu?.....mari kita telusuri bersama…….. Kenapa ada gelaran Mahkota alam di Pagaruyung?...adakah itu diambil dari Aceh ataukah dia tercipta sendiri di Pagaruyung sesudah Kmatian Nur alam sebagai Raja Alif?...dan kepergian anak2 mereka???
Beberapa sumber mengatakan, bahwa tahun 1650 terbentuk lembaga Raja Duo selo melalui Ikrar Sumpah Satih Bukit Marapalam, yaitu pertanjian antara kaum adat dan Kaum agama....Raja duo selo, yakni raja Adat dan Raja Ibadat, Maknanya Perjanjian Bukit Marapalam dibuat sesudah Nur Alam ( Sultan Alif meninggal dunia dan di kuburkan di Pagaruyung, Dengan alasan itu, penerus Sultan Alif, adalah Rum Patualo, bergelar Maharaja Indra ( sekarang Datuk), sesudah Maharajka Indra, ada dua nama yang tersingkir...Bagewang dan Raja Manguyang.....sebuah sumber mengatakan bahwa Rumah Bukit ( Rumah kayu yang pertama) di Pagaruyung dibuat oleh Maharajo Indo ( sekarang Datuk)....dan sumber Belanda mengatakan, kalau Rumah Bukit itu adalah Tempatnya Raja Ibadat sesudah era Sumpah Satih Bukit Marapalam.
Logikanya adalah, wajar saja jika para penerus Sultan Alif Chalifatullah dikatakan sebagai Raja Ibadat, karena memang mereka adalah penyebar agama Islam...akan tetapi mengapa ada lagi Raja alam, pada hal Sultan Alif sudah meninggal?...andaikata pun harus ada, tentulah gelar Raja di terima anak2nya, karena adat Raja turun dari ayah kepada anaknya...mengapa justru anak2nya lari keluar Minang dan meminta perlinduingan ke Indrapura dan Jelebu di Malaysia?.....
Anthonyswan Rangkayo basa batuah
Sumber=saranawisataenterprise.blogspot.co.id
Sabtu, 21 Juli 2018
CIGAK BARUAK JAMAN DULU
Cigak Baruak Jaman Dulu
Ada transportasi lama bernama “cigak baruak” mirip dengan isoh padati menggunakan sapi sebagai mesin penggerak, dan memakai katayo atau tali yang disambungkan pada pundak sapi, yang juga disetalikan dengan kayu penopang, namun sudah diberi gerobak dan beroda kayu. Gerobak pedati inilah yang disebut “cigak baruak” . Cigak baruak ini fungsinya juga untuk mengangkut barang keseharian, ada juga gerobak untuk membawa kayu panjang-panjang yang modelnya masih sama. Namun dalam pengangkutan kayu ini kondisi papan tepian gerobak dibuat lebih rendah dan sedikit panjang, serta diberi bumper di tepi bawah agar dapat memuat roda lebih besar dan diberi tonggak kayu di bagian tengah. Tonggak ini menjorok ke bawah sebagai penyangga. Jika laju gerobak mulai bergerak cepat ketika jalan menurun dapat diberatkan kebelakang dan begitu sebaliknya, jadi fungsi sebenarnya tonggak kayu tersebut adalah sebagai pengatur agar memudahkan membawa kayu-kayu yang panjang pula.
Ada transportasi lama bernama “cigak baruak” mirip dengan isoh padati menggunakan sapi sebagai mesin penggerak, dan memakai katayo atau tali yang disambungkan pada pundak sapi, yang juga disetalikan dengan kayu penopang, namun sudah diberi gerobak dan beroda kayu. Gerobak pedati inilah yang disebut “cigak baruak” . Cigak baruak ini fungsinya juga untuk mengangkut barang keseharian, ada juga gerobak untuk membawa kayu panjang-panjang yang modelnya masih sama. Namun dalam pengangkutan kayu ini kondisi papan tepian gerobak dibuat lebih rendah dan sedikit panjang, serta diberi bumper di tepi bawah agar dapat memuat roda lebih besar dan diberi tonggak kayu di bagian tengah. Tonggak ini menjorok ke bawah sebagai penyangga. Jika laju gerobak mulai bergerak cepat ketika jalan menurun dapat diberatkan kebelakang dan begitu sebaliknya, jadi fungsi sebenarnya tonggak kayu tersebut adalah sebagai pengatur agar memudahkan membawa kayu-kayu yang panjang pula.
DESTAR " DANDAM TAK SUDAH" MAHKOTA RAJA
Destar "Dandam tak sudah" Mahkota Raja
Destar/Deta Dandam tak sudah (Minang) Tengkolok/solek Dendam tak sudah (Negeri Sembilan) adalah mahkota khusus yang dipakai oleh Raja di Minangkabau, yang mana deta ini dipasang pada bagian kepala seorang raja.
Deta ini telah dipakai oleh raja-raja di daerah minangkabau semenjak dahulu kala, mulai dari Raja Pagaruyung di Tanah Datar hingga Sultan kesultanan inderapura di Pesisir Selatan Sumatera Barat.
Sedangkan menurut cerita lisan oleh masyarakat Negeri Sembilan Malaysia, orang pertama memakai Deta Dandam tak sudah adalah Tuk Memperang Abdullah yang merupakan seorang pegawai 99 Istana suku Tanah Datar, Kampung Sawah Liat Seri Menanti.
Dalam penggunaannya deta ini lebih populer di Negeri Sembilan daripada di Sumatera Barat sendiri. Di Negeri Sembilan deta ini sudah merupakan pakaian adat, bahkan deta ini dipakai oleh rakyat biasa seperti dalam busana pengantin dan dipakai juga dalam acara-acara besaar dengan syarat pemakaiannya disertakan dengan pakaian/baju kurung.
Sementara di Minangkabau deta ini hanya di pakai oleh Raja. Datuk/Penghulu tidak memakai deta ini, begitupun marapulai/ pengantin pria tidak memakai deta ini dalam acara baralek. Pengantin pria juga tidak diperkenankan memakai pakaian datuk atau penghulu atau sebaliknya, karena dianggap melanggar peraturan adat. Semua sudah ada aturan pemakaian deta-nya.
Foto=Yang Dipetuan Rajo Alam Pagaruyung dan Permaisuri
Foto=Gambar Tuanku Abdul Rahman yang menjadi Yang Di-Pertuan Agong pertama pada tahun 1957 keturunan Minang Negeri Sembilan dalam busananya mengenakan deta dandam tak sudah dalam pecahan 50 Ringgit.
Khusus untuk raja di Malaysia di bahagian hadapan deta ini dipasangkan anak bulan dengan bintang pecahempat belas yang diperbuat daripada emas putih dan ditengah-tengah bintang terletak lambang Kerajaan Malaysia yang berwarna-warni.
Sumber:
© Utusan Melayu (M) Bhd
Destar/Deta Dandam tak sudah (Minang) Tengkolok/solek Dendam tak sudah (Negeri Sembilan) adalah mahkota khusus yang dipakai oleh Raja di Minangkabau, yang mana deta ini dipasang pada bagian kepala seorang raja.
Deta ini telah dipakai oleh raja-raja di daerah minangkabau semenjak dahulu kala, mulai dari Raja Pagaruyung di Tanah Datar hingga Sultan kesultanan inderapura di Pesisir Selatan Sumatera Barat.
Sedangkan menurut cerita lisan oleh masyarakat Negeri Sembilan Malaysia, orang pertama memakai Deta Dandam tak sudah adalah Tuk Memperang Abdullah yang merupakan seorang pegawai 99 Istana suku Tanah Datar, Kampung Sawah Liat Seri Menanti.
Dalam penggunaannya deta ini lebih populer di Negeri Sembilan daripada di Sumatera Barat sendiri. Di Negeri Sembilan deta ini sudah merupakan pakaian adat, bahkan deta ini dipakai oleh rakyat biasa seperti dalam busana pengantin dan dipakai juga dalam acara-acara besaar dengan syarat pemakaiannya disertakan dengan pakaian/baju kurung.
Sementara di Minangkabau deta ini hanya di pakai oleh Raja. Datuk/Penghulu tidak memakai deta ini, begitupun marapulai/ pengantin pria tidak memakai deta ini dalam acara baralek. Pengantin pria juga tidak diperkenankan memakai pakaian datuk atau penghulu atau sebaliknya, karena dianggap melanggar peraturan adat. Semua sudah ada aturan pemakaian deta-nya.
Foto=Yang Dipetuan Rajo Alam Pagaruyung dan Permaisuri
Foto=Gambar Tuanku Abdul Rahman yang menjadi Yang Di-Pertuan Agong pertama pada tahun 1957 keturunan Minang Negeri Sembilan dalam busananya mengenakan deta dandam tak sudah dalam pecahan 50 Ringgit.
Khusus untuk raja di Malaysia di bahagian hadapan deta ini dipasangkan anak bulan dengan bintang pecahempat belas yang diperbuat daripada emas putih dan ditengah-tengah bintang terletak lambang Kerajaan Malaysia yang berwarna-warni.
Sumber:
© Utusan Melayu (M) Bhd
MELINTASI SEJARAH BIOSKOP DI SUMATERA BARAT
Melintasi Sejarah Bioskop di Sumatera Barat
Cikal Bakal Sinema di Padang
Padang adalah kota yang strategis. Dengan Pelabuhan Emmahaven sebagai gerbangnya, Padang menjamu pedagang dan pendatang dari berbagai belahan dunia. Tak heran apabila Padang terhitung cepat dibanding dengan daerah lain di bagian barat Indonesia. Fonograf, atau mesin bicara yang diciptakan Thomas Alva Edison pada 1887, sudah ada di Padang sejak 1898. Begitu juga dengan film. Pemutaran film sudah ada di Padang sejak 1905, walau sifatnya masih eksklusif untuk orang-orang Belanda. Film yang diputar adalah dokumenter perang Jepang melawan Uni Soviet. Pemutaran-pemutaran film belum berlangsung di bioskop, melainkan di gedung multifungsi tempat berkumpulnya imigran-imigran Eropa, seperti Edison’s Wereld Toneel, Royal, dan Ons Genoegen.
Bioskop-bioskop baru berdiri pada dekade 1920an. Empat bioskop pertama di Padang, yakni Royal Excelsior Bioscope, Biograph Bioscope, Scalabio[scope], dan Cinema Theater, dimiliki oleh pengusaha Cina dan Eropa. Sampai sekarang belum diketahui letak persisnya keempat bioskop itu. Pada masa itu, pengusaha Cina memang banyak menanam saham untuk membangun bioskop, karena usaha perbioskopan begitu menjanjikan. Selain itu, para pengusaha Cina juga menganggap pengusaha Eropa telah gagal dalam berbisnis bioskop. Mereka yakin mereka bisa lebih baik dari orang-orang Eropa. Dalam berbisnis bioskop, pengusaha Cina cenderung mendirikan banyak bioskop dalam satu payung kepemilikan. Contohnya adalah Cinema Bioskop, yang dirintis pada 1921 oleh perusahan Maskapay Handle Industri. Ang Eng Kwan, pemimpinnya, kemudian mendirikan Appolo Bioscope pada 1926 dan Rio Bioskop pada 1936.
Bioskop dengan cepat menjadi bagian dari keseharian warga setempat. Mereka senang ke bioskop karena mereka bisa rebahan di kursi sambil menonton karya-karya gambar bergerak. Waktu itu harga karcis terbagi menjadi tiga klasifikasi: kelas satu ƒ 1,25; kelas dua ƒ 0,75; kelas tiga ƒ 0,25. Kelas menentukan posisi tempat duduk: kelas satu paling belakang, kelas dua di tengah, dan kelas tiga di depan. Penempatan ini selaras dengan stratifikasi sosial yang ditegaskan pemerintahan kolonial kala itu: kelas satu untuk orang-orang Belanda; kelas dua untuk orang Cina, India, Amerika, dan Eropa; dan kelas tiga untuk kaum pribumi.
Pembagian kelas di bioskop untungnya tidak bertahan lama. Melihat potensi penonton yang tinggi di kalangan penonton pribumi, para pengusaha Cina membuka bioskop mereka sepenuhnya untuk orang pribumi, selama mereka bisa membayar harga tiket untuk kelas dua atau kelas satu. di Padang Panjang, Bukittinggi, dan Payakumbuh pribumi juga senang nonton film di bioskop. Bioskop sudah mulai banyak berdiri di sana.
Sejak 1926, film-film bersuara mulai hadir di Hindia Belanda. Tidak saja film-film bersuara dari luar, seperti Jazz Singer, Fox Foolies, dan Rainbow Man, tapi juga film-film bersuara produksi lokal Njai Dasima dan Pembalasan Nancy. Film-film ini menghadirkan pengalaman menonton yang berbeda. Kalau biasanya cuma bisa memahami film dari gerak-gerik para pemeran, kini mereka harus mencermati dialog-dialog yang mereka ucapkan. Sialnya, bahasa yang dipakai tak dipahami oleh penonton pribumi. , sehingga para pengusaha bioskop menyertakan teks tertulis di layar (subtitle) supaya film mudah dipahami.
Awal 1930an, perbioskopan mengalami masalah. Tidak hanya di Padang, tapi juga di luar Padang. Krisis ekonomi akibat Perang Dunia I mulai terasa di Hindia Belanda. Para pengusaha bioskop kesusahan mengimpor film-film dari luar, dan bioskop mulai ditinggalkan penonton. Masyarakat pun terlalu sibuk mencari uang untuk makan. Tak banyak yang tersisa untuk menonton film.
Krisis mendorong para pengusaha bioskop untuk berstrategi bersama. Pada 13 September 1934, mereka berkumpul dan menyelenggarakan rapat di Batavia. Pertemuan itu menghasilkan Gabungan Pengusaha Bioskop Hindia Belanda. Holthaus dari Centraale Theater, Buitenzorg (Bogor), terpilih sebagai ketua; Liono, manajer perusahaan film Remaco, terpilih sebagai sekretaris; dan Van Der Ie dari Centraale Bioscoop, Batavia, terpilih sebagai bendahara. Ada pula Yo Hen Siang dari Globe Bioscoop dan Oey Soen Tjan dari Cinema Palace, Batavia, terpilih sebagai komisaris.
Pertemuan itu juga menetapkan iuran bioskop per bulan berdasarkan kelasnya: ƒ 15 untuk bioskop kelas I, ƒ 10 kelas II, dan ƒ 5 kelai III. Di Padang, bioskop kelas I meliputi Cinema Bioscoop, Rio Bioscoop, Capitol Bioscoop, dan Rex Bioscoop. Bioskop kelas II hanya Apollo Bioscoop.
Kedatangan Saudara Tua
Agresi Jepang di Pearl Harbour membuat Belanda gentar. Mereka yakin Jepang akan segera menduduki Hindia Belanda, apalagi setelah Jerman, sekutu Jepang, berhasil menduduki negeri Belanda. Oleh karena itu AWL Tjarda van Starkenborg Stackhouwer, Gubernur Jenderal Belanda sekaligus wakil tertinggi Ratu Belanda di Hindia Belanda, mengumumkan pernyataan perang dengan Jepang melalui sebuah siaran radio. Wilhelmina, Ratu Belanda, menyetujui pernyataan perang tersebut, yang disampaikan oleh Duta Besar Belanda di Tokyo pada 9 Desember 1941.
Serbuan pertama Jepang ke Hindia Belanda berlangsung pada 11 Januari 1942. Dua bulan kemudian, tepatnya 8 Maret 1942, Belanda menandatangani penyerahan kawasan Hindia Belanda kepada balatentara Jepang tanpa syarat. Lima hari kemudian, derap langkah tentara Jepang mulai memasuki Padang dan Bukittinggi.
Jepang, yang merasa dirinya “kakak tertua”, mendirikan Sindenbu alias Badan Propaganda dan Penerangan. Salah satu dampak dari kehadiran Sindenbu adalah pelatihan dan pendidikan seniman Indonesia, termasuk para sineas. Dampak lainnya adalah penutupan atau pengambilalihan semua bioskop milik warga Cina peranakan. Jepang tidak percaya kepada orang-orang Cina. Sebagai gantinya, pemerintah kolonial Jepang mendatangkan film-film dari negeri mereka, lengkap dengan subtitel supaya mudah dipahami warga setempat. Jepang juga mengatur harga karcis menjadi lebih murah, kira-kira 10 sen, sehingga warga pribumi miskin sekalipun bisa menonton di bioskop. Selain itu, Jepang turut menyelenggarakan pemutaran di ruang terbuka untuk daerah-daerah kecil yang tidak berbioskop.
Tapi pilihan film yang tersedia begitu terbatas. Selain film-film yang didatangkan dari Jepang, cuma ada film-film produksi sineas setempat yang diizinkan Jepang, dan jumlahnya tidak banyak. Pemutaran selalu diulang-ulang. Belum lagi krisis ekonomi yang melanda Sumatera Barat tidak kunjung membaik.
Merdeka dengan Segala Konsekuensinya
Kabar tersiar bahwa Hiroshima dan Nagasaki hangus dihajar bom atom Amerika. Tak berdaya, kekaisaran Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu. Hanya ada satu kata bagi Indonesia: merdeka!
Kejatuhan Jepang membawa berkah tersendiri bagi penikmat film . Film-film dari luar Indonesia kembali banyak, tidak saja dari Amerika, tapi juga Uni Soviet dan Prancis. Bioskop-bioskop di Padang, salah satunya Capitol Bioscoop, juga kembali sering menayangkan film baru.
Tapi kenikmatan tersebut tidak berlangsung lama. Pembrontakan PRRI/Permesta pada 1950an membuat masyarakat takut untuk keluar rumah. Bahkan banyak masyarakat sumatra barat sampai mengungsi ke daerah lain. Bioskop kala itu hanya mengadakan satu pemutaran tiap harinya, yakni pada jam tujuh malam. Selang satu dekade, hadir Partai Komunis Indonesia (PKI) yang berusaha menghentikan pemutaran “film-film imperialis” di bioskop. Beberapa kader PKI, juga Lekra, membentuk PAPFIAS alias Panitia Aksi Penggayangan Film-film Imperialis Amerika Serikat sebagai ekpsresi ketidakpuasan terhadap masuknya pengaruh budaya barat, terutama Amerika, ke Indonesia. Bioskop pun berhenti menayangkan film-film Amerika, namun tetap memutar film-film dari Hongkong, Cina, Jepang, dan Italia. . Selain itu, situasi nasional yang tak menentu juga membuat masyarakat takut keluar rumah.
Setelah peristiwa 30 September 1965, pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk mengganti nama bioskop berbau asing ke nama yang lebih Indonesia. Cinema Bioscoop ganti nama jadi Bioskop Karia, Apollo Bioscoop jadi Bioskop Satria, Rio Bioscoop jadi Bioskop Mulia, Capitol Bioscoop jadi Bioskop Raya, dan New Rex jadi Bioskop Kencana.
Masa Keemasan
Dekade 1970an sampai 1990an kembali mengakrabkan masyarakat dengan bioskop. Boleh dibilang masa itu adalah masa keemasan bioskop di Padang. Masa-masa mencekam sudah berakhir, dan orang-orang kembali aktif berkegiatan di luar rumah. Masyarakatpun sampai berdesak-desakan ketika memesan tiket di bioskop. Kadang kala, harus berseteru dengan orang lain untuk memesan tiket yang hampir habis.
Menonton di bioskop kala itu menghadirkan pengalaman yang khas. Selain perangkat pemutaran film dan tata suara bioskop, setiap studio turut dilengkapi skuadron nyamuk, pendingin ruangan yang entah ke mana, dan suara ribut orang-orang. Namun yang paling menjengkelkan adalah film yang mendadak berhenti di tengah-tengah pemutaran. Sebabnya adalah gulungan rol film berisikan paruh kedua film belum sampai di bioskop. Di tengah-tengah layar akan muncul tulisan “Mohon Maaf”. Kalau sudah jengkel, akan ada yang berteriak, “Incek! Kalera ang!” Incek adalah panggilan orang Cina pemilik bioskop.
Setiap bioskop juga menawarkan sajian film yang khas. . Di Padang, misalnya, Bioskop Karia lebih banyak menayangkan film-film asing, dari Amerika, Eropa, Cina, Hongkong, dan Taiwan. Beberapa film Mandarin yang sempat di putar di Karia adalah The Chance (1977), Hit Team (1982), dan Chow Yun Fat The Killer (1982). Bioskop Mulia adalah spesialis film India, sementara bioskop Raya theatre lebih sering memutar film-film Indonesia, seperti Lelaki Binal, Susuk Nyi Roro Kidul, Kenikmatan Tabu, Bernafas dalam Lumpur, Raja Copet, dan Raja Dangdut.
Bioskop-bioskop Bukittinggi juga sama menariknya. Bioskop Eri cenderung memutarkan film India dan film-film misteri. Bioskop Sovia lebih dekat dengan film-film drama Indonesia macam Catatan Si Boy (1987), sementara Bioskop Gloria banyak menayangkan film-film Barat seperti Breakdance (1987) dan Top Gun (1987).
Di Solok, orang-orang di gedung bioskop itu selalu membicarakan tentang Roma Irama, Amitabacan, dan Sanjaydut.
Ada istilah tersendiri untuk orang-orang yang getol meniru tingkah aktor utama sebuah film: korban bioskop. Kebanyakan “korban bioskop” mengikuti jagoan-jagoan film laga.
Animo masyarakat yang begitu tinggi mendorong pengusaha bioskop di Padang untuk mengembangkan bioskop-bioskop murah atau THR, karena masyarakat yang ingin menonton tidak bisa ditampung lagi oleh bioskop yang ada. Kehadiran bioskop-bioskop baru ini menambah jumlah bioskop di Padang mencapai 28 bioskop: Bioskop Karia, Bioskop Satria, Bioskop Raya, Purnama Theater, Kencana Theater, THR Irama Bahari, Padang Theater, Indah Theater, Bioskop Buana, THR Purnama, THR Angkasa, THR Bhakti, THR Imam Bonjol, THR Simpang Haru, THR Jati, THR Alai, THR Siteba, THR Karia Bandar Buat, THR Lubuk Begalung, THR Teluk Bayur, THR Bungus, THR Sarang Gagak, Indarung Theater, THR Yani, Arjuna Theater, Bioskop President, dan THR Parak Laweh.
Sarana menonton lainnya yang tersedia bagi masyarakat Sumatera Barat adalah bioskop misbar alias gerimis bubar. Pemutarannya berlangsung di lapangan terbuka, dengan harga tiket yang relatif murah. Harga tiket kala itu bermacam-macam, mulai dari Rp. 100 sampai Rp. 10.000, tergantung posisi tempat duduk yang ditentukan oleh warna tiket: merah, kuning, dan hijau. Bioskop Raya memiliki harga tiket paling mahal, yakni Rp. 10.000.
Sinema Versus Layar Kaca
Masa kejayaan bioskop di Sumatera Barat tidak berlangsung lama. Tanda-tanda keruntuhan bioskop sudah terbaca sejak 1985, ketika teknologi video tape memungkinkan orang untuk menonton film di televisi. Maraknya pembajakan film membuat orang-orang lebih memilih menonton film dengan video tape yang diputar di televisi mereka (jika ada) atau tetangga mereka (jika tidak ada). Mereka menonton di rumah tetangga, mereka tetap patungan untuk iuran listrik. Tidak mahal, tidak lebih dari Rp. 100.
Orang-orang jadi jarang ke bioskop. Bioskop-bioskop kehilangan pemasukan, dan akibatnya sulit untuk merawat dan memperbaiki perangkat pemutaran film serta fasilitas bioskop. Satu per satu mulai gulung tikar. Beberapa di antaranya: Bioskop Buana I, II, III, THR Imam Bonjol, Bioskop President I, Bioskop Purnama, THR Siteba, THR Jati, THR Bungus, THR Serayu, dan THR Bahari. Semuanya tutup usaha pada dekade 90an.
Lambat laun, televisi mulai ramai dimiliki orang. Televisi dirancang sedemikian rupa agar sesuai dengan peralatan rumah tangga: berbentuk segi empat serupa kulkas, kursi, meja makan, kompor, dan lain-lain. Juga iklan-iklan di media massa ramai menggambarkan bagaimana televisi menjadi sebuah simbol atas kenyamanan sebuah keluarga. Televisi pun menjadi bagian dari keluarga, yang diletakkan tepat di inti rumah: ruang keluarga.
Beberapa gedung bioskop yang masih bertahan pun semakin kosong. Gedung-gedung itu dirubuhkan, lalu diganti dengan bangunan baru, seperti Pertamina, Kantor Polsek, showroom mobil, ruko, Kantor Bank dan sebagainya. Hancurnya gedung bioskop juga disebabkan oleh gempa besar yang melanda Sumatera Barta pada 2009. Sampai akhir 2015, bioskop yang bisa dikatakan aktif hanya ada dua, yaitu Bioskop Karia dan Bioskop Raya. Kedua bioskop itu juga sudah mengganti perangkat pemutarannya, dari seluloid ke digital. Sayangnya mereka hanya mampu merenovasi satu studio saja di bioskop masing-masing. Jadi tidak terlalu banyak berpengaruh.
Pada akhir 2016 Grup 21 buka cabang pusat perbelanjaan Ramayana Padang. Bioskop yang sudah terlebih dulu hadir di seantero Indonesia, baru hadir di Sumatera Barat pada 2016.
Memang, mereka kembali berdesak-desakan dalam sebuah antrean panjang. Bedanya, bioskop baru ini tampak begitu eksklusif. Teknologinya juga canggih. Penonton bisa memilih kursi sebelum menontonnya. Lantainya berkarpet, kursinya empuk, juga panganan yang dijajakan nampak lezat dan mengundang liur. Bagi warga padang ini bukan nostalgia, tapi babak baru yang menjadi standar untuk bioskop-bioskop pada masa mendatang.
Sumber=cinemapoetica.com
Cikal Bakal Sinema di Padang
Padang adalah kota yang strategis. Dengan Pelabuhan Emmahaven sebagai gerbangnya, Padang menjamu pedagang dan pendatang dari berbagai belahan dunia. Tak heran apabila Padang terhitung cepat dibanding dengan daerah lain di bagian barat Indonesia. Fonograf, atau mesin bicara yang diciptakan Thomas Alva Edison pada 1887, sudah ada di Padang sejak 1898. Begitu juga dengan film. Pemutaran film sudah ada di Padang sejak 1905, walau sifatnya masih eksklusif untuk orang-orang Belanda. Film yang diputar adalah dokumenter perang Jepang melawan Uni Soviet. Pemutaran-pemutaran film belum berlangsung di bioskop, melainkan di gedung multifungsi tempat berkumpulnya imigran-imigran Eropa, seperti Edison’s Wereld Toneel, Royal, dan Ons Genoegen.
Bioskop-bioskop baru berdiri pada dekade 1920an. Empat bioskop pertama di Padang, yakni Royal Excelsior Bioscope, Biograph Bioscope, Scalabio[scope], dan Cinema Theater, dimiliki oleh pengusaha Cina dan Eropa. Sampai sekarang belum diketahui letak persisnya keempat bioskop itu. Pada masa itu, pengusaha Cina memang banyak menanam saham untuk membangun bioskop, karena usaha perbioskopan begitu menjanjikan. Selain itu, para pengusaha Cina juga menganggap pengusaha Eropa telah gagal dalam berbisnis bioskop. Mereka yakin mereka bisa lebih baik dari orang-orang Eropa. Dalam berbisnis bioskop, pengusaha Cina cenderung mendirikan banyak bioskop dalam satu payung kepemilikan. Contohnya adalah Cinema Bioskop, yang dirintis pada 1921 oleh perusahan Maskapay Handle Industri. Ang Eng Kwan, pemimpinnya, kemudian mendirikan Appolo Bioscope pada 1926 dan Rio Bioskop pada 1936.
Bioskop dengan cepat menjadi bagian dari keseharian warga setempat. Mereka senang ke bioskop karena mereka bisa rebahan di kursi sambil menonton karya-karya gambar bergerak. Waktu itu harga karcis terbagi menjadi tiga klasifikasi: kelas satu ƒ 1,25; kelas dua ƒ 0,75; kelas tiga ƒ 0,25. Kelas menentukan posisi tempat duduk: kelas satu paling belakang, kelas dua di tengah, dan kelas tiga di depan. Penempatan ini selaras dengan stratifikasi sosial yang ditegaskan pemerintahan kolonial kala itu: kelas satu untuk orang-orang Belanda; kelas dua untuk orang Cina, India, Amerika, dan Eropa; dan kelas tiga untuk kaum pribumi.
Pembagian kelas di bioskop untungnya tidak bertahan lama. Melihat potensi penonton yang tinggi di kalangan penonton pribumi, para pengusaha Cina membuka bioskop mereka sepenuhnya untuk orang pribumi, selama mereka bisa membayar harga tiket untuk kelas dua atau kelas satu. di Padang Panjang, Bukittinggi, dan Payakumbuh pribumi juga senang nonton film di bioskop. Bioskop sudah mulai banyak berdiri di sana.
Sejak 1926, film-film bersuara mulai hadir di Hindia Belanda. Tidak saja film-film bersuara dari luar, seperti Jazz Singer, Fox Foolies, dan Rainbow Man, tapi juga film-film bersuara produksi lokal Njai Dasima dan Pembalasan Nancy. Film-film ini menghadirkan pengalaman menonton yang berbeda. Kalau biasanya cuma bisa memahami film dari gerak-gerik para pemeran, kini mereka harus mencermati dialog-dialog yang mereka ucapkan. Sialnya, bahasa yang dipakai tak dipahami oleh penonton pribumi. , sehingga para pengusaha bioskop menyertakan teks tertulis di layar (subtitle) supaya film mudah dipahami.
Awal 1930an, perbioskopan mengalami masalah. Tidak hanya di Padang, tapi juga di luar Padang. Krisis ekonomi akibat Perang Dunia I mulai terasa di Hindia Belanda. Para pengusaha bioskop kesusahan mengimpor film-film dari luar, dan bioskop mulai ditinggalkan penonton. Masyarakat pun terlalu sibuk mencari uang untuk makan. Tak banyak yang tersisa untuk menonton film.
Krisis mendorong para pengusaha bioskop untuk berstrategi bersama. Pada 13 September 1934, mereka berkumpul dan menyelenggarakan rapat di Batavia. Pertemuan itu menghasilkan Gabungan Pengusaha Bioskop Hindia Belanda. Holthaus dari Centraale Theater, Buitenzorg (Bogor), terpilih sebagai ketua; Liono, manajer perusahaan film Remaco, terpilih sebagai sekretaris; dan Van Der Ie dari Centraale Bioscoop, Batavia, terpilih sebagai bendahara. Ada pula Yo Hen Siang dari Globe Bioscoop dan Oey Soen Tjan dari Cinema Palace, Batavia, terpilih sebagai komisaris.
Pertemuan itu juga menetapkan iuran bioskop per bulan berdasarkan kelasnya: ƒ 15 untuk bioskop kelas I, ƒ 10 kelas II, dan ƒ 5 kelai III. Di Padang, bioskop kelas I meliputi Cinema Bioscoop, Rio Bioscoop, Capitol Bioscoop, dan Rex Bioscoop. Bioskop kelas II hanya Apollo Bioscoop.
Kedatangan Saudara Tua
Agresi Jepang di Pearl Harbour membuat Belanda gentar. Mereka yakin Jepang akan segera menduduki Hindia Belanda, apalagi setelah Jerman, sekutu Jepang, berhasil menduduki negeri Belanda. Oleh karena itu AWL Tjarda van Starkenborg Stackhouwer, Gubernur Jenderal Belanda sekaligus wakil tertinggi Ratu Belanda di Hindia Belanda, mengumumkan pernyataan perang dengan Jepang melalui sebuah siaran radio. Wilhelmina, Ratu Belanda, menyetujui pernyataan perang tersebut, yang disampaikan oleh Duta Besar Belanda di Tokyo pada 9 Desember 1941.
Serbuan pertama Jepang ke Hindia Belanda berlangsung pada 11 Januari 1942. Dua bulan kemudian, tepatnya 8 Maret 1942, Belanda menandatangani penyerahan kawasan Hindia Belanda kepada balatentara Jepang tanpa syarat. Lima hari kemudian, derap langkah tentara Jepang mulai memasuki Padang dan Bukittinggi.
Jepang, yang merasa dirinya “kakak tertua”, mendirikan Sindenbu alias Badan Propaganda dan Penerangan. Salah satu dampak dari kehadiran Sindenbu adalah pelatihan dan pendidikan seniman Indonesia, termasuk para sineas. Dampak lainnya adalah penutupan atau pengambilalihan semua bioskop milik warga Cina peranakan. Jepang tidak percaya kepada orang-orang Cina. Sebagai gantinya, pemerintah kolonial Jepang mendatangkan film-film dari negeri mereka, lengkap dengan subtitel supaya mudah dipahami warga setempat. Jepang juga mengatur harga karcis menjadi lebih murah, kira-kira 10 sen, sehingga warga pribumi miskin sekalipun bisa menonton di bioskop. Selain itu, Jepang turut menyelenggarakan pemutaran di ruang terbuka untuk daerah-daerah kecil yang tidak berbioskop.
Tapi pilihan film yang tersedia begitu terbatas. Selain film-film yang didatangkan dari Jepang, cuma ada film-film produksi sineas setempat yang diizinkan Jepang, dan jumlahnya tidak banyak. Pemutaran selalu diulang-ulang. Belum lagi krisis ekonomi yang melanda Sumatera Barat tidak kunjung membaik.
Merdeka dengan Segala Konsekuensinya
Kabar tersiar bahwa Hiroshima dan Nagasaki hangus dihajar bom atom Amerika. Tak berdaya, kekaisaran Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu. Hanya ada satu kata bagi Indonesia: merdeka!
Kejatuhan Jepang membawa berkah tersendiri bagi penikmat film . Film-film dari luar Indonesia kembali banyak, tidak saja dari Amerika, tapi juga Uni Soviet dan Prancis. Bioskop-bioskop di Padang, salah satunya Capitol Bioscoop, juga kembali sering menayangkan film baru.
Tapi kenikmatan tersebut tidak berlangsung lama. Pembrontakan PRRI/Permesta pada 1950an membuat masyarakat takut untuk keluar rumah. Bahkan banyak masyarakat sumatra barat sampai mengungsi ke daerah lain. Bioskop kala itu hanya mengadakan satu pemutaran tiap harinya, yakni pada jam tujuh malam. Selang satu dekade, hadir Partai Komunis Indonesia (PKI) yang berusaha menghentikan pemutaran “film-film imperialis” di bioskop. Beberapa kader PKI, juga Lekra, membentuk PAPFIAS alias Panitia Aksi Penggayangan Film-film Imperialis Amerika Serikat sebagai ekpsresi ketidakpuasan terhadap masuknya pengaruh budaya barat, terutama Amerika, ke Indonesia. Bioskop pun berhenti menayangkan film-film Amerika, namun tetap memutar film-film dari Hongkong, Cina, Jepang, dan Italia. . Selain itu, situasi nasional yang tak menentu juga membuat masyarakat takut keluar rumah.
Setelah peristiwa 30 September 1965, pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk mengganti nama bioskop berbau asing ke nama yang lebih Indonesia. Cinema Bioscoop ganti nama jadi Bioskop Karia, Apollo Bioscoop jadi Bioskop Satria, Rio Bioscoop jadi Bioskop Mulia, Capitol Bioscoop jadi Bioskop Raya, dan New Rex jadi Bioskop Kencana.
Masa Keemasan
Dekade 1970an sampai 1990an kembali mengakrabkan masyarakat dengan bioskop. Boleh dibilang masa itu adalah masa keemasan bioskop di Padang. Masa-masa mencekam sudah berakhir, dan orang-orang kembali aktif berkegiatan di luar rumah. Masyarakatpun sampai berdesak-desakan ketika memesan tiket di bioskop. Kadang kala, harus berseteru dengan orang lain untuk memesan tiket yang hampir habis.
Menonton di bioskop kala itu menghadirkan pengalaman yang khas. Selain perangkat pemutaran film dan tata suara bioskop, setiap studio turut dilengkapi skuadron nyamuk, pendingin ruangan yang entah ke mana, dan suara ribut orang-orang. Namun yang paling menjengkelkan adalah film yang mendadak berhenti di tengah-tengah pemutaran. Sebabnya adalah gulungan rol film berisikan paruh kedua film belum sampai di bioskop. Di tengah-tengah layar akan muncul tulisan “Mohon Maaf”. Kalau sudah jengkel, akan ada yang berteriak, “Incek! Kalera ang!” Incek adalah panggilan orang Cina pemilik bioskop.
Setiap bioskop juga menawarkan sajian film yang khas. . Di Padang, misalnya, Bioskop Karia lebih banyak menayangkan film-film asing, dari Amerika, Eropa, Cina, Hongkong, dan Taiwan. Beberapa film Mandarin yang sempat di putar di Karia adalah The Chance (1977), Hit Team (1982), dan Chow Yun Fat The Killer (1982). Bioskop Mulia adalah spesialis film India, sementara bioskop Raya theatre lebih sering memutar film-film Indonesia, seperti Lelaki Binal, Susuk Nyi Roro Kidul, Kenikmatan Tabu, Bernafas dalam Lumpur, Raja Copet, dan Raja Dangdut.
Bioskop-bioskop Bukittinggi juga sama menariknya. Bioskop Eri cenderung memutarkan film India dan film-film misteri. Bioskop Sovia lebih dekat dengan film-film drama Indonesia macam Catatan Si Boy (1987), sementara Bioskop Gloria banyak menayangkan film-film Barat seperti Breakdance (1987) dan Top Gun (1987).
Di Solok, orang-orang di gedung bioskop itu selalu membicarakan tentang Roma Irama, Amitabacan, dan Sanjaydut.
Ada istilah tersendiri untuk orang-orang yang getol meniru tingkah aktor utama sebuah film: korban bioskop. Kebanyakan “korban bioskop” mengikuti jagoan-jagoan film laga.
Animo masyarakat yang begitu tinggi mendorong pengusaha bioskop di Padang untuk mengembangkan bioskop-bioskop murah atau THR, karena masyarakat yang ingin menonton tidak bisa ditampung lagi oleh bioskop yang ada. Kehadiran bioskop-bioskop baru ini menambah jumlah bioskop di Padang mencapai 28 bioskop: Bioskop Karia, Bioskop Satria, Bioskop Raya, Purnama Theater, Kencana Theater, THR Irama Bahari, Padang Theater, Indah Theater, Bioskop Buana, THR Purnama, THR Angkasa, THR Bhakti, THR Imam Bonjol, THR Simpang Haru, THR Jati, THR Alai, THR Siteba, THR Karia Bandar Buat, THR Lubuk Begalung, THR Teluk Bayur, THR Bungus, THR Sarang Gagak, Indarung Theater, THR Yani, Arjuna Theater, Bioskop President, dan THR Parak Laweh.
Sarana menonton lainnya yang tersedia bagi masyarakat Sumatera Barat adalah bioskop misbar alias gerimis bubar. Pemutarannya berlangsung di lapangan terbuka, dengan harga tiket yang relatif murah. Harga tiket kala itu bermacam-macam, mulai dari Rp. 100 sampai Rp. 10.000, tergantung posisi tempat duduk yang ditentukan oleh warna tiket: merah, kuning, dan hijau. Bioskop Raya memiliki harga tiket paling mahal, yakni Rp. 10.000.
Sinema Versus Layar Kaca
Masa kejayaan bioskop di Sumatera Barat tidak berlangsung lama. Tanda-tanda keruntuhan bioskop sudah terbaca sejak 1985, ketika teknologi video tape memungkinkan orang untuk menonton film di televisi. Maraknya pembajakan film membuat orang-orang lebih memilih menonton film dengan video tape yang diputar di televisi mereka (jika ada) atau tetangga mereka (jika tidak ada). Mereka menonton di rumah tetangga, mereka tetap patungan untuk iuran listrik. Tidak mahal, tidak lebih dari Rp. 100.
Orang-orang jadi jarang ke bioskop. Bioskop-bioskop kehilangan pemasukan, dan akibatnya sulit untuk merawat dan memperbaiki perangkat pemutaran film serta fasilitas bioskop. Satu per satu mulai gulung tikar. Beberapa di antaranya: Bioskop Buana I, II, III, THR Imam Bonjol, Bioskop President I, Bioskop Purnama, THR Siteba, THR Jati, THR Bungus, THR Serayu, dan THR Bahari. Semuanya tutup usaha pada dekade 90an.
Lambat laun, televisi mulai ramai dimiliki orang. Televisi dirancang sedemikian rupa agar sesuai dengan peralatan rumah tangga: berbentuk segi empat serupa kulkas, kursi, meja makan, kompor, dan lain-lain. Juga iklan-iklan di media massa ramai menggambarkan bagaimana televisi menjadi sebuah simbol atas kenyamanan sebuah keluarga. Televisi pun menjadi bagian dari keluarga, yang diletakkan tepat di inti rumah: ruang keluarga.
Beberapa gedung bioskop yang masih bertahan pun semakin kosong. Gedung-gedung itu dirubuhkan, lalu diganti dengan bangunan baru, seperti Pertamina, Kantor Polsek, showroom mobil, ruko, Kantor Bank dan sebagainya. Hancurnya gedung bioskop juga disebabkan oleh gempa besar yang melanda Sumatera Barta pada 2009. Sampai akhir 2015, bioskop yang bisa dikatakan aktif hanya ada dua, yaitu Bioskop Karia dan Bioskop Raya. Kedua bioskop itu juga sudah mengganti perangkat pemutarannya, dari seluloid ke digital. Sayangnya mereka hanya mampu merenovasi satu studio saja di bioskop masing-masing. Jadi tidak terlalu banyak berpengaruh.
Pada akhir 2016 Grup 21 buka cabang pusat perbelanjaan Ramayana Padang. Bioskop yang sudah terlebih dulu hadir di seantero Indonesia, baru hadir di Sumatera Barat pada 2016.
Memang, mereka kembali berdesak-desakan dalam sebuah antrean panjang. Bedanya, bioskop baru ini tampak begitu eksklusif. Teknologinya juga canggih. Penonton bisa memilih kursi sebelum menontonnya. Lantainya berkarpet, kursinya empuk, juga panganan yang dijajakan nampak lezat dan mengundang liur. Bagi warga padang ini bukan nostalgia, tapi babak baru yang menjadi standar untuk bioskop-bioskop pada masa mendatang.
Sumber=cinemapoetica.com
GEMPA 7,6 SR DI PADANG PANJANG TAHUN 1926
Gempa di Padang Panjang 7,6 SR
1926
Gempa bumi Padang Panjang 1926 adalah gempa bumi berkekuatan 7,6 SR yang berpusat di Padang Panjang yang terjadi pada 28 Juni 1926. Gempa ini mengakibatkan sejumlah kerusakan di berbagai tempat, tanah terbelah dan longsor seperti di Kubu Karambia dan Simabua. Selain di Padang Panjang, gempa ini juga dirasakan di sekitar Danau Singkarak, Bukittinggi, Danau Maninjau, Solok, Sawahlunto, dan Alahan Panjang.
Gempa yang meluluhlantakkan Padang Panjang dan sekitarnya ini diperkirakan telah menelan setidaknya 354 korban jiwa. Gempa susulan juga mengakibatkan kerusakan pada sebagian Danau Singkarak. Di Kabupaten Agam, sebanyak 472 rumah roboh di 25 lokasi, 57 orang meninggal, dan 16 orang luka berat. Di Padang Panjang sendiri 2.383 rumah roboh dan 247 orang meninggal.
(Foto~Gempa 1926
Reruntuhan rumah di kota Padangpandjang setelah gempa besar 1926 (Gempa Darat). Termasuk yang rata dengan tanah adalah rumah ayah Buya Hamka)
Cipaik PamenanMato
Sumber=pamangkeh.blogspot.co.id
1926
Gempa bumi Padang Panjang 1926 adalah gempa bumi berkekuatan 7,6 SR yang berpusat di Padang Panjang yang terjadi pada 28 Juni 1926. Gempa ini mengakibatkan sejumlah kerusakan di berbagai tempat, tanah terbelah dan longsor seperti di Kubu Karambia dan Simabua. Selain di Padang Panjang, gempa ini juga dirasakan di sekitar Danau Singkarak, Bukittinggi, Danau Maninjau, Solok, Sawahlunto, dan Alahan Panjang.
Gempa yang meluluhlantakkan Padang Panjang dan sekitarnya ini diperkirakan telah menelan setidaknya 354 korban jiwa. Gempa susulan juga mengakibatkan kerusakan pada sebagian Danau Singkarak. Di Kabupaten Agam, sebanyak 472 rumah roboh di 25 lokasi, 57 orang meninggal, dan 16 orang luka berat. Di Padang Panjang sendiri 2.383 rumah roboh dan 247 orang meninggal.
(Foto~Gempa 1926
Reruntuhan rumah di kota Padangpandjang setelah gempa besar 1926 (Gempa Darat). Termasuk yang rata dengan tanah adalah rumah ayah Buya Hamka)
Cipaik PamenanMato
Sumber=pamangkeh.blogspot.co.id
LEGENDA DANAU DI ATAS DANAU DI BAWAH
Legenda Danau Atas dan Danau Bawah
Oleh: Ariyanto.RM
Para Sahabat mungkin pernah mendengar nama Danau di Atas dan Danau Di Bawah, yaitu dua buah danau yang berdekatan (kembar) yang terletak di Alahan Panjang Kecamatan Lembah Gumanti Kabupaten Solok Sumatera Barat. Kini kedua Danau ini menjadi salah satu objek wisata di Sumatera Barat. Danau ini sangat unik. Bila kita dari Padang menuju Alahan Panjang kita akan diantara kedua danau tersebut. Bila kita melihat ke sebelah Kanan kita akan melihat Danau Di Atas dan sebelah kiri kita adalah Danau di Bawah. Tentu akan bisa terlihat lebih jelas dan akan bisa menikmati kalau kita naik ke atas, yang merupakan pusat objek wisatanya. Sangking uniknya Penulis akhirnya bertanya-tanya dan menyampaikan ke kaguman kepada orang-orang, masyarakat sekitar. Di sinilah muncul cerita-cerita yang menurut penulis menarik untuk diceritakan. Jadi Danau Di Atas dan Danau di Bawah mempunyai sebuah legenda. Dari cerita yang penulis dengar akhirnya penulis menyusun sebagai berikut:
Di zaman dahulu kala ada seorang niniak (Orang yang Sudah Tua) yang bernama Niniak Gadang Bahan yang kerjanya adalah Maarik kayu (membuat papan/tonggak). Niniak ini sangat unik, badannya besar tinggi dan bahannya sebesar Nyiru. Bahan yang dimaksud di sini adalah beliungnya/kampak (alat untuk menebang kayu dan membuat papan). Nyiru adalah tempat menempis beras yang lebarnya kira-kira 50cmx80cm. Setiap berangkat ke hutan niniak ini tidak lupa membawa beliungnya. Niniak ini makannya hanya sekali seminggu, tapi sekali makan 1 gantang (6 kaleng susu indomil). Untuk mendapatkan kayu/papan yang bagus dia harus naik gunung/hutan. Setelah beberapa hari dalam hutan dia akan pulang dengan membawa beberapa helai papan/tonggak yang telah jadi dan membawa ke pasar untuk di jual. Dari hasil penjualan papan/tonggak inilah dia menghidupkan keluarganya.
Pada suatu hari ketika niniak ini berangkat ke hutan, di tengah hutan tempat dia bisa lewat tertutup. Niniak ini kaget, kenapa ada makhluk yang menghambat jalannya. Makhluk ini sangat besar sehingga menutup pemandangannya. Niniak berusaha untuk mengusirnya tapi makhluk ini tidak bergeming, malah balik menyerang. Ternyata makhluk ini adalah seekor ular naga yang besar. Tidak bisa disangkal lagi darah pituah niniak moyang langsung mengalir ke seluruh tubuh niniak, katanya: “Lawan tidak di cari, kalau bertemu pantang mengelak”. Terjadilah perkelahian antara naga dan niniak gadang bahan. Naga melakukan penyerangan, Niniak Gadang Bahan tidak tinggal diam. Seluruh kemampuan yang dimiliki oleh niniak gadang Bahan di keluarkan. Beliung yang berada di tangan Niniak gadang Bahan bereaksi, dan memang Niniak Gadang Bahan sangat ahli memainkannya, tentu jurus-jurus silat yang sudah mendarah mendaging oleh Niniak Gadang Bahan tak lupa dikeluarkan. Akhirnya Naga betekuk lutut dan menyerah. Naga kehabisan darah karena sabetan beliaung Niniak Gadang Bahan. Kepala Naga Nyaris putus, darah mengalir dengan deras. Angku Niniak Gadang Bahan menarik naga itu dan melempar dengan sekuat tenaga dan sampai ke sebuah lembah.
Setelah berlangsung beberapa lama Angku Niniak Gadang Bahan mendatangi lembah tempat naga dilemparkan. Ternyata Niniak Gadang Bahan kaget, naga tersebut ternyata tidak mati, dia malah melambangkan badannya dengan posisi membentuk angka delapan, darah dari kepala ular tetap mengalir sehingga memerahkan daerah tersebut. Sehingga daerah ini menjadi tempat kunjungan yang manarik bagi Angku, dan juga orang-orang yang ada di sekitar itu. Tapi apa yang terjadi, lama-lama badan ular ini mulai tertimbun oleh tanah, dan diantara dua lingkaran ular itu tergenanglah air yang membentuk dua danau kecil. Lama kelamaan danau ini terus semakin besar, sehingga terbentuklah dua bawah Danau yang besar dan indah.
Menurut cerita yang diterima itupulalah terbentuk dua nama daerah. Pertama adalah Lembah Gumanti, yang berasal dari kata “lembah nago nan mati” yaitu sekarang menjadi nama Kecamatan dari tempat kedua Danau ini. Kemudian ada juga yang mengartikan “Lembah Nago nan Sakti”. Yang kedua adalah sebuah daerah yang bernama “Aia Sirah” (Air Merah). Di daerah ini terkenal dengan airnya yang merah. Konon ceritanya penyebab dari air di daerah itu merah adalah darah yang terus keluar dari kepala naga, karena sampai sekarang Naga tersebut masih hidup dan masih mengeluarkan darah, ceritanya. Selanjutnya daerah itu diberi nama Aia Sirah (Air Merah). Ditambah lagi ceritanya antara Angku Niniak Gadang Bahan dan Naga pernah terjadi dialog, sebuah perjanjian. Kata naga satu kali setahun harus ada yang menjadi tumbal, tapi saya tidak akan mengambil dari anak cucumu. Dan ini menjadi kebenaran oleh penduduk setempat, bila dalam satu waktu tertentu bila ada yang tenggelam di Danau ini, mereka kembali mengangkat legenda ini. Dan memang yang merasa anak cucu keturunan Angku Gadang Bahan merasa yakin bila mengharungi danau ini.
Terlepas dari benar atau salah cerita ini, yang jelas orang-orang tua yang tinggal di wilayah Danau Di Atas dan Danau Dibawah sangat memahami cerita ini. Makanya cerita seperti ini dikelompokkan ke dalam Legenda, Yaitu cerita/dongeng terciptanya/penamaan sebuah negeri.
Oleh: Ariyanto.RM
Para Sahabat mungkin pernah mendengar nama Danau di Atas dan Danau Di Bawah, yaitu dua buah danau yang berdekatan (kembar) yang terletak di Alahan Panjang Kecamatan Lembah Gumanti Kabupaten Solok Sumatera Barat. Kini kedua Danau ini menjadi salah satu objek wisata di Sumatera Barat. Danau ini sangat unik. Bila kita dari Padang menuju Alahan Panjang kita akan diantara kedua danau tersebut. Bila kita melihat ke sebelah Kanan kita akan melihat Danau Di Atas dan sebelah kiri kita adalah Danau di Bawah. Tentu akan bisa terlihat lebih jelas dan akan bisa menikmati kalau kita naik ke atas, yang merupakan pusat objek wisatanya. Sangking uniknya Penulis akhirnya bertanya-tanya dan menyampaikan ke kaguman kepada orang-orang, masyarakat sekitar. Di sinilah muncul cerita-cerita yang menurut penulis menarik untuk diceritakan. Jadi Danau Di Atas dan Danau di Bawah mempunyai sebuah legenda. Dari cerita yang penulis dengar akhirnya penulis menyusun sebagai berikut:
Di zaman dahulu kala ada seorang niniak (Orang yang Sudah Tua) yang bernama Niniak Gadang Bahan yang kerjanya adalah Maarik kayu (membuat papan/tonggak). Niniak ini sangat unik, badannya besar tinggi dan bahannya sebesar Nyiru. Bahan yang dimaksud di sini adalah beliungnya/kampak (alat untuk menebang kayu dan membuat papan). Nyiru adalah tempat menempis beras yang lebarnya kira-kira 50cmx80cm. Setiap berangkat ke hutan niniak ini tidak lupa membawa beliungnya. Niniak ini makannya hanya sekali seminggu, tapi sekali makan 1 gantang (6 kaleng susu indomil). Untuk mendapatkan kayu/papan yang bagus dia harus naik gunung/hutan. Setelah beberapa hari dalam hutan dia akan pulang dengan membawa beberapa helai papan/tonggak yang telah jadi dan membawa ke pasar untuk di jual. Dari hasil penjualan papan/tonggak inilah dia menghidupkan keluarganya.
Pada suatu hari ketika niniak ini berangkat ke hutan, di tengah hutan tempat dia bisa lewat tertutup. Niniak ini kaget, kenapa ada makhluk yang menghambat jalannya. Makhluk ini sangat besar sehingga menutup pemandangannya. Niniak berusaha untuk mengusirnya tapi makhluk ini tidak bergeming, malah balik menyerang. Ternyata makhluk ini adalah seekor ular naga yang besar. Tidak bisa disangkal lagi darah pituah niniak moyang langsung mengalir ke seluruh tubuh niniak, katanya: “Lawan tidak di cari, kalau bertemu pantang mengelak”. Terjadilah perkelahian antara naga dan niniak gadang bahan. Naga melakukan penyerangan, Niniak Gadang Bahan tidak tinggal diam. Seluruh kemampuan yang dimiliki oleh niniak gadang Bahan di keluarkan. Beliung yang berada di tangan Niniak gadang Bahan bereaksi, dan memang Niniak Gadang Bahan sangat ahli memainkannya, tentu jurus-jurus silat yang sudah mendarah mendaging oleh Niniak Gadang Bahan tak lupa dikeluarkan. Akhirnya Naga betekuk lutut dan menyerah. Naga kehabisan darah karena sabetan beliaung Niniak Gadang Bahan. Kepala Naga Nyaris putus, darah mengalir dengan deras. Angku Niniak Gadang Bahan menarik naga itu dan melempar dengan sekuat tenaga dan sampai ke sebuah lembah.
Setelah berlangsung beberapa lama Angku Niniak Gadang Bahan mendatangi lembah tempat naga dilemparkan. Ternyata Niniak Gadang Bahan kaget, naga tersebut ternyata tidak mati, dia malah melambangkan badannya dengan posisi membentuk angka delapan, darah dari kepala ular tetap mengalir sehingga memerahkan daerah tersebut. Sehingga daerah ini menjadi tempat kunjungan yang manarik bagi Angku, dan juga orang-orang yang ada di sekitar itu. Tapi apa yang terjadi, lama-lama badan ular ini mulai tertimbun oleh tanah, dan diantara dua lingkaran ular itu tergenanglah air yang membentuk dua danau kecil. Lama kelamaan danau ini terus semakin besar, sehingga terbentuklah dua bawah Danau yang besar dan indah.
Menurut cerita yang diterima itupulalah terbentuk dua nama daerah. Pertama adalah Lembah Gumanti, yang berasal dari kata “lembah nago nan mati” yaitu sekarang menjadi nama Kecamatan dari tempat kedua Danau ini. Kemudian ada juga yang mengartikan “Lembah Nago nan Sakti”. Yang kedua adalah sebuah daerah yang bernama “Aia Sirah” (Air Merah). Di daerah ini terkenal dengan airnya yang merah. Konon ceritanya penyebab dari air di daerah itu merah adalah darah yang terus keluar dari kepala naga, karena sampai sekarang Naga tersebut masih hidup dan masih mengeluarkan darah, ceritanya. Selanjutnya daerah itu diberi nama Aia Sirah (Air Merah). Ditambah lagi ceritanya antara Angku Niniak Gadang Bahan dan Naga pernah terjadi dialog, sebuah perjanjian. Kata naga satu kali setahun harus ada yang menjadi tumbal, tapi saya tidak akan mengambil dari anak cucumu. Dan ini menjadi kebenaran oleh penduduk setempat, bila dalam satu waktu tertentu bila ada yang tenggelam di Danau ini, mereka kembali mengangkat legenda ini. Dan memang yang merasa anak cucu keturunan Angku Gadang Bahan merasa yakin bila mengharungi danau ini.
Terlepas dari benar atau salah cerita ini, yang jelas orang-orang tua yang tinggal di wilayah Danau Di Atas dan Danau Dibawah sangat memahami cerita ini. Makanya cerita seperti ini dikelompokkan ke dalam Legenda, Yaitu cerita/dongeng terciptanya/penamaan sebuah negeri.
HUBUNGAN NATAL MANDAILING DAN MINANGKABAU
Hubungan Natal Mandailing Dan Minangkabau
Oleh=Sidi Abdullah
Kerajaan Natal
Berdirilah Kerajaan besar di bibir pantai Pulau Sumatera yang dipimpin oleh Raja Tuanku Besar Datuk Imam. Beliau adalah seorang pangeran dari Kerajaan yang bernama Ujung Gading yang sekarang adalah Kabupaten Pasaman propinsi Sumatera Barat. Pengembaraan Datuk Imam meninggalkan Kerajaan pimpinannya dengan maksud mencari dan menemukan daerah baru telah berhasil mendirikan sebuah Kerajaan besar dengan wilayah yang cukup luas di pesisir Barat Sumatera yang diberi nama “Ranah Nan Data”. Kelak nama ini akan berubah menjadi “Ranah Nata”, dan karena kedatangan para saudagar-saudagar asing akhirnya berganti menjadi Natal. Pengembaraan ini adalah tawaran dari pangeran Indra Sutan, seorang pangeran muda dari Kerajaan Pagaruyung (di Sumatera Barat) yang juga tengah mencari daerah baru untuk dijadikan Kerajaan.
Pangeran Indra Sutan dan Datuk Imam telah menjadi sahabat karib dalam pengembaraan dan pencarian mereka akan daerah baru tersebut hingga akhirnya mereka menemukan dataran luas yang cocok untuk dijadikan sebuah wilayah kerajaan. Setelah menemukan dan mulai mendirikan sebuah perkampungan, Pangeran Indra Sutan terus menyusuri wilayah sekitarnya ke arah hulu sungai hingga wilayah Kerajaan menjadi bertambah luas. Kemudian Pangeran Indra Sutan berniat untuk mendirikan lagi sebuah kerajaan baru di wilayah hulu Kerajaan Natal yang diberi nama Kerajaan Lingga Bayu. Sejak mendirikan dan memimpin Kerajaan Lingga Bayu, Pangeran Indra Sutan dan Datuk Imam membagi wilayah yang telah mereka kuasai itu menjadi dua bagian untuk dipimpin oleh masing-masing mereka sebagai Raja-nya.
Luas wilayah kekuasaan Kerajaan Natal pada mulanya meliputi 304.010 ha. Di sebelah timur berbatasan dengan Muara Sipongi, Hutanopan (Kotanopan) dan Panyabungan. Sebelah barat berbatasan langsung dengan Samudera Indonesia. Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Pasaman (Sumatera Barat). Dan sebelah utara berbatasan dengan Sibolga (sekarang Kotamadya Sibolga).
Setelah Kerajaan Ranah Nata di ‘mekarkan’ menjadi dua kerajaan, yaitu Kerajaan Natal dan Kerajaan Lingga Bayu, dan juga karena kehadiran Belanda yang terus menciutkan wilayah kerajaan Natal. Disebutkan bahwa wilayah Kerajaan Natal bersepadan di sebelah timur dengan Muaro (muara) Sungai Batang Natal hingga ke Muaro Selayan (sekarang di Kelurahan Tapus, dan sekarang telah menjadi bagian dari wilayah kecamatan Lingga Bayu), sebelah utara berbatasan dengan Batang Panggautan (sebuah desa yg masih termasuk dalam kecamatan Natal sekarang ini, berjarak sekitar tiga kilometer dari Natal), sebelah selatan berbatasan dengan Batang Sinunukan (sekarang di Kecamatan Sinunukan), sebelah barat berbatasan dengan Samudera Hindia di pinggir pantai barat Sumatera yang termasuk dalam propinsi Sumatera Utara.
Tuanku Besar Datuk Imam menetap dan memimpin Kerajaan Natal hingga akhir hayatnya. Ia mangkat di Natal. Belasan keturunannya meneruskan serta memimpin Kerajaan Natal hingga pada tahun 1947 saat terbentuknya Dewan Negeri yang menghapuskan daerah “Swatantra” atau daerah-daerah yang mengatur dirinya sendiri.
Dalam perkembangannya, Kerajaan Natal yang telah menjadi pusat perdagangan di pesisir barat Sumatera Utara yang telah disinggahi oleh saudagar-saudagar dari Cina, Arab, Portugis, India, kolonial Belanda, Aceh, Makasar, Jawa dan sebagainya. Perdagangan itu pada umumnya dilakukan dengan sistim barter (tukar-menukar). Hasil bumi penduduk ditukar dengan barang impor yang dibawa para saudagar seperti besi, kain, candu dan lainnya.
Antara Raja-Raja di Kerajaan Natal dengan pihak Kolonial sering berakhir dengan bentrokan besar, sikap pemerintah kolonial yang tidak selalu bersahabat menjadi penyabab utama, yang pada akhirnya Raja terguling ataupun diasingkan ke daerah lain dan tidak dapat lagi kembali ke Kerajaannya, bahkan juga banyak yang tewas dalam pembuangannya.
Pada tahun 1841, pemerintah kolonial Belanda menciptakan Residensi Tapanuli Selatan dengan ibukotanya Sibolga. Ketika itu belum ditetapkan apakah Natal termasuk dalam Residensi Tapanuli Selatan atau Residensi Padang. Pada tahun 1843 barulah diputuskan bahwa Natal masuk dalam Residensi Tapanuli Selatan oleh Gubernur Hindia Belanda yang berkedudukan di Padang, Sumatera Barat.
Dalam posisinya sebagai pusat jalur perdagangan, adat budaya Kerajaan Natal sedikit banyaknya juga dipengaruhi oleh adat budaya asing. Hal itu dapat terlihat dari beberapa jenis tarian Natal yang dipengaruhi oleh budaya Minang, Melayu dan Mandailing. Pakaian penarinya pun mendapat pengaruh dari budaya Cina, dan Portugis. Namun dalam prinsip keyakinan, masyarakat Natal mayoritas memeluk Islam.
Nama 13 Raja-Raja yang memerintah Kerajaan Natal:
Tuanku Besar Datuk Imam; Tuanku Besar Datuk Imam mempunyai empat orang saudara perempuan. Dua orang di antaranya bernama Puti Ratiah dan Puti Rani (Puti artinya adalah putri, panggilan untuk putri keluarga bangsawan).
Tuanku Besar Datuk Basa Nan Tuo; adalah putra dari Puti Ratiah yang diangkat menjadi Tuanku Besar (Raja) Natal ke-2 menggantikan pamannya, Tuanku Besar Datuk Imam. Tuanku Besar Datuk Basa Nan Tuo menikah dengan Puti Baruaci, cucu kemenakan dari Tuanku Besar Datuk Bandaro, Raja ke-2 dari Kerajaan Lingga Bayu, yang juga kemenakan Tuanku Besar Rajo Putih. Di masa pemerintahan Tuanku Besar Datuk Basa Nan Tuo, pusat kerajaan Natal dipindahkan ke Kampung Bukit yang letaknya jauh dari pantai.
Tuanku Besar Datuk Basa Nan Mudo; adalah saudara Tuanku Besar Datuk Basa Nan Tuo.
Tuanku Besar Tama Musi, bergelar Tuanku Nan Kusuik; adalah saudara sepupu dari Tuanku Besar Datuk Basa Nan Mudo.
Tuanku Besar Sutan Sailan; Puti Rani mempunyai putri bernama Puti Tuo, Puti Tuo mempunyai tiga orang anak, Puti Tune, Puti Rumbuk dan Sutan Sailan, Puti Tune mempunyai putri bernama Puti Nan Kalam.
Tuanku Besar Sutan Gembok; adalah anak dari Puti Nan Kalam atau cucu Puti Tune. Jadi Tuanku Besar Sutan Gembok adalah keturunan ke-5 dari Tuanku Besar Datuk Imam. Karena Tuanku Besar Sutan Gembok lebih tertarik pada masalah keagamaan, ia menduduki tahta Kerajaan hanya selama enam bulan untuk kemudian diserahkan kepada adiknya.
Tuanku Besar Si Intan; adalah adik dari Tuanku Besar Sutan Gembok. Pada masa pemerintahan Tuanku Si Intan inilah perahu-perahu layar bangsa Portugis mulai singgah di Pelabuhan Natal untuk mencari lada dan emas. Tuanku Besar Si Intan mempunyai dua orang isteri, yaitu Putri Nai Mangatas dan Uci Siti. Putri Nai Mangatas berasal dari kerajaan Pidoli Lombang, sebuah kerajaan di daerah Mandailing. Setelah kawin, namanya diganti menjadi Puti Junjung. Ia melahirkan seorang putra bernama Sutan Mohammad Natal. Sedangkan Uci Siti berasal dari Jambua Aceh. Jambua adalah kelompok masyarakat atau suku tertentu di luar kerabat Diraja yang menempati salah satu kampung di Natal. Masyarakatnya dipimpin oleh seorang Datuk. Misalnya, Jambua Aceh untuk kelompok suku Aceh dipimpin oleh Datuk Aceh. Jambua Rao dipimpin oleh Datuk Rao. Pada 22 Mei 1823, Tuanku Besar Si Intan mangkat.
Setelah mangkatnya Tuanku Besar Si Intan, putranya Sutan Mohammad Natal ketika itu masih kecil sehingga belum dapat menjalankan pemerintahan. Oleh sebab itu ibunya, Puti Junjung diangkat sebagai wali yang memegang tampuk kekuasaan memerintah Kerajaan Natal. Kemudian Puti Junjung menikah lagi dengan Sutan Salim. Sutan Salim selalu menyusahkan Belanda, sehingga ia tidak disukai pemerintah Belanda. Sutan Salim ditangkap dan dibuang ke Cianjur. Sutan Salim tidak pernah kembali ke Natal, ia meninggal dalam pembuangan.
Tuanku Besar Sutan Mohammad Natal; adalah putra dari Tuanku Besar Si Intan, pada masa pemerintahan Sutan Mohammad Natal, daerah kekuasaannya diciutkan oleh Belanda yang mulai menancapkan kekuasaannya di wilayah Sumatera, termasuk Minangkabau. Karena Sutan Mohammad Natal sering bentrok dengan Belanda, ia bernasib sama dengan ayah tirinya, dibuang ke Sibolga. Sejak itu, tamatlah riwayat Tuanku-Tuanku Besar di Natal yang bebas dari pengaruh Belanda. Kemudian Belanda membagi kerajaan Natal menjadi tiga daerah yang masing-masing dikepalai oleh seorang Kuria yang diangkat oleh Belanda, ditempatkan di Nata, Singkuang dan Batahan. Kepala kuria yang pertama di Natal bernama Datuk Mohammad Saleh. Ia adalah Datuk suku Minangkabau atau Datuk Jambua Minangkabau.
Tuanku Besar Rajo Hidayat; adalah putra Puti Junjung dengan Sutan Sailan.
Tuanku Besar Mohammad Saleh.
Tuanku Besar Sutan Marah Ahmad; diangkat pemerintah Belanda berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Hindia Belanda yang waktu itu berkedudukan di Padang. Pada masa itu daerah kerajaan Natal semakin diciutkan oleh Belanda.
Tuanku Besar Sutan Sridewa; adalah suami Puti Siti Zahara yang masih kemenakan Tuanku Besar Sutan Marah Ahmad. Tuanku Besar Sutan Sridewa adalah Raja Natal yang terakhir di zaman kolonial hingga terbentuklah Dewan Negeri yang menghapuskan daerah Swatantra.
Dari garis keturunan Tuanku Besar Si Intan, kelak lahir dua putra Indonesia yang menjadi tokoh penting dalam perjuangan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mereka bernama Sutan Sjahrir dan Sutan Takdir Alisjahbana.
Sutan Kabidun, putra Tuanku Besar Si Intan dengan Puti Uci Siti pada waktu perang Padri (1821 – 1837), menikah dengan Puti Loni yang berasal dari Kerajaan kecil Batu Mundam yang berkedudukan di dekat perbatasan Sibolga. Puti Loni adalah putri Raja Pagaran Batu di Batu Mundam. Ketika Tuanku Besar Si Intan masih hidup, Sutan Kabidun memerintah daerah Tabayong sampai ke Batu Mundam. Dari perkawinannya dengan Puti Loni, Sutan Kabidun memperoleh empat anak bernama: Marah Palangai, Marah Darek, Puti Johar Maligan, dan Puti Malelo (Puti Lelo).
Puti Johar Maligan menikah dengan Sutan Sulaiman, mereka memperoleh seorang putri yang bernama Puti Siti Rabi’ah. Puti Siti rabi’ah menikah dengan Mangarajo Sutan yang waktu itu bekerja sebagai Kepala Jaksa di Medan. Mereka dikaruniai tujuh anak. Salah seorang anaknya diberi nama Sutan Sjahrir yang kelak menjadi Perdana Menteri indonesia pertama.
Puti Malelo (Lelo) adalah putri bungsu Sutan Kabidun yang menikah dengan Sutan Mohammad Zahab, saudara sepupunya sendiri. Puti Lelo dan Sutan Mohammad dikaruniai beberapa orang putra dan putri. Salah seorang cucu mereka diberi nama Sutan Takdir Alisjahbana yang dikenal sebagai tokoh Sumpah Pemuda, tokoh Pujangga Baru, Novelis dan Ahli Filsafat.***
Oleh=Sidi Abdullah
Kerajaan Natal
Berdirilah Kerajaan besar di bibir pantai Pulau Sumatera yang dipimpin oleh Raja Tuanku Besar Datuk Imam. Beliau adalah seorang pangeran dari Kerajaan yang bernama Ujung Gading yang sekarang adalah Kabupaten Pasaman propinsi Sumatera Barat. Pengembaraan Datuk Imam meninggalkan Kerajaan pimpinannya dengan maksud mencari dan menemukan daerah baru telah berhasil mendirikan sebuah Kerajaan besar dengan wilayah yang cukup luas di pesisir Barat Sumatera yang diberi nama “Ranah Nan Data”. Kelak nama ini akan berubah menjadi “Ranah Nata”, dan karena kedatangan para saudagar-saudagar asing akhirnya berganti menjadi Natal. Pengembaraan ini adalah tawaran dari pangeran Indra Sutan, seorang pangeran muda dari Kerajaan Pagaruyung (di Sumatera Barat) yang juga tengah mencari daerah baru untuk dijadikan Kerajaan.
Pangeran Indra Sutan dan Datuk Imam telah menjadi sahabat karib dalam pengembaraan dan pencarian mereka akan daerah baru tersebut hingga akhirnya mereka menemukan dataran luas yang cocok untuk dijadikan sebuah wilayah kerajaan. Setelah menemukan dan mulai mendirikan sebuah perkampungan, Pangeran Indra Sutan terus menyusuri wilayah sekitarnya ke arah hulu sungai hingga wilayah Kerajaan menjadi bertambah luas. Kemudian Pangeran Indra Sutan berniat untuk mendirikan lagi sebuah kerajaan baru di wilayah hulu Kerajaan Natal yang diberi nama Kerajaan Lingga Bayu. Sejak mendirikan dan memimpin Kerajaan Lingga Bayu, Pangeran Indra Sutan dan Datuk Imam membagi wilayah yang telah mereka kuasai itu menjadi dua bagian untuk dipimpin oleh masing-masing mereka sebagai Raja-nya.
Luas wilayah kekuasaan Kerajaan Natal pada mulanya meliputi 304.010 ha. Di sebelah timur berbatasan dengan Muara Sipongi, Hutanopan (Kotanopan) dan Panyabungan. Sebelah barat berbatasan langsung dengan Samudera Indonesia. Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Pasaman (Sumatera Barat). Dan sebelah utara berbatasan dengan Sibolga (sekarang Kotamadya Sibolga).
Setelah Kerajaan Ranah Nata di ‘mekarkan’ menjadi dua kerajaan, yaitu Kerajaan Natal dan Kerajaan Lingga Bayu, dan juga karena kehadiran Belanda yang terus menciutkan wilayah kerajaan Natal. Disebutkan bahwa wilayah Kerajaan Natal bersepadan di sebelah timur dengan Muaro (muara) Sungai Batang Natal hingga ke Muaro Selayan (sekarang di Kelurahan Tapus, dan sekarang telah menjadi bagian dari wilayah kecamatan Lingga Bayu), sebelah utara berbatasan dengan Batang Panggautan (sebuah desa yg masih termasuk dalam kecamatan Natal sekarang ini, berjarak sekitar tiga kilometer dari Natal), sebelah selatan berbatasan dengan Batang Sinunukan (sekarang di Kecamatan Sinunukan), sebelah barat berbatasan dengan Samudera Hindia di pinggir pantai barat Sumatera yang termasuk dalam propinsi Sumatera Utara.
Tuanku Besar Datuk Imam menetap dan memimpin Kerajaan Natal hingga akhir hayatnya. Ia mangkat di Natal. Belasan keturunannya meneruskan serta memimpin Kerajaan Natal hingga pada tahun 1947 saat terbentuknya Dewan Negeri yang menghapuskan daerah “Swatantra” atau daerah-daerah yang mengatur dirinya sendiri.
Dalam perkembangannya, Kerajaan Natal yang telah menjadi pusat perdagangan di pesisir barat Sumatera Utara yang telah disinggahi oleh saudagar-saudagar dari Cina, Arab, Portugis, India, kolonial Belanda, Aceh, Makasar, Jawa dan sebagainya. Perdagangan itu pada umumnya dilakukan dengan sistim barter (tukar-menukar). Hasil bumi penduduk ditukar dengan barang impor yang dibawa para saudagar seperti besi, kain, candu dan lainnya.
Antara Raja-Raja di Kerajaan Natal dengan pihak Kolonial sering berakhir dengan bentrokan besar, sikap pemerintah kolonial yang tidak selalu bersahabat menjadi penyabab utama, yang pada akhirnya Raja terguling ataupun diasingkan ke daerah lain dan tidak dapat lagi kembali ke Kerajaannya, bahkan juga banyak yang tewas dalam pembuangannya.
Pada tahun 1841, pemerintah kolonial Belanda menciptakan Residensi Tapanuli Selatan dengan ibukotanya Sibolga. Ketika itu belum ditetapkan apakah Natal termasuk dalam Residensi Tapanuli Selatan atau Residensi Padang. Pada tahun 1843 barulah diputuskan bahwa Natal masuk dalam Residensi Tapanuli Selatan oleh Gubernur Hindia Belanda yang berkedudukan di Padang, Sumatera Barat.
Dalam posisinya sebagai pusat jalur perdagangan, adat budaya Kerajaan Natal sedikit banyaknya juga dipengaruhi oleh adat budaya asing. Hal itu dapat terlihat dari beberapa jenis tarian Natal yang dipengaruhi oleh budaya Minang, Melayu dan Mandailing. Pakaian penarinya pun mendapat pengaruh dari budaya Cina, dan Portugis. Namun dalam prinsip keyakinan, masyarakat Natal mayoritas memeluk Islam.
Nama 13 Raja-Raja yang memerintah Kerajaan Natal:
Tuanku Besar Datuk Imam; Tuanku Besar Datuk Imam mempunyai empat orang saudara perempuan. Dua orang di antaranya bernama Puti Ratiah dan Puti Rani (Puti artinya adalah putri, panggilan untuk putri keluarga bangsawan).
Tuanku Besar Datuk Basa Nan Tuo; adalah putra dari Puti Ratiah yang diangkat menjadi Tuanku Besar (Raja) Natal ke-2 menggantikan pamannya, Tuanku Besar Datuk Imam. Tuanku Besar Datuk Basa Nan Tuo menikah dengan Puti Baruaci, cucu kemenakan dari Tuanku Besar Datuk Bandaro, Raja ke-2 dari Kerajaan Lingga Bayu, yang juga kemenakan Tuanku Besar Rajo Putih. Di masa pemerintahan Tuanku Besar Datuk Basa Nan Tuo, pusat kerajaan Natal dipindahkan ke Kampung Bukit yang letaknya jauh dari pantai.
Tuanku Besar Datuk Basa Nan Mudo; adalah saudara Tuanku Besar Datuk Basa Nan Tuo.
Tuanku Besar Tama Musi, bergelar Tuanku Nan Kusuik; adalah saudara sepupu dari Tuanku Besar Datuk Basa Nan Mudo.
Tuanku Besar Sutan Sailan; Puti Rani mempunyai putri bernama Puti Tuo, Puti Tuo mempunyai tiga orang anak, Puti Tune, Puti Rumbuk dan Sutan Sailan, Puti Tune mempunyai putri bernama Puti Nan Kalam.
Tuanku Besar Sutan Gembok; adalah anak dari Puti Nan Kalam atau cucu Puti Tune. Jadi Tuanku Besar Sutan Gembok adalah keturunan ke-5 dari Tuanku Besar Datuk Imam. Karena Tuanku Besar Sutan Gembok lebih tertarik pada masalah keagamaan, ia menduduki tahta Kerajaan hanya selama enam bulan untuk kemudian diserahkan kepada adiknya.
Tuanku Besar Si Intan; adalah adik dari Tuanku Besar Sutan Gembok. Pada masa pemerintahan Tuanku Si Intan inilah perahu-perahu layar bangsa Portugis mulai singgah di Pelabuhan Natal untuk mencari lada dan emas. Tuanku Besar Si Intan mempunyai dua orang isteri, yaitu Putri Nai Mangatas dan Uci Siti. Putri Nai Mangatas berasal dari kerajaan Pidoli Lombang, sebuah kerajaan di daerah Mandailing. Setelah kawin, namanya diganti menjadi Puti Junjung. Ia melahirkan seorang putra bernama Sutan Mohammad Natal. Sedangkan Uci Siti berasal dari Jambua Aceh. Jambua adalah kelompok masyarakat atau suku tertentu di luar kerabat Diraja yang menempati salah satu kampung di Natal. Masyarakatnya dipimpin oleh seorang Datuk. Misalnya, Jambua Aceh untuk kelompok suku Aceh dipimpin oleh Datuk Aceh. Jambua Rao dipimpin oleh Datuk Rao. Pada 22 Mei 1823, Tuanku Besar Si Intan mangkat.
Setelah mangkatnya Tuanku Besar Si Intan, putranya Sutan Mohammad Natal ketika itu masih kecil sehingga belum dapat menjalankan pemerintahan. Oleh sebab itu ibunya, Puti Junjung diangkat sebagai wali yang memegang tampuk kekuasaan memerintah Kerajaan Natal. Kemudian Puti Junjung menikah lagi dengan Sutan Salim. Sutan Salim selalu menyusahkan Belanda, sehingga ia tidak disukai pemerintah Belanda. Sutan Salim ditangkap dan dibuang ke Cianjur. Sutan Salim tidak pernah kembali ke Natal, ia meninggal dalam pembuangan.
Tuanku Besar Sutan Mohammad Natal; adalah putra dari Tuanku Besar Si Intan, pada masa pemerintahan Sutan Mohammad Natal, daerah kekuasaannya diciutkan oleh Belanda yang mulai menancapkan kekuasaannya di wilayah Sumatera, termasuk Minangkabau. Karena Sutan Mohammad Natal sering bentrok dengan Belanda, ia bernasib sama dengan ayah tirinya, dibuang ke Sibolga. Sejak itu, tamatlah riwayat Tuanku-Tuanku Besar di Natal yang bebas dari pengaruh Belanda. Kemudian Belanda membagi kerajaan Natal menjadi tiga daerah yang masing-masing dikepalai oleh seorang Kuria yang diangkat oleh Belanda, ditempatkan di Nata, Singkuang dan Batahan. Kepala kuria yang pertama di Natal bernama Datuk Mohammad Saleh. Ia adalah Datuk suku Minangkabau atau Datuk Jambua Minangkabau.
Tuanku Besar Rajo Hidayat; adalah putra Puti Junjung dengan Sutan Sailan.
Tuanku Besar Mohammad Saleh.
Tuanku Besar Sutan Marah Ahmad; diangkat pemerintah Belanda berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Hindia Belanda yang waktu itu berkedudukan di Padang. Pada masa itu daerah kerajaan Natal semakin diciutkan oleh Belanda.
Tuanku Besar Sutan Sridewa; adalah suami Puti Siti Zahara yang masih kemenakan Tuanku Besar Sutan Marah Ahmad. Tuanku Besar Sutan Sridewa adalah Raja Natal yang terakhir di zaman kolonial hingga terbentuklah Dewan Negeri yang menghapuskan daerah Swatantra.
Dari garis keturunan Tuanku Besar Si Intan, kelak lahir dua putra Indonesia yang menjadi tokoh penting dalam perjuangan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mereka bernama Sutan Sjahrir dan Sutan Takdir Alisjahbana.
Sutan Kabidun, putra Tuanku Besar Si Intan dengan Puti Uci Siti pada waktu perang Padri (1821 – 1837), menikah dengan Puti Loni yang berasal dari Kerajaan kecil Batu Mundam yang berkedudukan di dekat perbatasan Sibolga. Puti Loni adalah putri Raja Pagaran Batu di Batu Mundam. Ketika Tuanku Besar Si Intan masih hidup, Sutan Kabidun memerintah daerah Tabayong sampai ke Batu Mundam. Dari perkawinannya dengan Puti Loni, Sutan Kabidun memperoleh empat anak bernama: Marah Palangai, Marah Darek, Puti Johar Maligan, dan Puti Malelo (Puti Lelo).
Puti Johar Maligan menikah dengan Sutan Sulaiman, mereka memperoleh seorang putri yang bernama Puti Siti Rabi’ah. Puti Siti rabi’ah menikah dengan Mangarajo Sutan yang waktu itu bekerja sebagai Kepala Jaksa di Medan. Mereka dikaruniai tujuh anak. Salah seorang anaknya diberi nama Sutan Sjahrir yang kelak menjadi Perdana Menteri indonesia pertama.
Puti Malelo (Lelo) adalah putri bungsu Sutan Kabidun yang menikah dengan Sutan Mohammad Zahab, saudara sepupunya sendiri. Puti Lelo dan Sutan Mohammad dikaruniai beberapa orang putra dan putri. Salah seorang cucu mereka diberi nama Sutan Takdir Alisjahbana yang dikenal sebagai tokoh Sumpah Pemuda, tokoh Pujangga Baru, Novelis dan Ahli Filsafat.***
SIDI MARAH DAN SILSILAH MARAH DI MINANGKABAU
Sidi Marah Dan Silsilah Marah di Minang
Oleh: Syafriwal Marbun
Berbagai daerah di seluruh Indonesia tentu memiliki beberapa Pahlawan sebagai bukti perlawanan mereka menghadapi penjajah. Tidak ketinggalan juga masyarakat peisir Tapanuli tengah pun banyak memiliki pahlawan-pahlawan baik yang diakui maupun belum diakui yang telah tercatat dalam sejarah perlawanan sebelum kemerdekaan.
Salah satu pahlawan tersebut adalah Sidi Marah (ada yang menuliskan Marah Sidi, adapula Saidi Marah) pahlawan dari Barus (Dada meuraxa: Sejarah kebudayaan Suku-suku Sumatera Utara) yang bertempur sepanjang Pantai Barat Tapanuli sampai Aceh, mulai dari Singkil, Barus, Sorkam, Sibolga, Poncan, Singkuang dan Natal.
Sepak terjang Sidi Marah amat ditakuti Belanda, pertempuran paling heroik yang tercatat pada tanggal 4 Desember 1829 bersama si Songe dengan menggempur benteng Port Tapanoely di poncan banyak memakan korban di pihak Belanda. Akibatnya Barus diserang habis-habisan, karena menduga Sidi Marah sehabis menyerang Poncan mundur ke arah Barus.
Melihat serangannya berhasil di Poncan, setahun kemudian (1831) Sidi Marah memperlebar serangannya ke Air Bangis, serangan tersebut menyebabkan Komandan Belanda bernama Plustadt dan dua pembantunya meninggal, kejadian itu belakangan dilaporkan kembali oleh Eilstra pada tahun 1926/1932 dalam jurnal perang Hindia Belanda.
Kelihaian Sidi Marah mengatur serangan dan membuat pertahanan amat memukul Belanda, terbukti dengan sebuah benteng tua di Barus yang dibangun oleh Sidi Marah pada tahun 1833. Benteng ini berdinding tebal, kokoh dan sangat sukar didekati, karena di sebelah utara berbatasan dengan sungai, di bagian timur dan barat padang terbuka dan datar, sedangkan sebelah selatannya berbatasan dengan laut, sering menjebak pasukan Belanda, sehingga sangat banyak korban dan kerugian di pihak Belanda serta sangat susah tundukkan.
Selain itu, Sidi Marah pun amat lihai berdiplomasi, pada Bunga Rampai Tapian Nauli tertulis; Sidi marah berhasil meyakinkan kerajaan Aceh dan diijinkan membawahi Armada Laut memerangi Poncan. Tindakannya itu disambut baik oleh Songe dan para penduduk keturunan Aceh, sehingga Poncan berkubang darah penjajah.
Tindak tanduk Sidi Marah sangat menakutkan Belanda, berbagai usaha membujuknya bekerjasama selalu gagal, walaupun sudah disusupkan mata-mata. Sampai sekarang tidak diketahui kapan beliau meninggal serta dimana ‘Pahlawan’ ini dikubur. Meninggalnya pun jadi misteri apakah gugur waktu perang, ditangkap Belanda atau mati tua.
Yang jelas dari semenjak 1832 perlawanan warga Pesisir Tapanuli dan dibantu Aceh yang dirintis Sidi Marah, mengobarkan perjuangan yang tiada henti-hentinya terhadap penjajah, sampai tujuh tahun kemudian (1839) dengan perang habis-habisan Belanda berhasil merebut Barus dan benteng kokoh tersebut.
Belanda bisa mempertahankan Barus selama 104 tahun (1839-1943) berkat adanya benteng tersebut. Belanda akhirnya melepas benteng tersebut, karena datang Jepang (1943) dan selanjutnya tidak bisa menyentuh negeri Barus kembali.
* Siapa Sidi Marah sebenarnya ?
Marah di Padang adalah sebuah gelar adat yang diberikan kepada anak laki-laki. (Niniak Mamak Nan Salapan Suku ) Sejak dia lahir jika salah satu orang tuanya bergelar adat Sutan atau mandenya bergelar Puti.
Di Tiku-Pariaman (Piaman Laweh) ada 2 macam gelar bagi seorang laki-laki dewasa
(telah menikah), yaitu gelar status sosial dan gelar adat. Berbeda dengan masyarakat Minang di Pedalaman (darek), Gelar yang dipegang oleh laki-laki Pariaman dahulu berasal dari status dan peran sosial di masyarakat.
Tradisi ini merupakan pengaruh Aceh yang mulai memegang kontrol Tiku-Parayaman (nama sanskerta untuk Pariaman) setelah mangkatnya Maharaja Adityawarman sampai abad ke 16. Gelar tersebut terdiri atas: Sidi, yang berasal dari kata Saidi, yang biasanya dipegang oleh keturunan Arab/Gujarat dan tokoh-tokoh agama.
Bagindo, biasanya dimiliki oleh keluarga aristokrat, pemilik tanah dan representasi masyarakat pribumi dari pedalaman Minangkabau. Dahulu, yang memiliki gelar bagindo biasanya adalah para wali korong, wali nagari dan pemimpin sosial.
Sutan, berasal dari kata Sultan, yang dulunya adalah gelar untuk para pedagang-pedagang Aceh. Pada perkembangannya Sutan diberikan kepada setiap urang Sumando Laki-laki orang Pariaman yang bukan berasal dari Pariaman (pendatang).
Marah, tidak begitu populer di Pariaman, tapi banyak di gunakan di Padang dan Pauh. Fungsi gelar Marah hampir sama dengan Bagindo, representasi Pagaruyung juga banyak menjadi penghulu adat/hulubalang. Saat ini, gelar tersebut tidak mencerminkan lagi fungsi peran status sosialnya, namun lebih menunjukkan silsilah ayah dan keturunan saja.
Adapaun gelar adat tetap dipakai, tapi tidak semua bisa mendapatkan gelar tersebut. Sistem pemberian pun mengikuti sistem Matrilineal persis seperti di Luhak nan Tigo. Akan tetapi gelar adat di Pariaman hanya berupa gelar Datuk dan hanya boleh diturunkan dari Mamak kepada Kemenakan dengan prosesi adat tertentu. (Disunting dari www.botsosani.wordpress.com oleh Bot Sosani Piliang).
Mencermati kajian diatas bisa jadi Sidi Marah sebenarnya orang Arab-Minang yang merantau ke Barus, karena sudah sejak dahulu orang Pesisir Tapanuli berhubungan dengan memakai perahu, maka tidak heran kita melihat baik adat maupun tutur kata semua warga sepanjang pesisir Tapanuli mirip satu sama lain.
Oleh: Syafriwal Marbun
Berbagai daerah di seluruh Indonesia tentu memiliki beberapa Pahlawan sebagai bukti perlawanan mereka menghadapi penjajah. Tidak ketinggalan juga masyarakat peisir Tapanuli tengah pun banyak memiliki pahlawan-pahlawan baik yang diakui maupun belum diakui yang telah tercatat dalam sejarah perlawanan sebelum kemerdekaan.
Salah satu pahlawan tersebut adalah Sidi Marah (ada yang menuliskan Marah Sidi, adapula Saidi Marah) pahlawan dari Barus (Dada meuraxa: Sejarah kebudayaan Suku-suku Sumatera Utara) yang bertempur sepanjang Pantai Barat Tapanuli sampai Aceh, mulai dari Singkil, Barus, Sorkam, Sibolga, Poncan, Singkuang dan Natal.
Sepak terjang Sidi Marah amat ditakuti Belanda, pertempuran paling heroik yang tercatat pada tanggal 4 Desember 1829 bersama si Songe dengan menggempur benteng Port Tapanoely di poncan banyak memakan korban di pihak Belanda. Akibatnya Barus diserang habis-habisan, karena menduga Sidi Marah sehabis menyerang Poncan mundur ke arah Barus.
Melihat serangannya berhasil di Poncan, setahun kemudian (1831) Sidi Marah memperlebar serangannya ke Air Bangis, serangan tersebut menyebabkan Komandan Belanda bernama Plustadt dan dua pembantunya meninggal, kejadian itu belakangan dilaporkan kembali oleh Eilstra pada tahun 1926/1932 dalam jurnal perang Hindia Belanda.
Kelihaian Sidi Marah mengatur serangan dan membuat pertahanan amat memukul Belanda, terbukti dengan sebuah benteng tua di Barus yang dibangun oleh Sidi Marah pada tahun 1833. Benteng ini berdinding tebal, kokoh dan sangat sukar didekati, karena di sebelah utara berbatasan dengan sungai, di bagian timur dan barat padang terbuka dan datar, sedangkan sebelah selatannya berbatasan dengan laut, sering menjebak pasukan Belanda, sehingga sangat banyak korban dan kerugian di pihak Belanda serta sangat susah tundukkan.
Selain itu, Sidi Marah pun amat lihai berdiplomasi, pada Bunga Rampai Tapian Nauli tertulis; Sidi marah berhasil meyakinkan kerajaan Aceh dan diijinkan membawahi Armada Laut memerangi Poncan. Tindakannya itu disambut baik oleh Songe dan para penduduk keturunan Aceh, sehingga Poncan berkubang darah penjajah.
Tindak tanduk Sidi Marah sangat menakutkan Belanda, berbagai usaha membujuknya bekerjasama selalu gagal, walaupun sudah disusupkan mata-mata. Sampai sekarang tidak diketahui kapan beliau meninggal serta dimana ‘Pahlawan’ ini dikubur. Meninggalnya pun jadi misteri apakah gugur waktu perang, ditangkap Belanda atau mati tua.
Yang jelas dari semenjak 1832 perlawanan warga Pesisir Tapanuli dan dibantu Aceh yang dirintis Sidi Marah, mengobarkan perjuangan yang tiada henti-hentinya terhadap penjajah, sampai tujuh tahun kemudian (1839) dengan perang habis-habisan Belanda berhasil merebut Barus dan benteng kokoh tersebut.
Belanda bisa mempertahankan Barus selama 104 tahun (1839-1943) berkat adanya benteng tersebut. Belanda akhirnya melepas benteng tersebut, karena datang Jepang (1943) dan selanjutnya tidak bisa menyentuh negeri Barus kembali.
* Siapa Sidi Marah sebenarnya ?
Marah di Padang adalah sebuah gelar adat yang diberikan kepada anak laki-laki. (Niniak Mamak Nan Salapan Suku ) Sejak dia lahir jika salah satu orang tuanya bergelar adat Sutan atau mandenya bergelar Puti.
Di Tiku-Pariaman (Piaman Laweh) ada 2 macam gelar bagi seorang laki-laki dewasa
(telah menikah), yaitu gelar status sosial dan gelar adat. Berbeda dengan masyarakat Minang di Pedalaman (darek), Gelar yang dipegang oleh laki-laki Pariaman dahulu berasal dari status dan peran sosial di masyarakat.
Tradisi ini merupakan pengaruh Aceh yang mulai memegang kontrol Tiku-Parayaman (nama sanskerta untuk Pariaman) setelah mangkatnya Maharaja Adityawarman sampai abad ke 16. Gelar tersebut terdiri atas: Sidi, yang berasal dari kata Saidi, yang biasanya dipegang oleh keturunan Arab/Gujarat dan tokoh-tokoh agama.
Bagindo, biasanya dimiliki oleh keluarga aristokrat, pemilik tanah dan representasi masyarakat pribumi dari pedalaman Minangkabau. Dahulu, yang memiliki gelar bagindo biasanya adalah para wali korong, wali nagari dan pemimpin sosial.
Sutan, berasal dari kata Sultan, yang dulunya adalah gelar untuk para pedagang-pedagang Aceh. Pada perkembangannya Sutan diberikan kepada setiap urang Sumando Laki-laki orang Pariaman yang bukan berasal dari Pariaman (pendatang).
Marah, tidak begitu populer di Pariaman, tapi banyak di gunakan di Padang dan Pauh. Fungsi gelar Marah hampir sama dengan Bagindo, representasi Pagaruyung juga banyak menjadi penghulu adat/hulubalang. Saat ini, gelar tersebut tidak mencerminkan lagi fungsi peran status sosialnya, namun lebih menunjukkan silsilah ayah dan keturunan saja.
Adapaun gelar adat tetap dipakai, tapi tidak semua bisa mendapatkan gelar tersebut. Sistem pemberian pun mengikuti sistem Matrilineal persis seperti di Luhak nan Tigo. Akan tetapi gelar adat di Pariaman hanya berupa gelar Datuk dan hanya boleh diturunkan dari Mamak kepada Kemenakan dengan prosesi adat tertentu. (Disunting dari www.botsosani.wordpress.com oleh Bot Sosani Piliang).
Mencermati kajian diatas bisa jadi Sidi Marah sebenarnya orang Arab-Minang yang merantau ke Barus, karena sudah sejak dahulu orang Pesisir Tapanuli berhubungan dengan memakai perahu, maka tidak heran kita melihat baik adat maupun tutur kata semua warga sepanjang pesisir Tapanuli mirip satu sama lain.
HIKAYAT SULTAN MAHMUD ATAU KYAI JEJERUK DARI MINANGKABAU
Hikayat Sultan Mahmud atau Kyai Jejeruk Dari Minangkabau
Syahdan, Sultan Mahmud beserta para bala tentaranya terombang ambing di tengah Samudera. Semakin lama ombak semakin besar menerjang kapal Sultan dan pengikutnya. Kapal pecah setelah membentur karang, seluruh barang bawaan terhanyut oleh gelombang yang datang. Tinggal Sultan Mahmud dan pengawal setianya yang bertumpu di kayu sisa pecahan kapalnya.
Potongan kayu sisa pecahan kapal yang dibuat pegangan berdua dengan sang patih akhirnya menepi di sebuah pantai dekat perbukitan. Tak berapa lama didera kebingungan ada seorang pencari ikan yang melintas. Dipundak lelaki tersebut ada kepis (wadah ikan dari bambu anyam). Lalu kepada lelaki itu Sultan Mahmud bertanya.
"Ini adalah kawasan bukit Bonang. Di atas sana ada seorang lelaki yang lebih dikenal dengan sebutan Sunan Bonang..." belum selesai lelaki pencari ikan itu bicara Sultan Mahmud menyela. "Kisanak antarkan aku ke Sunan Bonang sekarang juga," pintanya tergesa.
Lalu Sultan Mahmud diantar oleh lelaki itu ke sebuah gubug di puncak bukit. Ada ragu di dalam hatinya melihat gubug yang tak layak untuk seorang yang terkenal macam Sunan Bonang. Lama tercenung melihat gubug itu namun ketika hendak bertanya kepada pencari ikan yang mengantarnya, ternyata lelaki itu telah pergi.
Saat keraguan itu semakin mendera hatinya, Sultan berniat kembali ke pantai mencari lelaki pencari ikan yang tadi mengantarnya. Untuk mengucapkan terimakasih dan memastikan apakah gubug tersebut adalah rumah tinggal Sunan Bonang. Ketika hendak berbalik tiba-tiba sebuah suara muncul dari dalam rumah. "Sultan Mahmud, jika kau hendak mencari kebenaran akulah Sunan Bonang. Namun jika engkau hendak mencari kemewahan kembalilah ke Minangkabau di kerajaanmu!". Sultan Mahmud terhenyak mendengar suara itu.
Lebih heran lagi, ketika sultan Mahmud masuk ke dalam gubug yang dianggap tak layak tersebut. Saat kaki kanannya masuk ke dalam rumah dadanya bergetar hebat. Seperti ada kegelisahan yang entah dia sendiri tak mampu menggambarkannya. Getaran hebat itu menuntunnya pada sebuah kedamaian yang tak pernah dirasakannya selama ini. Tiba-tiba air matanya meleleh, mengucur begitu deras. Merasakan bahwa dialah orang paling sombong di dunia ini. Sebuah titik kesadaran yang tiba-tiba saja merasuk ke sanubarinya. Entah datang dari mana.
Lelaki bersahaja keluar dari dalam rumah. Membawa kepis lalu disodorkan kepada sang Sultan. Sultan Mahmud hanya berfikir, bukankah kepis itu milik pencari ikan yang tadi mengantarnya ke gubug ini? "Benar Sultan. Ini adalah milik pencari ikan yang tadi mengantarmu. Akulah pencari ikan itu. Kini bukalah kepis ini, bukankah ini yang kau risaukan selama ini," ucap Sunan Bonang.
Tanpa menunggu perintah untuk kedua kalinya, segera Sultan Mahmud membuka kepis yang disodorkan Sunan Bonang. Benar, ternyata kitab-kitab yang dibawanya dari Minangkabau. tadi telah dianggap hilang oleh Sultan ketika kapal pecah dihantam ombak. Hati Sultan Mahmud semakin yakin bahwa Sunan Bonanglah orang yang dia cari selama ini. Goncangan dadanya semakin kencang antara bahagia dan terharu bertemu sang Guru.
Hatinya menjerit bahagia. Meluruhkan syukur dan pengakuan kemaha besaran Allah, Tuhannya. Semakin deras air matanya mengucur membasahkan kegelisahan. Kegalauan yang menderanya selama ini.
"Benar kanjeng Sunan. Dan karena kitab-kitab inilah yang membuatku mengembara sejauh ini," ucap Sultan mahmud memulai cerita. Bahwa Sultan Mahmud mendapatkan hadiah dari Raja Minangkabu, ayahnya. Namun dia sendiri tidak mampu menafsirkan makna kitab-kitab miliknya. Kegelisahan semakin mendera hatinya dari hari ke hari. Hingga suatu ketika dia mendapatkan semcam perintah untuk pergi ke pulau jawa. "Hanya ulama di sana yang mampu mengajarkanmu makna terdalam dari hakikat hidup yang terkandung dalam kitab ini," kata suara tersebut.
Maka berlayarlah Sultan Mahmud bersama pasukannya menuju pulau jawa. Pertama mula dia sudah mendengar kehebatan Kasultanan Banten. Maka pelabuhan pertama saat dia berlayar adalah Kasultanan Banten. Namun Sultan Mahmud harus menahan kekecewaan. Karena para pujangga dan ulama-ulama di Kasultanan Banten tidak ada yang mampu memberi jawaban. Justru menyarankan Sultan untuk terus berlayar ke timur. "Di timur pulau jawa Sultan akan temukan orang yang tepat," ucap Sultan Banten kala itu.
Perjalanan dilanjutkan ke timur. Mendengar kehebatan orang-orang Cirebon akhirnya sang Sultan berhenti di Kasultanan Cirebon. Takjub sang Sultan melihat kesederhanaan masyarakat Cirebon. Kasultanan yang begitu damai menyambutnya sebagai keluarga. Namun kitab sang sultan tetap juga tak mampu dibabar di sana. Sama dengan Kesultanan Banten, Sultan Cirebon juga menyarankan Sultan mahmud untuk pergi ke timur.
"Hingga akhirnya saya terdampar dan kini menghadap kanjeng Sunan Bonang. Saya berharap Kanjeng Sunan sudi mengangkat saya menjadi murid dan mengajarkan saya tentang hakikat hidup yang terkandung dalam kitab ini," pinta Sultan Mahmud pada Sunan Bonang.
Sunan Bonang menerima Sultan Mahmud menjadi murid. Mengajarkan tentang kebenaran dan hakikat hidup. Menafsir terjemahkan makna yang terkandung dalam kitab pemberian ayah Sultan Mahmud. Terjawab sudah kegelisahan Sultan Mahmud selama ini. Merasakan anugerah maha besar karena dipertemukan kepada sang guru yang mampu membimbingnya. Menuntun kepada kebenaran dan hakikat kesadaran.
Telah cukup yang kau pelajari di bukit ini. Kita telah bersama mencecap kemahabesaran Tuhan. Kini yang terakhir permintaanku, ucap Sunan Bonang pada Sultan Mahmud. Kau mesti bertapa berdiri. Dipilihkan sebuah tempat di sebelah utara bukit tempat Sunan Bonang tinggal.
Sultan Mahmud memulakan tapanya. Keyakinan yang begitu dalam pada sang guru membuat Sultan Mahmud begitu ihlas dan patuh. Tidak ada kehendak untuk bertanya apalagi membantah perintah. Dalam hatinya hanyalah cinta dan kesetiaan pada sang guru yang telah membimbingnya. Karena baginya apapun yang dikatakan guru adalah kebenaran.
"Janganlah kau beranjak dari tempat ini sebelum aku kembali," ucap Sunan Bonang sembari menanam dua biji asam jawa di sebelah kanan dan kiri Sultan Mahmud berdiri. Sunan Bonang lalu kembali meneruskan kegiatannya dalam mengajar murid. Sedang Sultan Mahmud tetap berdiri dalam kepatuhan. Tapa Nggejejer (berdiri) dan theruk-theruk (berdiam). Kelak tampat tersebut terkenal dengan sebutan Jejeruk. Berawal dari kalimat Nggejejer dan Theruk-theruk, Berdiam dengan berdiri memohon dibukakan pintu mata dan hatinya. Mengikuti perintah sunan Bonang, sang guru.
Saat Sunan Bonang kembali pohon asam yang ditanam telah tumbuh besar. Sultan Mahmud masih berdiri di sana sebagaimana perintahnya. Gambaran kepatuhan seorang murid kepada guru sejatinya.
"Seberapa lama yang kau rasakan waktu ketika aku meninggalkanmu berdiri bertapa Sultan Mahmud?" tanya Sunan Bonang.
"Saya merasakan beberapa saat saja guru. Tidak dalam waktu yang cukup lama. Karena aku merasakan keindahan sebagaimana yang guru sampaikan. Bahwa saya tidak merasakan apapun kecuali Tuhan yang menggerakkan seluruh nadi hidup ini. Taka ada yang terdengar tak ada yang terasa kecuali kemahabesaran Tuhan semata. Namun sepertinya kanjeng Sunan meninggalkan saya antara waktu zuhur hingga asar. Tak lebih dari lima jam saya berdiri di sini," ucap Sultan Mahmud.
"Kini kembalilah kau ke Minangkabau. Seluruh rakyatmu telah menantimu di sana. Usai sudah proses perjalananmu. Kitab yang kau bawa telah kau temukan makna terdalamnya," pinta Sunan Bonang.
"Terimakasih atas titah Kanjeng Sunan. Bahwa kitab yang saya bawa telah sempurna memberikan ajaran kepada kita. Apabila diperbolehkan maka hamba ingin memohon satu hal. Bahwa Kerajaan beserta kemewahannya telah saya tinggalkan. Damai di sini bersama Kanjeng Sunan dalam pengabdian. Lalu apakah aku harus kembali menapaki hari-hari risau dalam gelimang kemewahan dunia. Sedang hatiku tidak lagi berada di sana. Telah nyawiji bersama alam ini dalam memuji. Maka perkenankanlah saya mengajak isteri saya untuk mencecap keindahan perjalanan di sini. Bahwa dunia telah berjalan sebagaimana adanya. Bahwa kerajaan telah terpimpin dengan adil oleh yang memegang amanah. Sebagai murid Bonang saya tidak mau menjadi raja yang dzolim. Raga di sana namun jiwa jauh berada di bukit ini bersama kanjeng Sunan," pinta Sultan Mahmud.
Dan permintaan itu disetujui oleh Sunan Bonang. Bahwa hidup dan perjalanan telah dipilih Sultan Mahmud. Dia telah memilih untuk meninggalkan gelimang dunia. Merasa lebih damai nyawiji bersama alam dalam kesederhanaan dan tanpa beban. Menyisakan kisah dan sejarah perjalanan untuk generasi berikutnya.
Akhirnya Sultan Mahmud beserta Siti Asiyah, isterinya menghabiskan hidup di sana. Sebelah utara pasujudan Sunan Bonang. Di Puncak dari bukit Watu Layar, Desa Binangun Kecamatan Lasem.
Demikianlah sekelimut cerita tutur yang bisa saya tuturkan ulang bagi kerabat akarasa sekalian. Beliau ini dikenal juga dengan nama Kyai Jejeruk (Mbah Jejeruk) adalah Raden Abdur Rokhman atau juga dikenal sebagai Sultan Makhmud. Beliau adalah raja dari kerajaan Minangkabau.
Ketika ayahnya wafat, Sultan Makhmud mendapat tinggalan warisan sebuah kitab, tetapi sayangnya beliau belum dapat memahami arti yang terkandug dalam kitab tersebut.
Untuk itu beliau pergi sampai ke Mesir dan Mekah untuk mencari seorang guru yang dapat menerangkan maksud atau arti dari kitab yang dimilikinya, tapi hasilnya sia-sia. Sehingga hatinya bertambah susah, mengapa beliau mendapat warisan sebuah kitab yang tidak diketahui maksudnya.
Kebetulan ada seorang pengail yang mengetahui bahwa di tanah Jawa ada ulama yang sangat alim, tentang hal tersebut disampaikan kepada Patih dan oleh Sang Patih kabar tersebut disampaikan kepada Sang Raja. Sang Raja sangat bergembira dan memutuskan untuk segera berangkat ke tanah Jawa untuk menemui Kiai yang dimaksud.
Dengan perbekalan yang cukup berangkatlah Sultan Mahmud beserta patihnya dengan menumpang sebuah perahu besar, sayang ditengah perjalanan datanglah angin kencang yang mengakibatkan perahu tadi terguling. Semua perbekalan beserta kitab beliau hilang, masuk ke dasar laut.
Sultan Mahmud susah karena hilangnya sebuah kiab yang sangat berharga. Karena kebingungannya itu, Sultan Mahmud bermaksud untuk kembali ke kerajaan. Oleh Sang Patih hal tersebut tidak disetujui. Dengan rasa berat, diteruskalah perjalanannya hingga dapat menemui Sang Kiai.
Di hadapan Sang Kiai (Kanjeng Sunan Bonang) Sultan Mahmud memperkenalkan diri, maksud kedatangannya beserta musibah yang menimpa dalam perjalanannya. Tiba-tiba Sang Kiai mengeluarkan sebuah kitab dari sakunya, dan menanyakan apakah kitab ini yang dimaksud. Setelah diteliti oleh Sang Raja, benar bahwa kitab itu adalah miliknya. Seketika itu Sultan Mahmud melepas pakaian dan pangkat kesultanan, sujud (sungkem) dihadapan Kanjeng Sunan Bonang tetapi hal itu dicegah oleh Kanjeng Sunan.
Kanjeng Sunan Bonang mulai membaca dan menerangkan semua isi yang terkandung dalam kitab tadi dan akhirnya difahami oleh Sang Raja. Setelah Sang Raja memahami semuanya, beliau memerintah kepada Sang Patih untuk kembali ke Minangkabau dengan beberapa pesan :
1. Beliau (Sultan Mahmud) akan menetap di tanah Jawa (Bonang)
2. Memberi kebebasan kepada Sang Putri Ratu (istri) untuk memilih tetap tinggal di keraton, atau menyusul ke Jawa.
3. Menyerahkan tahta kerajaan kepada adik baginda raja, untuk memegang pusat pemerintahan Minangkabau.
Karena kesetiaan sang putri kepada sang suami Baginda Raja, maka beliau tetap memilih untuk menyusul ke tanah Jawa, waau harus melepas tahta kerajaan. Akhirnya Sultan Mahmud beserta istri menjadi murid yang setia dari Kanjeng Sunan Bonang.
Sumber=www.akarasa.com
Syahdan, Sultan Mahmud beserta para bala tentaranya terombang ambing di tengah Samudera. Semakin lama ombak semakin besar menerjang kapal Sultan dan pengikutnya. Kapal pecah setelah membentur karang, seluruh barang bawaan terhanyut oleh gelombang yang datang. Tinggal Sultan Mahmud dan pengawal setianya yang bertumpu di kayu sisa pecahan kapalnya.
Potongan kayu sisa pecahan kapal yang dibuat pegangan berdua dengan sang patih akhirnya menepi di sebuah pantai dekat perbukitan. Tak berapa lama didera kebingungan ada seorang pencari ikan yang melintas. Dipundak lelaki tersebut ada kepis (wadah ikan dari bambu anyam). Lalu kepada lelaki itu Sultan Mahmud bertanya.
"Ini adalah kawasan bukit Bonang. Di atas sana ada seorang lelaki yang lebih dikenal dengan sebutan Sunan Bonang..." belum selesai lelaki pencari ikan itu bicara Sultan Mahmud menyela. "Kisanak antarkan aku ke Sunan Bonang sekarang juga," pintanya tergesa.
Lalu Sultan Mahmud diantar oleh lelaki itu ke sebuah gubug di puncak bukit. Ada ragu di dalam hatinya melihat gubug yang tak layak untuk seorang yang terkenal macam Sunan Bonang. Lama tercenung melihat gubug itu namun ketika hendak bertanya kepada pencari ikan yang mengantarnya, ternyata lelaki itu telah pergi.
Saat keraguan itu semakin mendera hatinya, Sultan berniat kembali ke pantai mencari lelaki pencari ikan yang tadi mengantarnya. Untuk mengucapkan terimakasih dan memastikan apakah gubug tersebut adalah rumah tinggal Sunan Bonang. Ketika hendak berbalik tiba-tiba sebuah suara muncul dari dalam rumah. "Sultan Mahmud, jika kau hendak mencari kebenaran akulah Sunan Bonang. Namun jika engkau hendak mencari kemewahan kembalilah ke Minangkabau di kerajaanmu!". Sultan Mahmud terhenyak mendengar suara itu.
Lebih heran lagi, ketika sultan Mahmud masuk ke dalam gubug yang dianggap tak layak tersebut. Saat kaki kanannya masuk ke dalam rumah dadanya bergetar hebat. Seperti ada kegelisahan yang entah dia sendiri tak mampu menggambarkannya. Getaran hebat itu menuntunnya pada sebuah kedamaian yang tak pernah dirasakannya selama ini. Tiba-tiba air matanya meleleh, mengucur begitu deras. Merasakan bahwa dialah orang paling sombong di dunia ini. Sebuah titik kesadaran yang tiba-tiba saja merasuk ke sanubarinya. Entah datang dari mana.
Lelaki bersahaja keluar dari dalam rumah. Membawa kepis lalu disodorkan kepada sang Sultan. Sultan Mahmud hanya berfikir, bukankah kepis itu milik pencari ikan yang tadi mengantarnya ke gubug ini? "Benar Sultan. Ini adalah milik pencari ikan yang tadi mengantarmu. Akulah pencari ikan itu. Kini bukalah kepis ini, bukankah ini yang kau risaukan selama ini," ucap Sunan Bonang.
Tanpa menunggu perintah untuk kedua kalinya, segera Sultan Mahmud membuka kepis yang disodorkan Sunan Bonang. Benar, ternyata kitab-kitab yang dibawanya dari Minangkabau. tadi telah dianggap hilang oleh Sultan ketika kapal pecah dihantam ombak. Hati Sultan Mahmud semakin yakin bahwa Sunan Bonanglah orang yang dia cari selama ini. Goncangan dadanya semakin kencang antara bahagia dan terharu bertemu sang Guru.
Hatinya menjerit bahagia. Meluruhkan syukur dan pengakuan kemaha besaran Allah, Tuhannya. Semakin deras air matanya mengucur membasahkan kegelisahan. Kegalauan yang menderanya selama ini.
"Benar kanjeng Sunan. Dan karena kitab-kitab inilah yang membuatku mengembara sejauh ini," ucap Sultan mahmud memulai cerita. Bahwa Sultan Mahmud mendapatkan hadiah dari Raja Minangkabu, ayahnya. Namun dia sendiri tidak mampu menafsirkan makna kitab-kitab miliknya. Kegelisahan semakin mendera hatinya dari hari ke hari. Hingga suatu ketika dia mendapatkan semcam perintah untuk pergi ke pulau jawa. "Hanya ulama di sana yang mampu mengajarkanmu makna terdalam dari hakikat hidup yang terkandung dalam kitab ini," kata suara tersebut.
Maka berlayarlah Sultan Mahmud bersama pasukannya menuju pulau jawa. Pertama mula dia sudah mendengar kehebatan Kasultanan Banten. Maka pelabuhan pertama saat dia berlayar adalah Kasultanan Banten. Namun Sultan Mahmud harus menahan kekecewaan. Karena para pujangga dan ulama-ulama di Kasultanan Banten tidak ada yang mampu memberi jawaban. Justru menyarankan Sultan untuk terus berlayar ke timur. "Di timur pulau jawa Sultan akan temukan orang yang tepat," ucap Sultan Banten kala itu.
Perjalanan dilanjutkan ke timur. Mendengar kehebatan orang-orang Cirebon akhirnya sang Sultan berhenti di Kasultanan Cirebon. Takjub sang Sultan melihat kesederhanaan masyarakat Cirebon. Kasultanan yang begitu damai menyambutnya sebagai keluarga. Namun kitab sang sultan tetap juga tak mampu dibabar di sana. Sama dengan Kesultanan Banten, Sultan Cirebon juga menyarankan Sultan mahmud untuk pergi ke timur.
"Hingga akhirnya saya terdampar dan kini menghadap kanjeng Sunan Bonang. Saya berharap Kanjeng Sunan sudi mengangkat saya menjadi murid dan mengajarkan saya tentang hakikat hidup yang terkandung dalam kitab ini," pinta Sultan Mahmud pada Sunan Bonang.
Sunan Bonang menerima Sultan Mahmud menjadi murid. Mengajarkan tentang kebenaran dan hakikat hidup. Menafsir terjemahkan makna yang terkandung dalam kitab pemberian ayah Sultan Mahmud. Terjawab sudah kegelisahan Sultan Mahmud selama ini. Merasakan anugerah maha besar karena dipertemukan kepada sang guru yang mampu membimbingnya. Menuntun kepada kebenaran dan hakikat kesadaran.
Telah cukup yang kau pelajari di bukit ini. Kita telah bersama mencecap kemahabesaran Tuhan. Kini yang terakhir permintaanku, ucap Sunan Bonang pada Sultan Mahmud. Kau mesti bertapa berdiri. Dipilihkan sebuah tempat di sebelah utara bukit tempat Sunan Bonang tinggal.
Sultan Mahmud memulakan tapanya. Keyakinan yang begitu dalam pada sang guru membuat Sultan Mahmud begitu ihlas dan patuh. Tidak ada kehendak untuk bertanya apalagi membantah perintah. Dalam hatinya hanyalah cinta dan kesetiaan pada sang guru yang telah membimbingnya. Karena baginya apapun yang dikatakan guru adalah kebenaran.
"Janganlah kau beranjak dari tempat ini sebelum aku kembali," ucap Sunan Bonang sembari menanam dua biji asam jawa di sebelah kanan dan kiri Sultan Mahmud berdiri. Sunan Bonang lalu kembali meneruskan kegiatannya dalam mengajar murid. Sedang Sultan Mahmud tetap berdiri dalam kepatuhan. Tapa Nggejejer (berdiri) dan theruk-theruk (berdiam). Kelak tampat tersebut terkenal dengan sebutan Jejeruk. Berawal dari kalimat Nggejejer dan Theruk-theruk, Berdiam dengan berdiri memohon dibukakan pintu mata dan hatinya. Mengikuti perintah sunan Bonang, sang guru.
Saat Sunan Bonang kembali pohon asam yang ditanam telah tumbuh besar. Sultan Mahmud masih berdiri di sana sebagaimana perintahnya. Gambaran kepatuhan seorang murid kepada guru sejatinya.
"Seberapa lama yang kau rasakan waktu ketika aku meninggalkanmu berdiri bertapa Sultan Mahmud?" tanya Sunan Bonang.
"Saya merasakan beberapa saat saja guru. Tidak dalam waktu yang cukup lama. Karena aku merasakan keindahan sebagaimana yang guru sampaikan. Bahwa saya tidak merasakan apapun kecuali Tuhan yang menggerakkan seluruh nadi hidup ini. Taka ada yang terdengar tak ada yang terasa kecuali kemahabesaran Tuhan semata. Namun sepertinya kanjeng Sunan meninggalkan saya antara waktu zuhur hingga asar. Tak lebih dari lima jam saya berdiri di sini," ucap Sultan Mahmud.
"Kini kembalilah kau ke Minangkabau. Seluruh rakyatmu telah menantimu di sana. Usai sudah proses perjalananmu. Kitab yang kau bawa telah kau temukan makna terdalamnya," pinta Sunan Bonang.
"Terimakasih atas titah Kanjeng Sunan. Bahwa kitab yang saya bawa telah sempurna memberikan ajaran kepada kita. Apabila diperbolehkan maka hamba ingin memohon satu hal. Bahwa Kerajaan beserta kemewahannya telah saya tinggalkan. Damai di sini bersama Kanjeng Sunan dalam pengabdian. Lalu apakah aku harus kembali menapaki hari-hari risau dalam gelimang kemewahan dunia. Sedang hatiku tidak lagi berada di sana. Telah nyawiji bersama alam ini dalam memuji. Maka perkenankanlah saya mengajak isteri saya untuk mencecap keindahan perjalanan di sini. Bahwa dunia telah berjalan sebagaimana adanya. Bahwa kerajaan telah terpimpin dengan adil oleh yang memegang amanah. Sebagai murid Bonang saya tidak mau menjadi raja yang dzolim. Raga di sana namun jiwa jauh berada di bukit ini bersama kanjeng Sunan," pinta Sultan Mahmud.
Dan permintaan itu disetujui oleh Sunan Bonang. Bahwa hidup dan perjalanan telah dipilih Sultan Mahmud. Dia telah memilih untuk meninggalkan gelimang dunia. Merasa lebih damai nyawiji bersama alam dalam kesederhanaan dan tanpa beban. Menyisakan kisah dan sejarah perjalanan untuk generasi berikutnya.
Akhirnya Sultan Mahmud beserta Siti Asiyah, isterinya menghabiskan hidup di sana. Sebelah utara pasujudan Sunan Bonang. Di Puncak dari bukit Watu Layar, Desa Binangun Kecamatan Lasem.
Demikianlah sekelimut cerita tutur yang bisa saya tuturkan ulang bagi kerabat akarasa sekalian. Beliau ini dikenal juga dengan nama Kyai Jejeruk (Mbah Jejeruk) adalah Raden Abdur Rokhman atau juga dikenal sebagai Sultan Makhmud. Beliau adalah raja dari kerajaan Minangkabau.
Ketika ayahnya wafat, Sultan Makhmud mendapat tinggalan warisan sebuah kitab, tetapi sayangnya beliau belum dapat memahami arti yang terkandug dalam kitab tersebut.
Untuk itu beliau pergi sampai ke Mesir dan Mekah untuk mencari seorang guru yang dapat menerangkan maksud atau arti dari kitab yang dimilikinya, tapi hasilnya sia-sia. Sehingga hatinya bertambah susah, mengapa beliau mendapat warisan sebuah kitab yang tidak diketahui maksudnya.
Kebetulan ada seorang pengail yang mengetahui bahwa di tanah Jawa ada ulama yang sangat alim, tentang hal tersebut disampaikan kepada Patih dan oleh Sang Patih kabar tersebut disampaikan kepada Sang Raja. Sang Raja sangat bergembira dan memutuskan untuk segera berangkat ke tanah Jawa untuk menemui Kiai yang dimaksud.
Dengan perbekalan yang cukup berangkatlah Sultan Mahmud beserta patihnya dengan menumpang sebuah perahu besar, sayang ditengah perjalanan datanglah angin kencang yang mengakibatkan perahu tadi terguling. Semua perbekalan beserta kitab beliau hilang, masuk ke dasar laut.
Sultan Mahmud susah karena hilangnya sebuah kiab yang sangat berharga. Karena kebingungannya itu, Sultan Mahmud bermaksud untuk kembali ke kerajaan. Oleh Sang Patih hal tersebut tidak disetujui. Dengan rasa berat, diteruskalah perjalanannya hingga dapat menemui Sang Kiai.
Di hadapan Sang Kiai (Kanjeng Sunan Bonang) Sultan Mahmud memperkenalkan diri, maksud kedatangannya beserta musibah yang menimpa dalam perjalanannya. Tiba-tiba Sang Kiai mengeluarkan sebuah kitab dari sakunya, dan menanyakan apakah kitab ini yang dimaksud. Setelah diteliti oleh Sang Raja, benar bahwa kitab itu adalah miliknya. Seketika itu Sultan Mahmud melepas pakaian dan pangkat kesultanan, sujud (sungkem) dihadapan Kanjeng Sunan Bonang tetapi hal itu dicegah oleh Kanjeng Sunan.
Kanjeng Sunan Bonang mulai membaca dan menerangkan semua isi yang terkandung dalam kitab tadi dan akhirnya difahami oleh Sang Raja. Setelah Sang Raja memahami semuanya, beliau memerintah kepada Sang Patih untuk kembali ke Minangkabau dengan beberapa pesan :
1. Beliau (Sultan Mahmud) akan menetap di tanah Jawa (Bonang)
2. Memberi kebebasan kepada Sang Putri Ratu (istri) untuk memilih tetap tinggal di keraton, atau menyusul ke Jawa.
3. Menyerahkan tahta kerajaan kepada adik baginda raja, untuk memegang pusat pemerintahan Minangkabau.
Karena kesetiaan sang putri kepada sang suami Baginda Raja, maka beliau tetap memilih untuk menyusul ke tanah Jawa, waau harus melepas tahta kerajaan. Akhirnya Sultan Mahmud beserta istri menjadi murid yang setia dari Kanjeng Sunan Bonang.
Sumber=www.akarasa.com
Jumat, 20 Juli 2018
IKAN MAHSEER HARTA KARUN SUMATERA BARAT
Ikan Mahseer Harta Karun Sumatera Barat
Ikan gariang atau ikan mahseer masih banyak di Sumatera Barat
Ikan gariang atau yang dikalangan angler dikenal dengan nama ikan mahseer masih banyak di temukan di sungai-sungai Sumatera Barat. Kearifan lokal warga Sumatera yang menjaga sungai dan ikannya dengan adanya adat yang dikenal dengan nama lubuk larangan, merupakan benteng yang efektif untuk menjaga kelestarian ikan dan keindahan sungai. Di lubuk-lubuk larangan inilah ikan-ikan gariang tumbuh beranak pinak tiada yang menggangu dan mengusiknya.
Sumatera Barat yang memiliki geografis wilayah pegunungan, lembah, sawah nan hijau dengan sungai gunung yang jernih dan mengalir tiada henti-hentinya. Alam pedesaan dengan penduduk yang ramah dan religius
Rata-rata semua sungai yang ada di Sumatera Barat masih ada ikan gariang atau ikan mahseer. dikalangan angler bahwa ikan mahseer merupakan ikan yang menjadi idola dan didambakan para angler sungai. Boleh diibaratkan bila di laut yang menjadi idola adalah ikan marlin karena memang susah untuk mencari lokasi dan saat fightingnya. Atau boleh di umpamakan bahwa ikan mahseer ini setara dengan harimau sebagai raja rimba.Untuk menemukan ikan marlin dan harimau liar bukan pekara yang gampang dan diperlukan perjuangan yang tinggi.
Lalu bagaimana dengan ikan mahseer? Apa diperlukan perjuangan yang tinggi untuk mendapatkan ikan ini. Bila yang menjawab pancinger di luar Sumatera Barat dan di baca dari berbagai literature mancing untuk berjumpa dengan ikan mahseer seorang pancinger harus berjuang menembus hutan rimba dan baru memancingnya. Ya ikan mahseer hidup di hulu sungai nan jernih. Banyak postingan angler di pedalaman Kalimantan barulah bertemu mahseer. Atau kalo di luar negeri di pegunungan Himalaya barulah ketemu ikan ini.
bersyukur untuk kearifan lokal warga Sumatera Barat yang hidup sekitar sungai, dimana mereka melakuan perjanjian adat mengenai pelestarian ikan yang dikenal lubuk larangan. Warga membawa pemuka masyarkat untuk membuat territorial sungai yang dijaga secara magis oleh pemuka masyarakat. Ikan yang ada di territorial itu tidak boleh diambil. Bila ada yang sengaja mengambil ikan tanpa restu dari pemuka adat maka orang itu akan mendapat tulah (kutuk) yang menyebabkan dirinya terkena penyakit. Cara ini sangat efektif menjaga keberadaan ikan di sungai. Adat ini memang sudah turun temurun dari jaman penjajahan Belanda hingga sekarang.
Ikan gariang si ikan raja rimba tetap terjaga keberadaannya
promosikan kepada dunia bahwa di Sumatera Barat masih banyak mahseer tanpa merusak alam dan adat.
Sumber=http://www.beritamancing.net/fishing-story/ikan-mahseer-harta-karun-sumatera-barat/
Ikan gariang atau ikan mahseer masih banyak di Sumatera Barat
Ikan gariang atau yang dikalangan angler dikenal dengan nama ikan mahseer masih banyak di temukan di sungai-sungai Sumatera Barat. Kearifan lokal warga Sumatera yang menjaga sungai dan ikannya dengan adanya adat yang dikenal dengan nama lubuk larangan, merupakan benteng yang efektif untuk menjaga kelestarian ikan dan keindahan sungai. Di lubuk-lubuk larangan inilah ikan-ikan gariang tumbuh beranak pinak tiada yang menggangu dan mengusiknya.
Sumatera Barat yang memiliki geografis wilayah pegunungan, lembah, sawah nan hijau dengan sungai gunung yang jernih dan mengalir tiada henti-hentinya. Alam pedesaan dengan penduduk yang ramah dan religius
Rata-rata semua sungai yang ada di Sumatera Barat masih ada ikan gariang atau ikan mahseer. dikalangan angler bahwa ikan mahseer merupakan ikan yang menjadi idola dan didambakan para angler sungai. Boleh diibaratkan bila di laut yang menjadi idola adalah ikan marlin karena memang susah untuk mencari lokasi dan saat fightingnya. Atau boleh di umpamakan bahwa ikan mahseer ini setara dengan harimau sebagai raja rimba.Untuk menemukan ikan marlin dan harimau liar bukan pekara yang gampang dan diperlukan perjuangan yang tinggi.
Lalu bagaimana dengan ikan mahseer? Apa diperlukan perjuangan yang tinggi untuk mendapatkan ikan ini. Bila yang menjawab pancinger di luar Sumatera Barat dan di baca dari berbagai literature mancing untuk berjumpa dengan ikan mahseer seorang pancinger harus berjuang menembus hutan rimba dan baru memancingnya. Ya ikan mahseer hidup di hulu sungai nan jernih. Banyak postingan angler di pedalaman Kalimantan barulah bertemu mahseer. Atau kalo di luar negeri di pegunungan Himalaya barulah ketemu ikan ini.
bersyukur untuk kearifan lokal warga Sumatera Barat yang hidup sekitar sungai, dimana mereka melakuan perjanjian adat mengenai pelestarian ikan yang dikenal lubuk larangan. Warga membawa pemuka masyarkat untuk membuat territorial sungai yang dijaga secara magis oleh pemuka masyarakat. Ikan yang ada di territorial itu tidak boleh diambil. Bila ada yang sengaja mengambil ikan tanpa restu dari pemuka adat maka orang itu akan mendapat tulah (kutuk) yang menyebabkan dirinya terkena penyakit. Cara ini sangat efektif menjaga keberadaan ikan di sungai. Adat ini memang sudah turun temurun dari jaman penjajahan Belanda hingga sekarang.
Ikan gariang si ikan raja rimba tetap terjaga keberadaannya
promosikan kepada dunia bahwa di Sumatera Barat masih banyak mahseer tanpa merusak alam dan adat.
Sumber=http://www.beritamancing.net/fishing-story/ikan-mahseer-harta-karun-sumatera-barat/
PERANCIS MENGUASAI PADANG
Prancis Menguasai Padang
La Marseillaise, lagu kebangsaan Prancis berkumandang di pantai barat Sumatra. Gerombolan Le Meme menduduki Padang dengan semangat Revolusi Prancis.
(Gambar~Sketsa pelabuhan Padang oleh Charles van de Velde, antara 1843-1845)
PERNAH sekali Padang “ditawan” selama dua minggu lebih oleh Prancis. Bukan oleh tentaranya, tetapi segerombolan bajak laut. Dipicu perang Revolusi Prancis, wilayah pantai barat Sumatra menjelma menjadi teater pertempuran. Corsairs –bajak laut yang diberi izin oleh Prancis untuk merampok musuh-musuh Prancis– bermunculan dan menebar teror.
Salah satunya adalah Francois-Thomas Le Meme. Le Meme lahir di Saint-Malo, barat laut Prancis, pada 13 Januari 1764. Dia mulai berdagang di Hindia pada 1791. Dari pelabuhan di Mauritius, sebelah timur Madagaskar, dia berdagang ke Jawa dan Sumatra sebagai kapten kapal Hirondelle.
Ketika perang Revolusi Prancis berkobar di Eropa, jiwa revolusionernya terpanggil. Hirondelle diubahnya menjadi kapal bajak laut. Per Juli 1793, Hirondelle meneror kapal dagang Inggris (EIC) dan Belanda (VOC) di pantai barat Sumatra.
“Sebulan sesudah itu dia merampok kapal VOC di Selat Sunda yang kebetulan sedang dalam perjalanan dari Batavia ke Padang. Hari itu juga direbut lagi dua kapal dagang kepunyaan orang Tionghoa dan besoknya sebuah lagi kepunyaan Belanda. Le Meme mendapat banyak barang rampasan yang tinggi harganya,” tulis Rusli Amran dalam Sumatra Barat Hingga Plakat Panjang Volume 1.
Keberhasilan merampok kapal Inggris, William Thesied, pada 25 Agustus 1793 membuat Le Meme dipromosikan ke kapal Ville de Bourdeaux. Dia mengarahkan awaknya berlayar ke Padang, kota dagang VOC yang penting di pantai barat Sumatra.
Sudah sejak 1663, VOC bercokol di sana dan memonopoli berbagai komoditas, terutama emas. Meski begitu pertahanan Padang lemah. Ketika Ville de Bourdeaux yang berawak 200 orang dan dipersenjatai 32 meriam itu melego jangkarnya di sana, tak ada perlawanan yang cukup berarti.
P.F. Chassen, Opperkoopman (kepala pedagang) VOC menyerah. Gerombolan Le Meme menyatakan sejak itu juga Padang dan daerah lain di pantai barat Sumatra yang dikuasai VOC menjadi daerah taklukan Prancis. Padang diduduki selama 16 hari. Saat itu pertengahan Desember 1793.
“Pernyataan itu ditandai dengan pengumandangan lagu Marseillaise serta pengibaran bendera tricolor di Padang,” tulis Gusti Asnan dalam Memikir Ulang Regionalisme: Sumatera Barat Tahun 1950-an.
Padang dijarah. Namun untuk ukuran perompak, sikap gerombolan Le Meme terbilang baik. Kecuali meminta makan, mereka tidak banyak berbuat onar. Ketika penduduk Padang hanya mampu menyediakan 25.000 ringgit dari ransum sebesar 70.000 ringgit yang dituntutnya, Le Meme tidak menghukum mereka.
“Singkatnya, Le Meme tidak semata-mata datang sebagai perampok atau bajak laut, tetapi masih dipengaruhi oleh cita-cita besar revolusi (rakyat) yang baru saja terjadi di negeri mereka,” tambah Rusli.
Namun ulah orang-orang Tionghoa yang menolak patungan ransum akhirnya membuat Le Meme naik pitam juga. Dibantu penduduk lokal yang sama kesalnya, dia memerintahkan untuk membakar rumah orang-orang Tionghoa dan mengusir mereka keluar kota.
Di hari ke-16, Le Meme meninggalkan Padang dan kembali ke Mauritius. Karir perompaknya kian melonjak. Namanya dielu-elukan di Prancis.
Pun sepeninggal Le Meme, serangan corsairs lainnya tidak berhenti. “Di tahun yang sama, tiga corsairs dari Mauritius sudah menyerang tiga pos Inggris di Bengkulu dan Natal. Pada 1794, Natal dan Tapanuli sempat diduduki lagi oleh para corsairs,” tulis Anthony Reid dalam The French in Sumatra and the Malay World, 1760-1890.
Petualangan Le Meme berakhir. Dia tertangkap dan meninggal pada 30 Maret 1805 di kapal Waltherstow, yang tengah membawanya ke Inggris untuk diadili. Ketika Mauritius berhasil dikuasai Inggris pada 1810, aktivitas para corsairs terhenti.
Padang berada di bawah pemerintahan Inggris ketika perang Napoleon berkobar di Eropa pada 1803, sebelum akhirnya dikembalikan lagi ke Belanda melalui Konvensi London pada tahun 1814.
Oleh=RAHADIAN RUNDJAN
Sumber=http://historia.id/kuno/saat-bajak-laut-prancis-menguasai-padang
La Marseillaise, lagu kebangsaan Prancis berkumandang di pantai barat Sumatra. Gerombolan Le Meme menduduki Padang dengan semangat Revolusi Prancis.
(Gambar~Sketsa pelabuhan Padang oleh Charles van de Velde, antara 1843-1845)
PERNAH sekali Padang “ditawan” selama dua minggu lebih oleh Prancis. Bukan oleh tentaranya, tetapi segerombolan bajak laut. Dipicu perang Revolusi Prancis, wilayah pantai barat Sumatra menjelma menjadi teater pertempuran. Corsairs –bajak laut yang diberi izin oleh Prancis untuk merampok musuh-musuh Prancis– bermunculan dan menebar teror.
Salah satunya adalah Francois-Thomas Le Meme. Le Meme lahir di Saint-Malo, barat laut Prancis, pada 13 Januari 1764. Dia mulai berdagang di Hindia pada 1791. Dari pelabuhan di Mauritius, sebelah timur Madagaskar, dia berdagang ke Jawa dan Sumatra sebagai kapten kapal Hirondelle.
Ketika perang Revolusi Prancis berkobar di Eropa, jiwa revolusionernya terpanggil. Hirondelle diubahnya menjadi kapal bajak laut. Per Juli 1793, Hirondelle meneror kapal dagang Inggris (EIC) dan Belanda (VOC) di pantai barat Sumatra.
“Sebulan sesudah itu dia merampok kapal VOC di Selat Sunda yang kebetulan sedang dalam perjalanan dari Batavia ke Padang. Hari itu juga direbut lagi dua kapal dagang kepunyaan orang Tionghoa dan besoknya sebuah lagi kepunyaan Belanda. Le Meme mendapat banyak barang rampasan yang tinggi harganya,” tulis Rusli Amran dalam Sumatra Barat Hingga Plakat Panjang Volume 1.
Keberhasilan merampok kapal Inggris, William Thesied, pada 25 Agustus 1793 membuat Le Meme dipromosikan ke kapal Ville de Bourdeaux. Dia mengarahkan awaknya berlayar ke Padang, kota dagang VOC yang penting di pantai barat Sumatra.
Sudah sejak 1663, VOC bercokol di sana dan memonopoli berbagai komoditas, terutama emas. Meski begitu pertahanan Padang lemah. Ketika Ville de Bourdeaux yang berawak 200 orang dan dipersenjatai 32 meriam itu melego jangkarnya di sana, tak ada perlawanan yang cukup berarti.
P.F. Chassen, Opperkoopman (kepala pedagang) VOC menyerah. Gerombolan Le Meme menyatakan sejak itu juga Padang dan daerah lain di pantai barat Sumatra yang dikuasai VOC menjadi daerah taklukan Prancis. Padang diduduki selama 16 hari. Saat itu pertengahan Desember 1793.
“Pernyataan itu ditandai dengan pengumandangan lagu Marseillaise serta pengibaran bendera tricolor di Padang,” tulis Gusti Asnan dalam Memikir Ulang Regionalisme: Sumatera Barat Tahun 1950-an.
Padang dijarah. Namun untuk ukuran perompak, sikap gerombolan Le Meme terbilang baik. Kecuali meminta makan, mereka tidak banyak berbuat onar. Ketika penduduk Padang hanya mampu menyediakan 25.000 ringgit dari ransum sebesar 70.000 ringgit yang dituntutnya, Le Meme tidak menghukum mereka.
“Singkatnya, Le Meme tidak semata-mata datang sebagai perampok atau bajak laut, tetapi masih dipengaruhi oleh cita-cita besar revolusi (rakyat) yang baru saja terjadi di negeri mereka,” tambah Rusli.
Namun ulah orang-orang Tionghoa yang menolak patungan ransum akhirnya membuat Le Meme naik pitam juga. Dibantu penduduk lokal yang sama kesalnya, dia memerintahkan untuk membakar rumah orang-orang Tionghoa dan mengusir mereka keluar kota.
Di hari ke-16, Le Meme meninggalkan Padang dan kembali ke Mauritius. Karir perompaknya kian melonjak. Namanya dielu-elukan di Prancis.
Pun sepeninggal Le Meme, serangan corsairs lainnya tidak berhenti. “Di tahun yang sama, tiga corsairs dari Mauritius sudah menyerang tiga pos Inggris di Bengkulu dan Natal. Pada 1794, Natal dan Tapanuli sempat diduduki lagi oleh para corsairs,” tulis Anthony Reid dalam The French in Sumatra and the Malay World, 1760-1890.
Petualangan Le Meme berakhir. Dia tertangkap dan meninggal pada 30 Maret 1805 di kapal Waltherstow, yang tengah membawanya ke Inggris untuk diadili. Ketika Mauritius berhasil dikuasai Inggris pada 1810, aktivitas para corsairs terhenti.
Padang berada di bawah pemerintahan Inggris ketika perang Napoleon berkobar di Eropa pada 1803, sebelum akhirnya dikembalikan lagi ke Belanda melalui Konvensi London pada tahun 1814.
Oleh=RAHADIAN RUNDJAN
Sumber=http://historia.id/kuno/saat-bajak-laut-prancis-menguasai-padang
Langganan:
Postingan (Atom)